tirto.id - Islam menempatkan ilmu pada posisi yang sangat mulia. Ibarat kata, ilmu adalah perhiasan bagi si empunya. Saking pentingnya, Abu Darda sekali kesempatan pernah berseloroh “bagiku belajar sepanjang malam jauh lebih utama ketimbang jungkir balik salat semalaman suntuk”
Pada tempo yang lain, Nabi Sulaiman diceritakan diperintah Allah untuk memilih harta, ilmu, atau kekuasaan. Pilihannya jatuh kepada ilmu dan Sulaiman akhirnya diberi kekuasaan sekaligus kekayaan.
Cerita-cerita seperti ini sangat populer dalam kitab-kitab klasik, salah satunya diabadikan dalam Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali yang diterbitkan pada abad ke-12.
Sebuah syair dari Al-Busti (400 H) bisa mewakili bagaimana ulama-ulama dahulu sangat menjunjung tinggi ilmu.
Ya khādimal jism, kam tusqa bihidmatihi
Litathlubarribha mimmā fihi khusran
Aqbil alanaffsi, wastakmil fadhōilaha
Fa anta, binnafsi la biljismi insānun
Wahai budak raga! Betapa susah payah kau melayaninya!
Engkau ingin mengejar keuntungan darinya, tetapi hanya kerugian yang kau dapati.
Berpalinglah kepada pikiran, genapkanlah kesempurnaannya:
lantaran pikiran, bukan raga, engkaulah manusia
Manusia sempurna karena akal pikirannya. Akal pikiran yang sempurna tentu diberi asupan gizi yang sempurna pula. Asupan gizi yang dimaksud tentu saja adalah ilmu dan hikmah. Fatah Musali berkata "alaisa maridh idza muni’a thoam wa syarbu wa dawa’ yamutu? Kadzalika qalbu idza muni’a anhulhikmah wal ilmu tsalatata ayyam yamutu" ("bukankah bagi seorang yang sakit dan tidak diberi makan, minum, dan obat-obatan akan segera meninggal? Demikian pula hati. Tiga hari saja tidak digelontor ilmu dan hikmah ia sekonyong-konyong akan mati").
Sadar akan derajat dan kemuliaan Ilmu, ulama-ulama terdahulu memiliki tradisi berkembara mencari ilmu. Mereka rela bertandang ke lokasi-lokasi nun jauh dari tempat domisili demi mencari ilmu.
Dari al-Bukhari sampai al-Ghazali
Al-Bukhari (256 H) adalah pengembaranya pengembara ilmu. Kegigihannya dalam belajar ilmu hadis dimulai sejak usia enam belas. Ia keluar masuk perkampungan, menyusuri sekian ratus kota, berkenalan dari satu negara ke negara lain demi belajar dan sekaligus mengumpulkan riwayat-riwayat Nabi Muhammad.
Perjalanan yang paling spektakuler ia tempuh antara Mesir sampai Khurasan. Perjalanan yang melelahkan, namun membahagiakan. Pengembaraan panjangnya berbuah manis. Kegigihannya menuai hasil. Ia sukses mengumpulkan tidak kurang dari enam ratus ribu hadis yang tujuh ribu di antaranya masuk ke dalam kitab yang disusunnya, Shahih Bukhari.
Ketangguhan menempuh perjalanan jauh dalam pengembaraan mencari ilmu pernah dilakukan juga oleh Imam Baqi bin Makhlad. Ia menempuh jarak yang sedemikian panjang, membentang antara Mesir dan Syam (dalam geografi saat ini terletak di sekitar Suriah).
Seperti diterangkan dalam kitab Tadzkiratul Huffadz, ia menghabiskan waktu selama empat belas tahun untuk pengembaraan pertama. Sementara pengembaraan kedua ia lakoni dari Hijaz (sekitar Makkah) menuju Baghdad, Irak. Episode ini menelan waktu dua puluh tahun usianya (hlm. 630).
Al-Ghazali, sarjana brilian di antara sarjana-sarjana Muslim klasik, memiliki cerita yang tidak kalah heroik. Kisah kegigihannya mencari ilmu adalah sejarah kesedihan dan kepahitan.
Terlahir dari keluarga yang kurang berada, Al-Ghazali berangkat ke sekolah dengan uang saku yang pas-pasan. Sekali waktu, ia mengemukakan pengakuan yang sangat mengejutkan bahwa motivasinya berangkat ke sekolah adalah agar mendapatkan makanan. Sebab di rumah ia tidak pernah menjumpai makanan selezat hidangan di sekolah.
Ia belajar dengan sangat tekun, sampai akhirnya bertemu Imam Juwayni, ahli fikih yang sangat populer. Juwayni di kemudian hari berhasil menggembleng Al-Ghazali menjadi sosok ulama yang sangat disegani keilmuannya.
Kembara Ilmu di Nusantara
Di Nusantara, tradisi berkembara ilmu juga tumbuh subur. Uniknya, kembara di Nusantara bukan semata untuk mencari ilmu, namun juga berkah. Praktik semacam ini biasanya dilakukan dengan cara berguru tapi dengan tenggat waktu yang tidak terlalu lama, malah singkat.
Abdul Wahid Hasyim, lelaki necis putra K.H. Hasyim Asyari, adalah satu di antara beberapa contoh yang memiliki tradisi rihlah ilmiah dan ngalap berkah. Setelah dinyatakan tamat dari Madrasah Tebuireng, Jombang pada usia dua belas, Wahid mengawali pengembaraannya ke Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Ia hanya menghabiskan waktu dua puluh lima hari di sana.
Seperti dicatat dalam Seri Tempo: Wahid Hasyim (2016), perjalanannya dilanjutkan ke Pesantren Lirboyo, Kediri asuhan K.H. Abdul Karim. Lepas dari Lirboyo selama masa dua tahun, setelah itu Wahid berpindah dan mengembara dari satu pesantren ke pesantren lain yang ada di sekitar Jawa Timur (hlm. 21).
Kendati demikian, selain motivasi ngalap berkah, Pradjarta Dirdjosanjoto dalam Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, hal: 166) mencoba merasionalisasi mengapa tradisi berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain ini tumbuh subur. Faktor keilmuan dan spesialisasi kiai pengasuh pesantren ternyata memengaruhinya. Biasanya seorang kiai dikenal spesialis di bidang keilmuan tertentu. Kondisi ini membuat santri yang haus ilmu harus berpindah dan mengembara dari satu kiai ke kiai lain, dari pesantren satu ke pesantren lain.
Etos studi yang demikian kuat diwariskan para ulama terdahulu teringkus dalam sebuah kalimat yang populer bahwa mencari ilmu harus berbekal peluh dan waktu (jahdun nafs wa badzlul qarihah). Tanpa upaya yang kuat dan semangat yang liat, niscaya ilmu akan sangat sulit didapat.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Ivan Aulia Ahsan