Menuju konten utama

Sejarah Penajam Paser Utara: Dulu Tempat Gerilya & "Jin Buang Anak"

Riwayat Penajam Paser Utara terbentang sejak zaman kerajaan, era kolonial, perang kemerdekaan, sampai terbentuknya kabupaten tersebut pada 2002.

Sejarah Penajam Paser Utara: Dulu Tempat Gerilya &
Kantor Bupati Penajam Paser Utara. foto/wikipedia/ Arief Rahman Saan (Ezagren)

tirto.id - Di zaman daripada Presiden Soeharto, Kalimantan Timur hanya terbagi atas empat kabupaten dengan masing-masing daerah yang amat luas, yakni Kutai, Bulungan, Berau dan Pasir. Kabupaten Pasir berada di sisi selatan provinsi tersebut.

Dulu daerah Kabupaten Pasir, seperti dicatat dalam Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia: L-Z (1995:664) yang disusun MJ Melalatoa, adalah bekas wilayah kekuasaan sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sadurangas, yang konon didirikan pada tahun 1565 dan diperintah oleh seorang ratu bernama Aji Putri Petung.

Pasir dilafalkan juga sebagai Paser. Setelah masuknya Islam, daerah Pasir menjadi bagian dari sebuah Kesultanan yang berpusat di Paser Belangkong dan Tanah Grogot.

Sejarah Kesultanan Pasir terkait dengan Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan dan Kerajaan Wajo di Sulawesi Selatan. Salah satu orang kuat Bugis dari daerah Wajo bernama La Madukelleng--yang belakangan jadi Pahlawan Nasional--menikahi putri Raja Pasir yang bernama Andin Anjang. Setelah mertua La Madukelleng meninggal dunia, istrinya tidak diperbolehkan menjadi Ratu di Kesultanan Pasir.

“Istri La Madukelleng ditolak oleh orang-orang Pasir untuk dinobatkan menjadi Raja Pasir, karena ia mempersuamikan orang luar,“ tulis Muhklis Paeni dan kawan-kawan dalam Batara Gowa: Messianisme dalam Gerakan Sosial di Makassar (2002:111).

Penolakan itu membuat La Madukelleng mengerahkan pasukan Bugis untuk menyerang Kesultanan Pasir. Serangan itu berhasil dan Andin Anjang pun menjadi ratu. Salah satu putri La Madukelleng dengan Andin Anjang adalah Aji Putri Agung yang menikah dengan Sultan Aji Muhammad Idris, salah satu sultan Kutai.

Era Kolonial dan Revolusi

Pada zaman kolonial, secara administratif sejak tahun 1898 hingga 1930 daerah Kesultanan Pasir masuk ke dalam wilayah Afdeling Pasir dan Tanah Bumbu. Lalu setelah itu menjadi daerah Zuidoostkust van Borneo atau Pesisir Tenggara Borneo dalam Karesidenan Afdeling Selatan dan Timur Borneo.

Kota termaju yang paling dekat dengan Kesultanan Pasir di era kolonial adalah Balikpapan yang dibangun karena ditemukannya minyak pada akhir abad XIX. Dan daerah Pasir yang paling dekat dengan Balikpapan adalah sebuah kota distrik kecil yang bernama Penajam. Dulu, dari kota distrik kecil ini orang-orang Pasir yang hendak ke Balikpapan mesti menggunakan perahu.

Pada masa Perang Dunia II, Penajam menjadi salah satu daerah pertahanan pasukan Sekutu. Di daerah ini ditempatkan sejumlah meriam yang kini tempat itu disebut sebagai Gunung Seteleng. Ketika Balikpapan menjadi medan peperangan antara Jepang dengan tentara Sekutu, orang-orang di sekitar Penajam kenyang dengan suara-suara ledakan pertempuran.

Di masa revolusi kemerdekaan, saat tentara pendudukan NICA menduduki Balikpapan, sejumlah daerah di Penajam masih teramat sepi dan kurang terjangkau oleh tentara Belanda. Daerah-daerah tersebut adalah wilayah para gerilyawan pro Republik Indonesia. Maka tak heran banyak gerilyawan pro Republik yang terdesak di palagan Balikpapan mundur ke Penajam untuk menghindari pengejaran tentara NICA.

Abdul Gani dalam Kronik Perjoangan Rakyat Kalimantan Timur (1993:36) mengisahkan tentang sebuah kelompok gerilyawan bernama Limpat dari Balikpapan, yang dikejar pasukan NICA hingga meloloskan diri ke daerah Sepaku dan daerah lainnya di Penajam.

Penderitaan Para Transmigran dan Harapan Baru

Karena kondisinya masih sepi, pada zaman pemerintahan Sukarno, daerah Petung yang kini termasuk ke dalam wilayah Penajam Paser Utara, pernah jadi daerah tujuan Transmigrasi. Mantan Panglima Kodam Mulawarman, Brigadir Jenderal Soehario Padmadiwirio alias Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009:188), mengaku ketika dirinya baru menjadi panglima ada fenomena yang disebut “Pengemis Petung.”

Menurut Kecik, "Pengemis Petung" adalah orang-orang dari Jawa Tengah yang menjadi korban “kekurangajaran Jawatan Transmigrasi.” Mereka dijanjikan tanah pertanian, namun saat tiba di Petung mereka tidak mendapatkan lahan yang semestinya.

Ia menambahkan, orang-orang transmigran dari Jawa Tengah itu malah sempat dipekerjakan dalam proyek murah perusahaan minyak Shell milik asing. Mereka memasang pipa besar minyak dari Tanjung ke Balikpapan dengan jarak sepanjang ± 300 km yang sifatnya sementara.

Infografik Penajam Paser Utara

Infografik Penajam Paser Utara. tirto.id/Quita

Komunikasi orang-orang transmigran malang ini kemudian terputus dengan keluarga mereka di Jawa. Ketika proyek pemasangan pipa selesai dan tak ada lahan pertanian yang bisa digarap, mereka akhirnya membanjiri kota Balikpapan.

“Gubernur Pranoto dan Panglima Hartoyo (panglima Kodam Mulawarman sebelum Kecik), tetapi dua pejabat tinggi ini sudah sempat dijerat oleh Shell,” tulis Kecik menyebut dua pejabat yang dianggap ikut andil dalam kasus "penipuan" para transmigran tersebut.

Saat itu, orang-orang bahkan menyebut sebagian daerah Petung sebagai “tempat jin buang anak” dan sebagainya. Jika ingin merasakan suasana kota, orang-orang daerah ini harus ke Balikpapan melalui Penajam. Dan penghubung utama antara Penajam dengan Balikpapan adalah kapal-kapal kayu tradisional atau kapal ferry ASDP (Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan).

Pertengahan tahun 2000, orang-orang Penajam mempunyai harapan baru. Mereka menghendaki wilayahnya menjadi kabupaten baru dan tidak lagi menjadi bagian dari Kabupaten Pasir. Harapan itu terwujud pada 10 April 2002 dengan diresmikannya kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Pasir, yakni Kabupaten Penajam Paser Utara yang terdiri dari empat kecamatan.

Kini, orang-orang Penajam Paser Utara barangkali menjadi orang yang paling bangga pada daerahnya. Belum genap dua dekade menjadi kabupaten baru, daerah mereka hendak dijadikan ibukota negara. Kisah-kisah tentang masa lalu yang suram, yang dihiasi pelbagai palagan, julukan "tempat jin buang anak", penderitaan para transmigran, dan lain-lain, barangkali akan segera berganti cerita.

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBU KOTA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh