tirto.id - Riwayat Myanmar selama enam dasawarsa terakhir tidak bisa dipisahkan dari cengkeraman kediktatoran militer. Meskipun dibombardir dengan krisis ekonomi, gejolak protes massa, hingga berbagai tekanan internasional, Tatmadaw, alias militer Myanmar, senantiasa menemukan jalan untuk memperkokoh hegemoninya, sampai hari ini.
Dini hari pertama pada Februari, Tatmadaw melakukan kudeta dan menangkapi para pejabat pemerintahan sah, yakni Presiden Myanmar Win Myint, kepala negara de facto sekaligus pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Aung San Suu Kyi, dan sejumlah jajaran tinggi Partai NLD.
Beberapa jam kemudian, stasiun televisi milik angkatan militer, Myawaddy TV, merilis pernyataan bahwa Myanmar berada dalam situasi darurat sampai setahun ke depan, dengan kekuasaan sepenuhnya pada Panglima Tertinggi Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing. Para pelaku kudeta berdalih bahwa pemerintah gagal menindaklanjuti klaim Tatmadaw tentang kecurangan dalam pemilu 2020.
Menurut hasil pemilu November 2020, Partai NLD pimpinan Aung San Suu Kyi berhasil memenangkan 396 dari 476 kursi parlemen, sedangkan oposisi sokongan militer, Partai Solidaritas dan Pembangunan (USDP), hanya kebagian 33 kursi. Pada waktu yang sama, selama ini pihak militer tetap memiliki kontrol atas jalannya pemerintahan berkat Konstitusi 2008, aturan kontroversial yang menghadiahi Tatmadaw 25% kursi parlemen serta posisi penting di bidang keamanan nasional, meliputi kementerian-kementerian urusan dalam negeri, perbatasan, dan pertahanan.
Artinya, walaupun perwakilan NLD mendominasi kursi parlemen, kubu militer masih memegang kendali pemerintahan. Terlepas dari itu, mereka tetap bersikeras menolak hasil pemilu. Dilansir dari The Irrawaddy pada Januari silam, jubir USDP Dr. Nandar Hla Myint percaya bahwa sudah terjadi “kecurangan pemilu massal” yang bakal menimbulkan kerusakan dan kekacauan politik apabila tak segera ditangani. Jenderal Min Aung Hlaing juga mengklaim “praktik-praktik tidak adil dan tidak jujur” dari hasil evaluasi pemilu. Pihak militer menyatakan ada ketidakberesan pada daftar empat juta pemilih suara yang mengarah pada kecurangan di 179 daerah. Namun, tuduhan itu disanggah komisi pemilu, yang menyebutnya “berlebihan” dan “absurd”.
Belum juga parlemen yang baru kesampaian membuka sidang pertamanya, pecahlah kudeta. Pupus sudah harapan kubu NLD untuk meneruskan perjuangannya di parlemen yang dimulai sejak lima tahun silam. Kemenangan NLD pada pemilu 2015 memang jadi titik historis yang membuka jalan demokratisasi Myanmar. Sebelum perwakilan NLD mengisi parlemen dan orang-orang dekat Aung San Suu Kyi menduduki jabatan top, Myanmar sempat dinakhkodai pemerintahan sipil sokongan militer, USDP (2011-2016), setelah puluhan tahun sebelumnya berada di bawah kuasa Tatmadaw.
Di sisi lain, harapan demokratisasi Myanmar di bawah naungan NLD nampak layu sejak awal. Dalam “Burma: Suu Kyi’s Missteps” (2018) di Journal of Democracy, Zoltan Barany mengkritisi dua tahun pasca-kemenangan NLD pada 2015. Menurutnya, reformasi ekonomi berjalan lambat dan standar-standar demokrasi merosot, terutama terkait sikap dan perilaku elite politik terhadap minoritas Muslim Rohingya. Dari sekian hambatan politis, Barany menyorot dominasi pejabat militer dalam politik. Kembali ke Konstitusi 2008, militer punya semacam hak veto untuk tiap amandemen yang diajukan. Setiap perubahan undang-undang membutuhkan dukungan sedikitnya dari 75 % anggota dewan plus satu suara. Di sisi lain, militer mendapat jatah seperempat kursi dewan, sehingga mereka bisa leluasa menentukan hasil akhir tiap putusan parlemen. Singkatnya, menurut Barany, tidak ada transfer kekuasaan politik signifikan dari pihak militer kepada warga sipil yang terpilih melalui pemilu, sampai Tatmadaw memang betul-betul menghendakinya.
Sejarah Kudeta Myanmar
Kudeta Jenderal Min Aung Hlaing terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi merupakan kali kedua militer keberhasilam militer melengserkan pemerintahan sipil dalam sejarah politik modern Myanmar—dulu bernama Burma. Peristiwa serupa terjadi pada 1962, ketika Jenderal Ne Win merebut mandat pemerintahan dari Perdana Menteri U Nu yang berkuasa sejak 1948, tak lama setelah Burma merdeka dari Inggris.
Beberapa bulan sebelum Burma merdeka, elite politiknya sudah berguguran. Pada Juli 1947, PM Aung San bersama jajaran kabinetnya, ditembak mati oleh sekelompok pemuda bersenjata. Ayah dari Aung San Suu Kyi yang dipandang sebagai Bapak Bangsa ini mulai ikut berpolitik sebagai aktivis mahasiswa di Universitas Rangoon. Setelah dikeluarkan dari kampus pada 1936 karena menentang Inggris, Aung San terus memperjuangkan kemerdekaan Burma melalui kerjasama pelatihan militer dengan Jepang, lantas mendirikan grup paramiliter People’s Volunteer Organisation (PVO). Selain itu, Aung San ikut membangun gerakan nasionalis Anti-Fascist People’s Freedom League (AFPFL)—koalisi militer, para komunis dan sosialis—partai yang kelak membukakan jalan Aung San sebagai Perdana Menteri Burma di bawah kolonialisme Inggris.
Setelah kematian Aung San, U Nu diangkat sebagai PM untuk memimpin Burma yang baru merdeka dari Inggris. Sahabat Aung San sejak zaman kuliah ini disokong oleh kabinet yang mayoritas adalah anggota AFPFL. Masa kepemimpinan U Nu disambut serangkaian pemberontakan. Merujuk pada “Independent Burma: Years of Lost Opportunity” yang terbit dalam The Round Table: The Commonwealth Journal of International Affairs (1965), tantangan awal administrasi U Nu berasal dari partai komunis “Bendera Merah” pimpinan Thakin Soe, serta kaum Mujahidin di wilayah Arakan. Masih ada juga pembelotan dari People's Volunteer Organization (PVO) dan partai komunis “Bendera Putih” pimpinan Thakin Than Tun yang menganggap pemerintahan AFPFL sekadar alat imperialis Inggris.
Melansir pendapat Louis Walinsky dalam “The Rise and Fall of U Nu” (1965), salah satu kelemahan terbesar U Nu adalah kurangnya pengalaman praktis dan kemampuan administratifnya di tingkat eksekutif. U Nu juga dinilai tidak bisa memahami pentingnya pendelegasian tanggung jawab dan otoritas. Ia juga dinilai gagal memahami skala prioritas dan menindaklanjuti kebijakan-kebijakan yang diinisiasinya sendiri. Pada 1958, terjadi perpecahan dalam tubuh AFPFL. Karena U Nu ingin fokus membereskan internal partai, angkatan militer ditunjuk sebagai “pemerintah sementara” di bawah Jenderal Ne Win.
Menurut amatan Lee Bigelow dalam “The 1960 Election in Burma” (1960), di bawah kontrol sementara militer, Burma relatif stabil dan aman. Gerakan-gerakan pemberontakan dapat diredam, dan serangkaian reformasi dan aturan baru dinilai turut berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat, meskipun sejumlah pihak mengaku kesal akibat ditegur oleh para serdadu hanya karena urusan-urusan sepele, seperti larangan beli pinang di jalan atau pembatasan jumlah ayam yang boleh dibeli di pasar.
Pada 1960 U Nu kembali ke pemerintahan bersama Union Party. Namun, ia hanya bertahan dua tahun sampai Jenderal Ne Win mengambil alih kekuasaan. Carut-marut pertikaian politik, macetnya kebijakan pemerintah, berbagai bentuk pemberontakan serta ekonomi yang merosot menjadi alasan utama di balik kudeta, sebagaimana disampaikan oleh Konsam Devi dalam studi berjudul “Myanmar under the Military Rule 1962-1988” (2014, PDF). Devi membagi rezim Jenderal Ne Win dalam dua periode, yakni era pemerintahan langsung oleh militer (1962-74) dan fase Kediktatoran Konstitusional (1974-88).
Sejak Maret 1962, Burma resmi dalam kendali rezim militer Jenderal Ne Win dan Dewan Revolusi, yang ingin membangun negara sosialis satu partai di bawah Burma Socialist Program Party (BSPP). Satu bulan pascakudeta, siaran radio diisi dengan pemberitaan ideologi bertajuk “Burmese Way to Socialism”—sebuah filsafat abstrak yang berusaha memadukan ajaran Buddha, pandangan nasionalis dan Marxis. Salah satunya berisi mandat nasionalisasi raksasa-raksasa industri dalam negeri. Bisnis-bisnis milik pedagang Cina dan India diambil negara untuk diserahkan pada orang Burma. Selain itu, Burma semakin mengisolasi diri dari dunia: membatasi visa pendatang selama 24 jam, mengusir misionaris, akademisi asing dan berbagai yayasan internasional. Devi mencatat dampak terburuk rezim adalah pada sektor ekonomi. Pasar gelap mulai bermunculan, sampai-sampai mendorong praktik korupsi di jajaran militer dan menipisnya produksi beras.
Masih dilansir dari studi Devi, memasuki periode Kediktatoran Konstitusional 1974, Jenderal Ne Win memperkenalkan konstitusi baru dan mengizinkan pemilu. Kekuasaan tak lagi di tangan militer, melainkan berada pada pemerintahan terpilih. Lucunya, transfer kekuasaan hanya sebatas istilah, karena dialihkan dari Jenderal Ne Win kepada U Ne Win alias dirinya sendiri. Pemerintahan Burma terus terpusat di bawah partai sokongan militer, BSPP.
Selama satu dekade lebih, aksi massa menjamur di berbagai tempat karena memuncaknya kekecewaan rakyat terhadap krisis pangan, maraknya korupsi di kalangan pejabat, kemerosotan ekonomi, sampai turunnya kualitas pendidikan. Puncaknya terjadi setelah pemerintah melakukan demonetisasi (penghapusan mata uang yang sah) pada 1987. Namun, kebijakan tersebut tak sanggup mengembalikan kestabilan sosial dan ekonomi, yang berujung pada berbagai aksi demo oleh mahasiswa, khalayak umum, sampai para biksu Buddha.
Merunut kronologi kejadian sepanjang 1988, Jenderal Ne Win pensiun dari pucuk kepemimpinan partai pada Juli, digantikan oleh Jenderal Sein Lwin. Namun, Sein Lwin dipandang sebagai tokoh yang selama ini brutal terhadap gerakan pro-demokrasi. Akibatnya, protes terus berlangsung dan mengarah pada seruan demo besar 8 Agustus 1988 yang dikenal sebagai “8888 Uprising”. Tak lama kemudian, Sein Lwin pun mundur dari jabatan presiden, digantikan oleh seorang tokoh sipil yang dekat dengan militer, Dr. Maung Maung. Namun, posisi Dr. Maung tidak bertahan lama, karena sebulan setelahnya terjadi kudeta internal militer. Tepatnya pada 18 September, Jenderal Saw Maung mengambil alih kekuasaan. Partai bentukan Jenderal Ne Win, BSPP, tak lagi aktif. Badan pemerintahan baru didirikan oleh Jenderal Saw Maung, yakni State Law and Order Restoration Committee (SLORC).
Pada waktu yang sama, aksi demo sepanjang 1988 direspons dengan peluru para serdadu. Majalah Time melaporkan, diperkirakan 3.000 sampai 10.000 ribu nyawa melayang, meskipun pihak berwenang hanya mengklaim 350 orang meninggal.
Semenjak SLORC berkuasa, Burma berganti nama menjadi Myanmar. SLORC juga mengizinkan pelaksanaan pemilu multi-partai pada 1990, yang sukses dimenangkan oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Namun, rezim SLORC menolak kemenangan NLD dan tetap membiarkan figur-figur penting NLD, termasuk Aung San Suu Kyi, menjadi tahanan rumah.
Berbagai sanksi internasional pernah dijatuhkan kepada Myanmar. Pada 1996, Uni Eropa memutuskan untuk melarang penjualan senjata kepada Myanmar. Amerika Serikat juga sudah menjatuhkan sanksi sejak 1988, melarang penanaman investasi baru oleh warga negaranya di Myanmar pada 1997, kemudian sempat menutup celah impor produk dari Myanmar pada 2003.
Pada 1997, badan pemerintahan SLORC bubar, digantikan oleh State Peace and Development Council (SPDC) yang bertahan sampai 2011. Tokoh-tokoh militer lantas mengalihkan dukungan politiknya pada United Solidarity and Development Party (USDP), partai berkuasa antara 2011-16. Namun, USDP harus menelan pil pahit dengan rendahnya perolehan suara mereka pada pemilu 2015 dan 2020. Sejak 2016, meskipun lingkupnya terbatas, Partai NLD pimpinan Aung San Suu Kyi mulai mendapatkan arena berpolitik, sampai akhirnya hari ini Myanmar jatuh ke tangan para jenderal lagi.
Editor: Windu Jusuf