tirto.id - Setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, ibu kota Republik Indonesia Yogyakarta diduduki dan banyak pejabat tinggi ditawan. Namun, beberapa perwira militer Indonesia berhasil lolos dari razia tentara Belanda.Lain itu, banyak perwira menengah dan perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berada di luar kota kala agresi terjadi.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) pertama Indonesia Kolonel Djatikusumo kepada Tempo (18/07/1992), menyebut penjagaan ibu kota memang sedang longgar saat itu. Kesatuan TNI yang bertugas hanyalah satu kompi Brigade Soeharto, dua kompi taruna di bawah tanggung jawab Djatikusumo sendiri, dan sejumlah lasykar.
“Praktis, sewaktu memasuki Yogyakarta, Belanda tidak memperoleh perlawanan,” tutur Djatikusumo.
Karenanya, serdadu Belanda dengan mudahnya menerobos ibu kota dalam hitungan jam. Djatikusumo sendiri tengah bekerja di kantor Menteri Pengairan yang terletak di selatan Maguwo.
Kadet Heeren Zeventien
Sebagai KSAD, setelah 19 Desember 1948, Djatikusumo tidak memegang komando banyak pasukan. Hanya dua kompi taruna saja dari Akademi Militer Yogyakarta.
“Waktu itu saya juga bertanggung jawab atas keselamatan para taruna. Jumlahnya tak banyak, kira-kira 150 orang. Mereka ini adalah calon perwira pengganti,” aku Djatikusumo.
Di bawah Djatikusumo, kompi taruna itu yang sempat diterjunkan sebagai satuan tempur ke luar Kota Yogyakarta. Pada 15 Januari 1949, pasukan kadet itu mendapat perintah meledakan jembatan Bogem, Prambanan. Di sana, para kadet itu terlibat pertempuran dengan tentara Belanda. Untunglah tiada korban yang jatuh.
Tiga hari setelah pertempuran di Bogem, sebagian kadet terpikir untuk berbaur dengan pasukan lain. Pada 18 Januari 1949, 17 kadet memilih memisahkan diri dari komando Djatikusumo.
Kelompok kadet itu dipimpin oleh Hariaji. Di antara mereka, sebagian kembali ke Jawa Barat, sementara sebagian yang lain bergerilya di Berbah, Kotagede, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Kemudian, seorang kadet bernama Sugiarso dikabarkan gugur.
Kolonel Djatikusumo menilai tindakan 17 kadet itu sebagai desersi karena keluar dari komando tanpa izin komandan. Ke-17 kadet yang pergi darinya itu disebutnya sebagai De Heeren Zeventien (17 Tuan—serupa sebutan bagi para petinggi VOC).
Saat itu, kondisi Akmil Yogyakarta memang tidak ideal. Terlebih, para kadet di sana agaknya belum siap untuk benar-benar terjun ke medan tempur.
Sehari kemudian, para kadet Akmil Yogyakarta dapat perintah untuk menyerang Gondokusuman. Dalam penyerangan itu, seorang kadet bernama Lily Rochly gugur dan seorang lagi bernama Jalil terluka. Keduanya kadet akmil tingkat akhir.
Apa yang terjadi pada kedua kadet itu, menurut Moehkardi dalam Akademi Militer dalam Perjuangan Fisik 1945 sampai dengan 1949 (2020, hlm. 170), turut memengaruhi mental kawan-kawannya. Mereka mengalami kelelahan psikologis dan gangguan kegelisahan.Terlebih, para taruna itu juga mengalami kelelahan fisik karena harus berperang dengan banyak keterbatasan.
Seturut Moehkardi, para taruna Akmil Yogyakarta menilai Kolonel Djatikusumo kurang bijaksana dalam memimpin. Ada taruna yang menganggap langkah-langkah yang diambil Djatikusumo sebagai pemborosan tenaga calon perwira. Keluhan itu masuk akal karena mereka yang belum terlatih tentu saja bisa jadi “santapan empuk” militer Belanda.
Setelah Peristiwa 17 Kadet, seperti disebut Daud Sinjal dkk dalam Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya (1996, hlm. 250), para taruna mulai disebar ke kampung-kampung dalam kelompok kecil. Satu kelompok umumnya terdiri dari 4 atau 5 orang. Mereka bakal berkumpul dalam satu kesatuan kala ada komando menyerang dan setelahnya menyebar lagi ke kampung masing-masing.
Setelah perang antara Indonesia dan Belanda usai pada 1950, Djatikusumo melarang 17 kadet yang mangkir itu ikut ujian akhir. Meski sempat terhambat, mereka akhirnya diperbolehkan melanjutkan karier militernya. Namun, ada juga yang kemudian berhenti dari kemiliteran.
Di antara taruna yang lanjut, ada yang mencapai pangkatbrigadir jenderal pada 1976. Mereka yang diolok sebagai Heren Zeventien itu belakangan enggan bercerita soal periode awal 1949 yang suram bersama Djatikusumo. Mereka tentu rawan disudutkan sebagai desertir.
Djatikusumo Tak Pernah Jadi Taruna Akademi Militer
Djatikusumo tentu punya pemikiran dan penilaian sendiri kala memimpin Akmil Yogyakarta. Moehkardi menyebut bahwa para taruna harus berada dalam satu komando sebelum diluluskan. Para taruna dituntut untuk kompak dan loyal kepada pimpinan.
Pemikiran itu tak bisa dilepaskan dari latar belakang pengalamannya memimpin Divisi Ronggolawe. Di divisi itu, Djatikusumo mengadakan Sekolah Opsir Tjadangan. Siswa sekolah komando ini juga biasa diperintahkannya terjun dalam pertempuran.
“Kita harus ikut bertempur,” kata Djatikusumo pada tarunanya sewaktu di Ronggolawe.
“Kalau gugur bagaimana?” tanya para taruna.
“Lho, perang kok tanya kalau gugur. Kalau prajurit- prajurit biasa boleh gugur, apa kamu tak boleh gugur? ini pelajaran, guru perang terbaik adalah perang itu sendiri. Sekarang ada kesempatan untuk perang, ada musuh di depan mata. Cari musuh itu susah, mahal,” tegas Djatikusumo.
Maka Djatikusumo memperlakukan taruna Akademi Militer Yogyakarta seperti halnya taruna Sekolah Opsir Tjadangan di Divisi Ronggolawe. Meski begitu, Djatikusumo tidak mengawali karier militernya dari jenjang taruna akmil. Dia hanya pernah jadi taruna Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) yang mendidik calon perwira cadangan KNIL. Dia menjalani pendidikan di CORO selama enam bulan dan kemudian menjadi siswa calon chudancho(komandan kompi) dalam tentara sukarela PETA bentukan Jepang.
Bagi Djatikusumo, “Latihan di PETA itu luar biasa hebat.” Agaknya, semangat tempur ala Jepang—yang kerap tanpa perhitungan matang dan nekad—hendak diterapkannya pada taruna akmil yang ada di bawah komandonya.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi