tirto.id - “Kami, majelis hakim, memutuskan bahwa saudara terdakwa dijatuhi hukuman mati!”
Haogoaro Harefa, hakim ketua yang memimpin jalannya persidangan pada 24 April 1998 tersebut memutuskan perkara dengan mantap. Gemuruh tepuk tangan para hadirin pun langsung memadati ruang sidang.
Sementara terdakwa yang bernama Suradji tampak tenang usai vonis dibacakan. Bahkan, beberapa kali ia tertangkap melempar senyum ke arah juru warta, seolah vonis tersebut bukan perkara serius.
“Saya minta banding,” katanya pelan, saat ditanya hakim mengenai sikapnya terhadap putusan pengadilan.
Bagi warga Sumatera Utara, Suradji bukan sembarang orang. Ia, yang biasa akrab disapa Dukun AS, adalah tersangka pembunuhan berantai dengan korban tewas sebanyak 42 orang. Semua korbannya adalah perempuan.
Aksi keji itu ia lakukan dalam kurun waktu 1986-1994 di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. Motif pembunuhan didasari klaim Suradji atas wangsit dari mendiang ayah yang memerintahkannya untuk membunuh 70 perempuan agar jadi sakti mandraguna.
Klenik Sejak dalam Pikiran
Seperti halnya Robot Gedek yang pernah bikin geger Jakarta dua dekade silam, penampilan dukun AS tak terlihat kontroversial. Ia kurus, jangkung, dan orang-orang mungkin lebih mengira ia sebagai pegawai kelurahan dibanding kriminal.
Sebagaimana ditulis majalah Intisari edisi 2017, Suradji dibesarkan oleh pasangan Jogan dan Sartik. Sang ayah, yang berprofesi sebagai dukun, meninggal kala ia baru berusia tujuh bulan. Masa kecilnya hampir sama dengan anak-anak desa pada umumnya; bermain dan berlarian di ladang.
Di lingkungan tempatnya bermukim, Suradji lebih dikenal dengan nama “Nasib Kelewang”—nama yang disematkan karena ketika kecil ia pernah tercebur sumur dan selamat. Menurut pengakuan ibunya, selain bermain di ladang, Suradji juga tertarik mempelajari ilmu dukun sejak umur 12 tahun lewat buku-buku peninggalan sang ayah.
Hidup Suradji berubah 180 derajat saat ia memutuskan untuk berpoligami. Tak tanggung-tanggung, menurut Intisari, Suradji menikahi dua perempuan sekaligus yang semuanya masih punya pertalian saudara dengan istri pertamanya, Tumini. Suradji menikah lagi dengan alasan ingin punya anak perempuan, sesuatu yang tidak didapatkannya bersama Tumini.
Pada saat bersamaan, Suradji kian getol menyelami lautan klenik. Ia mengaku bahwa dalam mimpinya, sang ayah kerap datang dan mengajarinya berbagai ilmu kesaktian. Terlepas apakah Suradji betulan sakti atau tidak, masyarakat setempat menganggap dirinya “orang pintar” alias dukun. Di rumahnya, Suradji melayani bermacam jenis jasa, mulai dari mengobati orang sakit hingga pasang susuk.
Pada suatu malam, masih mengutip Intisari, Suradji bimbang. Pasalnya, mendiang sang ayah kembali datang di mimpinya. Dalam pertemuan itu, sang ayah berpesan: jika ia ingin ilmunya semakin sakti dan bisa memberikan “kebaikan” bagi orang-orang di sekitar, ia harus mengorbankan setidaknya 70 nyawa perempuan.
Setelah lama menimbang-nimbang, Suradji akhirnya melaksanakan petuah sang ayah. Maka, diburulah sejumlah perempuan untuk ditumbalkan.
Aksi brutal Dukun AS mulai terendus pada medio 1997. Aparat Mapolsek Sunggal menemukan 42 rangka manusia di ladang tebu di Dusun Aman Damai, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Rata-rata korban berumur 13 sampai 27 tahun.
Dalam laporan Intisari dijelaskan bahwa penemuan tersebut berangkat dari informasi seorang pemuda lokal yang tanpa sengaja mendapati mayat tanpa busana di ladang tebu. Korban bernama Sri Kemala Dewi. Mulanya polisi mengira pelaku pembunuhan adalah suami Dewi sendiri. Sebab, menurut keterangan warga, keduanya sempat terlibat pertengkaran pada malam sebelum Dewi menghilang.
Akhirnya, seorang warga bernama Andreas mengaku pernah mengantarkan Dewi ke rumah Suradji guna melakukan konsultasi. Polisi lantas menindaklanjuti keterangan Andreas. Datanglah mereka ke rumah Suradji. Saat ditanya polisi, Suradji mengaku Dewi memang mengunjungi rumahnya. Namun, terang Suradji, “Dewi pulang selepas Maghrib.”
Pengusutan kasus sempat terhenti karena bukti-bukti yang ditemukan tak cukup. Tapi, polisi tak kehilangan akal. Mereka kemudian mendalami sejumlah laporan orang hilang dalam beberapa tahun terakhir. Dari hasil pendalaman ditemukan satu benang merah: sebagian besar korban adalah pasien Suradji.
Temuan tersebut mendorong polisi untuk kembali mendatangi rumah Dukun AS. Satu per satu sudut rumah disisir secara seksama. Akhirnya polisi menemukan beberapa helai pakaian perempuan dan perhiasan. Barang bukti itulah yang membuat Suradji ditangkap. Dalam proses interogasi, Suradji mengaku bahwa ia yang membunuh Dewi dan 41 perempuan lainnya demi “memperoleh ilmu sakti.” Tak cuma menghabisi nyawa, Suradji juga menyikat barang-barang berharga milik korban.
Takut, Tobat, Sebelum Akhirnya Ditembak di Tempat
Kehidupan penjara turut mengubah perilaku Dukun AS. Seperti diwartakan Kompas, Dukun AS telah “bertobat dan membuang semua ilmu kebatinan yang dimilikinya” selama ditahan.
“Dukun AS diberi penjelasan dari segi agama bahwa ilmunya tersebut dapat mempersulit dirinya ketika dijemput ajal nanti. Nasihat tersebut diterima Dukun AS sehingga terpidana mati itu segera membuang ilmu kebatinan yang dimilikinya,” kata Ali Nafiah Nasution, pekerja dari Yayasan Pendidikan Intensif Agama Islam (YPIA) Medan kepada Kompas.
Sejak “membuang kleniknya,” lanjut Nafiah, Dukun AS rajin mengikuti pengajian yang diselenggarakan dua kali sebulan di LP Kelas I Tanjung Gusta Medan. Senada dengan Nafiah, Kepala LP Kelas I Tanjung Gusta Medan, Ace Hendarmin, juga menyebut Dukun AS “sudah tobat” dan “punya aktivitas ibadah yang luar biasa”.
“Jika napi lain langsung keluar mushola setelah sholat, Dukun AS akan berdiam diri untuk berzikir dalam waktu yang cukup lama,” terangnya.
Di tengah pertobatannya itu, Dukun AS sempat merasa tertekan setelah mengetahui rencana Kejaksaan Tinggi Sumut yang akan melaksanakan eksekusi mati terhadap dirinya. Kabar tersebut membikin Dukun AS stres mengingat, catat Gatra, ia masih mengharap diberi grasi oleh presiden sebab “sudah memperlihatkan perubahan baik dalam penjara.”
Setelah divonis mati oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Deli Serdang, kuasa hukum Dukun AS mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung tiga tahun kemudian. Upaya kasasi itu ditolak. Pada 2004, dibantu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Dukun AS melayangkan grasi ke presiden. Hasilnya: grasi ditolak pada 27 Desember 2007.
Tak menyerah, beberapa minggu kemudian, tim kuasa hukum Dukun AS lagi-lagi mengajukan grasi. Upaya ini gagal membuahkan hasil. Grasi Dukun AS dikembalikan karena dianggap “belum memenuhi masa dua tahun dari grasi pertama.”
Penolakan itu membuat kuasa hukum Dukun AS bertanya-tanya. Menurut mereka, ada kejanggalan sebab penolakan grasi seharusnya dikeluarkan melalui Keputusan Presiden (Keppres)—sebagaimana grasi yang pertama—bukan lewat Sekretariat Negara (Setneg).
Upaya hukum yang diajukan tim Dukun AS pada akhirnya sia-sia. Pada 10 Juli 2008, tepat hari ini 12 tahun lalu, tiga peluru dari Brigadir Mobil (Brimob) Polda Sumatera Utara menembus dadanya. Dukun AS tewas di tempat. Atas permintaan keluarga, jenazahnya langsung dikebumikan keesokan harinya.
Kendati sudah dieksekusi mati, penolakan terhadap Dukun AS masih kencang. Warga Desa Sei Semayang, tempat tinggal Dukun AS, tidak terima apabila Dukun AS dikuburkan di desa mereka. Salah satunya diutarakan oleh Ana, ibu dari korban Suradji yang bernama Dewi. Ana menegaskan keluarganya takkan ikhlas melihat kuburan Dukun AS bersanding dengan makam putrinya.
“Jika memang harus ditanam di desa itu, jangan dikuburkan di TPU. Kuburkan saja di depan rumahnya, jangan di perkuburan umum,” ujarnya. “Terlalu berat penderitaan kami akibat perbuatan Dukun AS. Kami tidak terima jika dia dikuburkan di desa ini.”
Dukun AS pernah mengatakan, “Sihir hitam datang dari Tuhan. Aku tidak memilikinya lagi, aku telah bertobat. Kuharap aku punya kesempatan untuk hidup.”
Namun, peluru kadung menembus tubuhnya.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 19 Oktober 2018 dengan judul "42 Perempuan Dibantai Dukun AS demi 'Kesaktian'". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Windu Jusuf