tirto.id - Jalan Margonda Raya merupakan salah satu jalan terpenting di Depok yang menghubungkan dengan Jakarta. Sejarah penamaan jalan ini berasal dari nama pahlawan, yakni Margonda, seorang pemuda pejuang yang gugur pada 16 November 1945 dalam pertempuran heroik melawan NICA atau Belanda.
Terdapat dua versi terkait asal-usul Margonda. Ada yang menyebut ia lahir di Bogor dengan nama kecil Margana, namun ada pula yang meyakini bahwa Margonda adalah putra daerah Cimahi, Jawa Barat. Margonda diperkirakan lahir tahun 1918.
Menjelang kekalahan Belanda dari Jepang tahun 1942, Margonda menempuh kursus penerbangan Luchtvaart Afdeeling pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kursus ini juga diikuti oleh Adisucipto yang kelak menjadi salah satu perintis Angkatan Udara RI.
Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, tulis Yano Jonathans dalam Depok Tempo Doeloe (2011), Margonda bekerja untuk lembaga pertanian di Bogor. Proklamasi kemerdekaan RI yang terjadi pada 17 Agustus 1945 mengubah jalan hidup pemuda ini.
Margonda terjun ke kancah perjuangan seiring masuknya kembali Belanda (NICA) ke Indonesia bersama pasukan Sekutu. Ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu, Margonda juga salah satu pendiri sekaligus pemimpin laskar perjuangan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI).
Namun, perjuangannya berlangsung singkat. Margonda gugur dalam rangkaian peristiwa heroik yang dikenal dengan nama Gedoran Depok. Insiden ini bermula dari bentrokan dengan pasukan NICA pada 11 Oktober 1945. NICA berhasil memukul mundur para pejuang RI, termasuk Margonda.
Wenri Wanrar dalam Gedoran Depok: Revolusi Sosial di Tepi Jakarta 1945-1955 (2012) mengungkapkan, Margonda menyusun siasat untuk melancarkan serbuan balasan sekaligus merebut kembali wilayah Depok dari Belanda. Tanggal 16 November 1945, rencana tersebut dilaksanakan.
Malang bagi Margonda. Di tengah pertempuran, ia gugur. Dadanya tertembus peluru tentara Belanda saat hendak bersiap melemparkan granat. Seketika, granat yang masih tergenggam di tangan pun menghancurkan raga sang pejuang yang saat itu masih berusia 27 tahun.
Lokasi gugurnya Margonda terjadi di daerah yang bernama Kalibata, namun bukan Kalibata di Jakarta Selatan, melainkan di Depok. Kala itu, kematian Margonda masih menjadi misteri. Tubuhnya yang hancur membuat kabar tentangnya pun simpang-siur.
Dikutip dari buku karya Wenri, tabir mengenai nasib Margonda terkuak empat tahun setelah insiden tersebut. Teman dan kerabatnya, termasuk Maemunah sang istri, akhirnya mengetahui bahwa Margonda telah gugur di medan laga sebagai kusuma bangsa.
Jalur Macet Menuju Jakarta
Nama Margonda kemudian diabadikan sebagai nama jalan utama di Depok yang kini menjadi salah satu jalur yang menghubungkan dengan Jakarta. Pada era 1960-an, jalan sepanjang 4 kilometer ini belum seramai sekarang. Kala itu, sebagian besar wilayah Margonda masih berupa lahan pertanian.
Memasuki dekade 1980-an, Jalan Margonda mulai berbenah. Tri Wahyuning M. Irsyam lewat buku Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an (2015) memaparkan, terjadi pemindahan pusat pemerintahan Depok dari Pancoran Mas ke Margonda ketika wilayah ini ditetapkan sebagai kota administratif.
Perubahan status tersebut membuat pembangunan infrastruktur di Margonda menjadi perhatian utama Pemerintah Kota Depok. Mulailah berdiri banyak bangunan kantor pemerintahan, kantor polisi, rumah sakit, dan fasilitas publik lainnya.
Jalan Margonda pun mulai berubah menjadi jalur utama. Suasana ramai semakin terasa ketika Universitas Indonesia (UI) dipindahkan dari Salemba ke Depok sejak 1987. Aspek sosial, ekonomi, dan budaya di sekitar Margonda Raya turut bertransformasi.
Kepadatan di Jalan Margonda kian bertambah dan sulit dibendung tatkala pembangunan semakin marak. Pusat perbelanjaan bermunculan. Tak hanya itu, laju pembangunan hotel, pusat bisnis, dan berbagai tempat tongkrongan kawula muda. juga enggan melambat.
Kini, Jalan Margonda Raya menjadi salah satu rute tersibuk dan teramai di Depok. Terlebih lagi, jalur ini merupakan akses utama yang menghubungkan dengan Jakarta. Kepadatan yang kurang terkontrol dan tanpa perencanaan kota yang baik, membuat kawasan ini seringkali menjadi biang macet.
Editor: Iswara N Raditya