Menuju konten utama

Sejarah Hindu Bali: Upaya Menuntut Pengakuan dari Negara

Ada fase dalam sejarah, saat umat Hindu Bali menuntut agar Hindu diakui sebagai agama, bukan sebagai suatu aliran kepercayaan.

Sejarah Hindu Bali: Upaya Menuntut Pengakuan dari Negara
Sejumlah umat Hindu melakukan doa sebelum hewan disembelih untuk dijadikan korban suci pada Upacara Mapepada di Pura Aditya Jaya, Rawamangun, Jakarta, Selasa (5/3/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Dari sejumlah pulau yang baru ditaklukkan Belanda pada awal abad ke-20, Bali adalah salah satunya. Belanda mulai menyerang Bali pada 1846 dan menaklukkannya pada 1908.

Namun, Bali sudah tenar di kalangan orientalis, para pengkaji kehidupan Timur, Eropa jauh sebelum itu. Sebagaimana disebut Michel Picard dalam "What's in a Name? Agama Hindu Bali in The Making" (2004), orientalis Eropa menjuluki Bali sebagai museum hidup peradaban Hindu-Jawa. Bali dianggap satu-satunya penerus yang hidup kala peradaban Hindu memudar di Jawa selepas masuknya Islam.

Di kalangan orientalis Eropa, berkembang pemahaman bahwa Hindu dibawa masuk Bali pada abad ke-14 oleh orang-orang Majapahit. Ketika Majapahit terdesak oleh pengaruh Islam pada waktu itu, elite Majapahit yang tidak mau masuk Islam pergi ke Bali untuk berlindung di kerajaan-kerajaan pimpinan saudaranya di Bali.

Para orientalis itu senang sebab orang-orang Bali telah melestarikan teks dan ritual Hindu, tapi mereka tidak satu suara dalam memandang sejauh mana kesesuaian praktik keagamaan di Bali dengan India. John Crawfurd dan Thomas Stanford Raffles memandang pemujaan yang dilakukan orang Bali di kuil-kuil sebagai bentuk ketakhayulan sehingga itu tidak bisa disebut Hindu. Sedangkan R.H.Th. Friederich melihat agama yang dipraktikkan di Bali adalah Hindu.

Perdebatan tersebut berlangsung pada abad ke-19. Namun, wujud lain polemik pengakuan praktik keagamaan juga terus muncul di kemudian hari, hingga masa Bali berada di bawah republik.

Hindu Bali antara Agama dan Adat

Di luar perdebatan para orientalis soal kesesuaian praktik keagamaan Bali dengan India, dalam catatan Picard, para orientalis sepakat Hinduisme adalah inti dari masyarakat, penjaga keutuhan budaya, dan inspirasi daya artistik orang Bali. Oleh karena itu, agama Bali mesti dilindungi dari pengaruh agama lain.

Pemerintah kolonial melarang misionaris beroperasi di Bali pada 1881. Pada 1924, misi Katolik Roma ke Bali ditolak elite Bali dan pegawai kolonial mendukung hal itu. Selain itu, misionaris Protestan Belanda yang mau masuk ke Bali pada 1931 juga ditentang.

Kepala Departemen Arkeologi Batavia F.D.K. Bosch dan stafnya, seorang ahli Bahasa Jawa dan Bali kuno bernama R. Goris, mengatakan dakwah misionaris akan menghancurkan kebudayaan Bali. Bagi Bosch dan Goris, agama Bali mesti diakui sebagai bagian yang sah dari Hinduisme. Sementara itu, misionaris H. Kraemer menganggap agama Bali mengandung hanya sedikit Hinduisme. Bagi Kraemer, agama Bali berisi sihir dan takhyul serupa "animisme" yang ditemui di banyak tempat di Nusantara.

Pada akhirnya, Gubernur Jenderal Hindia Belanda melarang misionaris masuk ke Bali. Namun, itu tidak bisa mencegah sepenuhnya misi Protestan atau Katolik Roma dalam menjejakkan kakinya di Bali.

Sementara itu, masyarakat Bali juga berkembang dan menyesuaikan diri dengan modernisme yang diperkenalkan Eropa. Pada warsa awal abad ke-20, pelbagai organisasi modern didirikan di Singaraja, Bali oleh pengajar dan pegawai sipil.

Selain mendirikan sekolah-sekolah dan yayasan keagamaan, organisasi ini juga menerbitkan jurnal berbahasa Melayu, lingua franca di Hindia Belanda. Pandangan mereka soal agama Bali, Hindu, dan kebudayaan Bali disalurkan lewat jurnal tersebut.

Sekurang-kurangnya ada dua majalah terkemuka pada masa tersebut yang kerap baku gagasan: Bali Adnjana dan Surya Kanta. Sebagaimana disampaikan Anak Agung Gde Putra Agung dalam Perubahan Sosial dan Pertentangan Kasta di Bali Utara (2001) bahwa perdebatan antara keduanya menyoal sistem kasta di Bali.

Meskipun keduanya berbeda ideologi, Picard mencatat pimpinan Surya Kanta dan Bali Adnjana sama-sama ingin mempertahankan fondasi identitas Bali. Lewat kedua majalah, orang Bali memandang diri mereka sebagai entitas tunggal, "kita bangsa Bali". Siapakah bangsa Bali itu? Yang jelas, mereka menafsirkan identas ke-Bali-an berdasarkan agama dan adat, sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Bali Adnjana didirikan oleh organisasi Santi dan kemudian mendapat dukungan Tjatoer Wangsa Derja Gama Hindoe Bali. Ia mewakili suara triwangsa atau tiga kasta tertinggi di Bali: Brahmana, Ksatria, dan Waysia. Kaum triwangsa ingin pembaharuan dijalankan perlahan dengan tetap mempertahankan sistem kasta. Dalam anggaran dasarnya, Santi didirikan untuk "menegoehkan Agama Hindoe" juga "menegoehkan Adat dan Agama".

Sedangkan Surya Kanta didirikan I Ktoet Nasa. Dia sebenarnya menjadi salah satu pendiri Santi. Namun, dia ingin lebih menyuarakan kepentingan golongan Sudra atau Jaba. Surya Kanta punya tujuan "menegoehkan Agama dan merobah adat istiadat jang bertentangan dengan keamoean zaman". Adat yang dimaksud ialah yang bikin rugi orang-orang Jaba di Bali.

Tapi mana yang disebut "agama" dan mana yang "adat"? Bagi Surya Kanta, orang Bali tidak akan memahami agamanya sepanjang mereka tidak tahu nama agama mereka. Mereka menganggap praktik dan keyakinan keagamaan di Bali yang amat beragam sebenarnya tidak masuk agama tapi adat. Sedangkan Bali Adnjana, melihat keragaman itu sebagai suatu yang biasa sebab pada dasarnya Hinduisme bukan agama yang seragam.

Tidak heran bila kemudian Tjakra Tanaja, tokoh faksi triwangsa di Santi sekaligus pendiri Bali Adnjana, mengajukan usulan agar agama yang mereka anut disebut "Agama Hindu Bali". "Nama Hindoe Bali jaitoe jang bererti menegoehkan Agama Hindoe yang soedah ada dan dipeloek olih wong Bali" sebut Bali Adnjana (edisi 1926, 3/17:2).

Sedangkan I Ktoet Nasa dan orang-orang Jaba mengusulkan nama "Agama Bali Hindu". Bagi mereka, orang-orang Bali ialah penganut Hindu. Supaya benar-benar menjadi Hindu, orang-orang Bali mesti meninggalkan hal-hal yang sebenarnya tambahan saja dalam praktik keagamaan. Menanggapi ini, Bali Adnjana menuding Surya Kanta ingin Hinduisme dalam bentuk "murni" diterapkan di Bali.

Pada 1936 sebuah majalah bernama Djatajoe didirikan organisasi Bali Darma Laksana. Redaksi majalah ini berisi eks Bali Adnjana, Surya Kanta, dan Bhawanagara. Isu keagamaan orang Bali dan seruan untuk mereformasinya pun mendapat ruang berpolemik di majalah ini sejak awal. Namun, sekali lagi, perdebatan ini tidak pernah tuntas, bahkan menjadi semakin rumit sebab orang-orang Bali juga mesti menghadapi pandangan kabur pribumi pulau lain, penganut agama lain, yang menganggap mereka memuja berhala pun animis.

Infografik Polemik Agama Hindu di Bali

Infografik Polemik Agama Hindu di Bali

Setelah Indonesia Merdeka

Pada akhirnya istilah "Hindu Bali" diakui sebagai "agama". Namun, untuk menuju ke sana, jalannya berliku.

Ketika tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama, tembok pemisah agama dan aliran kepercayaan benar-benar dibangun. Menurut Peraturan Menteri Agama 9/1952 Bab VI, aliran kepercayaan diartikan "suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa."

Sedangkan "agama" didefinisikan seturut garis pemahaman Judaeo-Kristiani-Muslim yang monoteistik. Bila suatu komunitas ingin diakui "beragama", mereka mesti menganut akidah monoteistik yang diakui secara internasional; yang diajarkan seorang nabi melalui kitab suci.

Pada 1952, Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) mengakui hanya tiga agama yang dipeluk rakyat Indonesia: Islam, Protestan, dan Katolikisme. Semua yang di luar itu diakui sebagai orang yang belum beragama. Semua tradisi di Nusantara, termasuk kebatinan Jawa digolongkan sebagai aliran kepercayaan kesukuan. Menariknya, kebatinan Jawa sebenarnya menganut akidah monoteistik.

Bagaimana dengan Bali? Berdasarkan peninjauan pada 1950, Departemen Agama menyimpulkan kehidupan beragama di Bali berisi praktik politeistik dan animisme yang beragam. Sebab itu, agama orang Bali digolongkan sebagai aliran kepercayaan dan dianggap sebagai "orang yang belum beragama".

Tokoh masyarakat Bali tidak terima dengan itu. "Para pemimpin organisasi reformasi agama yang berkembang pesat di Bali setuju untuk belajar ke India agar mendapat pengertian umum tentang prinsip dan praktik keagamaan mereka, menyesuaikan garis kriteria yang ditetapkan Departemen Agama Indonesia," sebut Martin Ramstedt dalam "Negotiating identities - Indonesian ‘Hindus’ between local, national, and global interests" (2004).

Beberapa cendekiawan muda Bali dikirim belajar ke Shantiniketan Vishva Bharaty University, Banaras Hindu University, dan International Academy of Indian Culture.

Pada 14 Juni 1958, petisi bersama diajukan guna menuntut pembentukan seksi Hindu-Bali dalam Departemen Agama. Petisi ini berdalih Hindu-Bali tidak bertentangan dengan Pancasila.

Presiden Sukarno yang sangat mendukung "kesatuan" tentu menyambut baik petisi tersebut. Pada 1 Januari 1959, pemerintah membentuk Bagian Urusan Hindu Bali dalam Departemen Agama. Pada tahun yang sama, semua organisasi keagamaan besar di Bali melebur menjadi satu badan bernama Parisada Dharma Hindu Bali.

Pada 1963, Biro tersebut berganti nama menjadi Biro Urusan Agama Hindu Bali. Setahun berikutnya, Parisada Hindu Dharma Bali mengganti namanya menjadi Parisada Hindu Dharma.

Periode 1966-1980, banyak orang Jawa di Jawa Tengah dan Timur seperti Orang Tengger di kawasan Bromo, Jawa Timur; orang Bugis To Wani To Lotang, Toraja-Mamasa, Toraja Sa'dan di Sulawesi Selatan; sebagian orang Karo di Sumatera Utara; dan orang Ngaju dan Luangan di Kalimantan Selatan menyatakan diri mereka sebagai Hindu.

Pada 1986, Parisada Hindu Dharma berganti nama menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia, agar dapat menaungi komunitas tersebut. Pembentukan organisasi ini menjadi bagian perjalanan dari perjuangan umat Hindu Bali menuntut Hindu sebagai agama bukan sebagai suatu aliran kepercayaan.

Baca juga artikel terkait NYEPI 2019 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Suhendra