tirto.id - Peringatan Jumat Agung jatuh pada 15 April 2022 dan masuk dalam tanggal merah atau libur nasional di tanah air dan Paskah dirayakan pada 17 April 2022
Jumat Agung adalah peringatan wafatnya Yesus di Bukit Golgota dan disebut Good Friday. Sedangkan Paskah adalah peringatan kebangkitan Yesus.
Lalu, mengapa dalam hari untuk memperingati hari penderitaan dan kematian Yesus itu disebut Good Friday? Dikutip dari BBC, beberapa sumber menyatakan hari itu disebut "baik" karena itu diyakini sebagai hari yang suci oleh umat Kristiani.
Ada juga yang mengatakan bahwa frasa tersebut merupakan “bahasa pelesetan” dari kata God’s Friday.
Salah satu sumber dari editor senior di Oxford English Dictionary (OED), Fiona MacPherson menerangkan bahwa penggunaan kata sifat, yang secara tradisional dipakai dalam penyebutan hari raya keagamaan itu, “merujuk pada hari (atau kadang musim) yang mana ketaatan keagamaan dijalankan.”
OED menyatakan "baik" dalam konteks ini mengacu pada "hari atau musim yang dirayakan sebagai hari suci oleh gereja," sehingga ada juga Good Wednesday yaitu hari Rabu sebelum Paskah.
Penggunaan Good Friday pertama kali tercatat dalam The South English Legendary, sebuah teks sekitar tahun 1290 menurut Baltimore Catechism -buku resmi untuk siswa Katolik di AS. Saat itu disebut "Guode Friday".
Sementara menurut Catholic Encyclopedia, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1907, menyatakan bahwa asal usul istilah Good Friday masih belum jelas.
Beberapa sumber melihat asal-usul Good Friday berasal dari istilah Gottes Freitag atau berasal dari Gute Freitag Jerman.
Cara Menetapkan Hari Jumat Agung dan Paskah
Perayaan Jumat Agung dan Paskah selalu berbeda setiap tahunnya. Paskah berakar dari kata dalam bahasa Yunani "pascha" atau kata dalam bahasa Ibrani "pesach".
Pada 1530, William Tyndale, seorang pembaharu Kristen dan penerjemah Perjanjian Lama ke dalam bahasa Inggris, menerjemahkan "pesach" yang terdapat dalam pasal 12 Kitab Keluaran menjadi "Passover".
Secara harfiah, kata itu berarti "melewati" dan secara khusus dalam tradisi Yahudi merujuk pada perayaan pembebasan dari perbudakan di Mesir.
Mengikuti Injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas), arus utama tradisi Kristen berpendapat Paskah dimulai saat perjamuan terakhir Yesus dengan murid-murid-Nya sebelum Penyaliban-Nya.
Hal ini menempatkan tanggal kematian Yesus pada tanggal 15 Nisan dalam kalender Yahudi, atau pada hari pertama Paskah (mulai saat matahari terbenam).
Sedangkan Injil menurut Yohanes, sebaliknya, menyatakan bahwa Paskah belum dimulai ketika perjamuan terakhir Yesus diadakan, yang akan menempatkan tanggal kematian Yesus pada 14 Nisan.
Untuk mengatasi perbedaan tanggal perayaan Jumat Agung dan Paskah ini, Kaisar Romawi Konstantin menyelenggarakan Konsili Nicea I pada 325.
Konsili tersebut menetapkan peringatan Paskah dilaksanakan pada hari Minggu pertama setelah bulan purnama pertama yang muncul setelah ekuinoks vernal. Jika bulan purnama muncul pada hari Minggu, Hari Paskah diperingati pada hari Minggu pekan depannya.
Namun, bulan purnama tak selalu muncul pada waktu yang bersamaan di setiap wilayah. Oleh karena itu, gereja membuat kalender perhitungan bulan purnama paskah tersendiri yang disebut Ecclesiastical Full Moon (EFM).
Saat itu penetapan Hari Paskah dilakukan dengan memanfaatkan tabel siklus Metonik 19 tahunan Bulan dalam kerangka kalender Julian.
Selanjutnya, penetapan tersebut disesuaikan seiring diberlakukannya sistem baru, kalender Gregorian, sejak 1582.
Kalender Gregorian membuang 10 tanggal, 5-14 Oktober 1582, dari kalender Julian untuk menyesuaikan kembali ekuinoks vernal yang semula bertanggal sekitar 3 April ke tanggal sekitar 20 Maret.
Peneliti di Carnegie Instituion of Washington Alexandor Pogo, dalam artikel berjudul "Early and Late Easter Dates" menunjukkan tanggal Hari Paskah merentang dari yang paling cepat pada 22 Maret hingga paling lambat 25 April setiap tahunnya.
Editor: Iswara N Raditya