tirto.id - Di Indonesia, seks adalah sesuatu yang sering disalahpahami. Membicarakannya di depan umum seolah mengumbar malu. Apalagi menonton film yang bertutur tentang seks, salah-salah orang mengira kita sedang membicarakan film porno atau malah disangka mendukung perilaku seks pra-nikah.
Film nyatanya bisa menjadi pendidikan seks jika dikemas dengan baik dan tak menutup kemungkinan akan membuka ruang diskusi baru. Sayangnya, di Indonesia, film pendidikan seks jumlahnya masih sangat sedikit.
Film Dua Garis Biru yang tayang Juli lalu merupakan dobrakan di tengah pahitnya kenyataan pendidikan seks di Indonesia. Banyak yang menilai positif kepada film garapan sutradara dan penulis naskah Gina S Noer tersebut sebagai film yang berhasil menanamkan kesadaran akan pentingnya seks edukasi sejak dini. Namun, tidak sedikit pula yang menganggapnya malah mendorong gaya hidup bebas para remaja.
Perdebatan semacam itu memang bukan kabar baru di Indonesia. Pada tahun 1978, film Akibat Pergaulan Bebas juga sempat menuai pujian yang disusul kritik. Film drama anak kampus yang muncul di tengah agenda sosialisasi pendidikan seks pemerintah Orde Baru ini sempat dipuji. Film tersebut dinilai ampuh menertibkan perilaku seks anak-anak remaja. Namun, di saat bersamaan juga dianggap menjadi biang keladi sejumlah kasus persetubuhan anak di bawah umur.
Sepanjang tahun 1970-an, film pendidikan seks pernah mengalami masa keemasan yang singkat. Sebagian besar dibuat untuk mendukung program-program pemerintah berkenaan dengan pembatasan pergaulan bebas remaja dan perilaku reproduksi dalam rumah tangga. Meski demikian, pada akhirnya kepentingan industri dan kebijakan yang kurang matang justru membunuh kadar pendidikan dari film jenis ini.
Demi Program Pemerintah
Seks dalam pandangan pemerintah Orde Baru ibarat kartu yang harus dimainkan dengan cekatan. Di satu sisi, pemerintah sadar bahwa pembangunan nasional berpotensi membawa perubahan dalam perilaku seksual warga negara dan akan sulit dibendung. Di sisi lain, pemerintah tidak ingin kehilangan momentum untuk mengatur perilaku tersebut agar tercipta ketertiban sosial.
Sejak tahun 1970, angkatan bersenjata dengan gamblang menunjukkan ketertarikan di bidang ini melalui sejumlah pemberitaan koran-koran berhaluan militer. Pada 19 April 1970, koran Angkatan Bersenjata merilis keputusan Tim Penelaah Masalah Porno dari Kejaksakan Agung. Tim tersebut berusaha mengklasifikasikan macam-macam benda atau hal yang dianggap dapat merangsang nafsu birahi dan yang tidak. Mereka menyimpulkan bahwa selama memiliki misi pendidikan dan dibawakan dengan wajar, seks tidak sepatutnya dimusuhi.
“Yang menentukan porno atau tidaknya segala sesuatu adalah subjeknya dengan disadari oleh situasi dan kondisi dari sasaran yang akan dituju. Oleh karena itu gambar tubuh-tubuh telanjang bulat di ruang kuliah kedokteran tidak dianggap porno karena tujuannya adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan,” tulis Angkatan Bersenjata (19/4/1970).
Bukan kebetulan pula jika Kementerian Penerangan yang sering disetir oleh orang-orang militer, menerapkan kebijakan serupa terhadap isu seks dalam film. Kebijakan yang kemudian melahirkan rencana pembuatan film pendidikan seks ini dipelopori oleh Menteri Penerangan Laksamana Muda Boediardjo usai mereduksi Badan Sensor Film pada 4 Mei 1971.
Boediardjo menginstruksikan agar sensor film mulai dimaksimalkan untuk menertibkan kecenderungan seks yang makin banyak ditemui dalam film-film bioskop kala itu. Melalui kutipan yang disarikan Tempo (22/5/1971), sejak dilantik menjadi menteri pada 1968, Boediardjo sudah berulang kali mendorong BSF (Badan Sensor Film) agar mulai “mendidik masyarakat, kalau perlu dengan sex education melalui film.”
Sebelum melirik pembuatan film pendidikan seks dalam negeri, Boediardjo ternyata pernah memberi keleluasaan masuknya film seks dari luar negeri yang diharapkan dapat mendukung program Keluarga Berencana. Kebijakan “buka kran impor film selebar-lebarnya” ala Boediardjo yang diterapkan pada 1969 berhasil mendatangkan beberapa film pendidikan seks terkenal asal Eropa seprti Helga, Das Wunder der Liebe, dan La Matriarca.
Namun, empat tahun kemudian film seks dari luar negeri mulai dirasa kurang efektif karena kerap diwarnai kasus penyelundupan. Usaha Boediardjo kemudian dilanjutkan oleh Mashuri Saleh. Mantan Menteri Pendidikan ini lebih suka menetapkan batas impor film untuk memaksa produser yang sebagian besar merangkap sebagai importir film, agar mau membuat film pendidikan tentang seks.
Dalam Surat Keputusan Menteri Penerangan tahun 1977 disebutkan bahwa produser-importir film akan mendapatkan kelebihan jatah impor jika bersedia membuat film-film yang dapat membantu program pemerintah. Film-film yang masuk kategori ini disebut sebagai “Film Cerita Indonesia Teladan.”
Kathryn Robinson melalui makalah “Wanita: Dikotomi Versus Keragaman” yang disunting oleh Donald K. Emmerson dalam Indonesia Beyond Soeharto (2001: hlm. 441) menyebutkan, program KB pamungkas Orde Baru yang dikombinasikan dengan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan berhasil menekan angka kelahiran secara signifikan.
Secara terperinci Robinson menguraikan kampanye tersebut lebih banyak ditujukan kepada perempuan yang sudah menikah, ketimbang laki-laki. Dalam istilah petugas KB, mereka disebut sebagai “sasaran” dari propaganda yang digaungkan melalui media-media mainstream. Belakangan, kampanye seputar kehamilan dan jarak kelahiran anak juga diangkat ke layar bioskop dengan judul Menanti Kelahiran (11976).
Jalan Buntu
Film Menanti Kelahiran adalah film seks edukasi pertama yang lahir di bawah pengawasan pemerintah melalui Perusahaan Cinerama Film. Sebagaimana diuraikan JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-1995 (1995: hlm. 146), film yang disutradarai oleh SA Karim ini melibatkan empat orang dokter sungguhan yang bertugas memberikan “pidato” tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah kehamilan, kemandulan, dan penyakit kelamin.
Menanti Kelahiran berkisah tentang pasangan suami-istri yang sudah menikah selama lima tahun namun belum juga dikaruniai anak. Sang suami yang dimainkan oleh Deddy Mizwar diduga menderita kemandulan meskipun enggan mengakuinya di hadapan sang istri. Pertengkaran hebat pun tidak terelakkan sebelum akhirnya mereka mendapat pencerahan dari dokter-dokter penyelamat.
Hubungan pernikahan pasangan muda semacam ini sebenarnya sudah pernah mengilhami Kabut Bulan Madu yang dibuat rumah produksi Sarinande di tahun 1971. Premis cerita yang dibawakan juga serupa, tentang pemuda impoten yang tidak mampu memberikan keturunan. Namun, Salim Said dalam kumpulan tulisan Pantulan Layar Putih (1991: hlm. 114) menyebut film bikinan Turino itu tidak jelas dan asal jadi sehingga luput dari perhatian.
Karena digarap dengan serius, Menanti Kelahiran meraup tidak kurang dari 174 ribu penonton di Jakarta pada tahun 1977. Angka tersebut membuatnya berada di posisi kedua sebagai film terlaris di bawah Inem Pelayan Sexy. Film itu juga dinilai berhasil karena dianggap memulai tren pembuatan film-film pendidikan seks dan bahaya penularan penyakit kelamin.
Setelah tahun 1977, berturut-turut muncul dua film lain yang bertutur tentang hal serupa, yakni: Cacat dalam Kandungan (1977) dan Bahaya Penyakit Kelamin (1978). Akan tetapi, masalah kembali muncul tatkala produser film tidak berhenti mengeksploitasi unsur erotis di balik dalih pendidikan seks. Kristanto bahkan secara spesifik mengklasifikasikan Cacat dalam Kandungan sebagai film erotis.
“Film ini dimaksud sebagai pendidikan seks. Cuma di balik itu tetap saja ada niat untuk pamer erotika juga,” katanya.
Dampak kuatnya imaji erotis ini baru naik ke permukaan di pengujung tahun 1977. Menurut laporan Pikiran Rakjat (18/1/1978), Menanti Kelahiran sempat dikaitkan dengan aksi persetubuhan dua anak di bawah umur di sebuah kota di Sumatra Utara.
Satu tahun kemudian, kasus serupa kembali terjadi. Kali ini remaja berusia 14 tahun mengaku melakukan pemerkosaan disertai pembunuhan setelah menyaksikan film Akibat Pergaulan Bebas. Sejumlah peristiwa tersebut membuat tema-tema pendidikan seks seolah kehilangan pamor dan mulai ditinggalkan oleh para produser film.
Editor: Irfan Teguh Pribadi