tirto.id - Manchester United (MU) bakal menjamu Manchester City di Stadion Old Trafford dalam pertandingan lanjutan Liga Inggris (EPL), Kamis (25/4/2019) dini hari waktu Indonesia. Di papan klasemen, kedua kesebelasan memang tidak bersaing secara langsung. Namun, duel dini hari nanti penting untuk nasib masing-masing.
City yang kini duduk di urutan dua butuh poin penuh guna menggeser Liverpool dari puncak klasemen EPL, sementara MU perlu menang guna terus mengejar kans finis di zona Liga Champions. Maka, wajar apabila kedua kesebelasan menargetkan poin penuh.
Tugas itu jelas berat untuk MU yang sedang dalam tren buruk. Mereka menderita enam kekalahan dari delapan pertandingan terakhir. Di lain pihak, City sedang panas-panasnya. Baru tersingkir di Liga Champions, skuat asuhan Pep Guardiola justru diyakini bisa semakin fokus mengejar kemenangan demi kemenangan di EPL.
Pada konferensi pers pralaga, pelatih MU, Ole Gunnar Solskjaer sudah memanas-manasi pihak lawan. Dia menduga City akan melakukan pelanggaran-pelanggaran ringan (tactical foul) guna menghambat MU tampil dengan senjata andalannya: serangan balik. Menurut Ole, cara tersebut adalah metode kotor, tapi dia yakin City tidak akan segan melakukannya.
"Akan ada banyak pelanggaran. [Para pemain City] tidak akan segan melukai ankle dan menendang kaki [kami]," ujarnya.
Pada sisi lain, Guardiola membalas sindiran Ole dengan tidak kalah licin.
"Apakah dia [Ole] benar berkata demikian? Jika kami bermain dengan 65 atau 70 persen penguasaan bola, bagaimana mungkin kami bermain kasar? Saya tidak suka pendapat seperti itu. Pemain kami tidak bermain kasar, sama sekali tidak," kata eks juru taktik Barcelona tersebut, seperti diwartakan BBC Sport.
Gengsi antara dua klub asal Manchester ini memang bukan topik baru. MU dan City sudah 177 kali dipertemukan. MU 73 kali keluar sebagai pemenang, sementara City baru 52 kali. 52 pertandingan lain berakhir imbang.
Kedua klub pertama kali bertanding pada 12 November 1881. Saat itu, MU masih berwujud sebuah klub bernama Newton Health LYR, sementara City dikenal dengan identitas klub bernama St. Marks. Skor akhir 3-0 untuk kemenangan Newton.
Pada periode-periode awal itu, bumbu konflik antara kedua kesebelasan belum terasa. Kedua basis suporter juga masih relatif akur.
Bahkan pada 1907, saat empat eks pemain Manchester City (Jimmy Bannister, Herbert Burgess, Billy Meredith, dan Sandy Turnbull) memutuskan bergabung dengan MU, tidak ada kebencian berarti.
Sebelum Perang Dunia II meletus, para serdadu di Manchester bahkan sama-sama mencintai kedua kesebelasan. Konon, menurut catatan Andrew Ward dalam buku The Manchester City Story (hal.14), tentara-tentara kerap menonton laga MU di pekan pertama suatu bulan, kemudian ganti menyaksikan laga City seminggu berikutnya.
Sumbu Konflik: Uang Sewa
Rivalitas antara dua kesebelasan mulai memanas pada periode 1940-an. Semua diawali serangan bom yang dilakukan Nazi (Jerman) ketika Perang Dunia II. Pimpinan Nazi, Adolf Hitler, saat itu memerintahkan pasukan udaranya untuk melaksanakan operasi Adlerangriffe sebagai sarana menggertak Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill. Targetnya adalah pengeboman di London, tapi dampak kerusakan merembet sampai beberapa kota lain seperti Birmingham, Manchester, Liverpool Nottingham, dan Portsmouth.
Sial bagi MU, kejadian itu turut merusak stadion yang jadi markas mereka, Old Trafford. Kerusakan membikin Old Trafford harus direnovasi pada 1947. Maka, musim tersebut Setan Merah harus meminjam markas City, Stadion Maine Road (saat ini bernama Stadion Etihad) sebagai kandang sementara mengarungi liga.
Pihak City tidak keberatan dengan proposal peminjaman yang diajukan MU. Menurut catatan David Conn dalam buku Richer Than God: Manchester City, Modern Football and Growing Up (2014), muncul kesepakatan kalau MU wajib membayar biaya sewa kepada Manchester City sebesar 5.000 paun per pertandingan.
Namun, seiring berjalannya musim, MU kerap tidak menepati janji. Mereka sering menunggak biaya sewa, yang berujung pada ikut geramnya klub dan suporter City. Situasi makin panas lantaran MU menang secara jumlah massa. Berkat kehadiran suporter MU di Main Road, derbi Manchester pada 1947 bahkan disaksikan sebanyak 83.260 penonton (saat itu jumlah ini memecahkan rekor penonton di derbi Manchester).
Kesal dengan membangkangnya MU terhadap kesepakatan serta semakin dominannya keberadaan suporter Setan Merah di Maine Road, City akhirnya mengusir MU dari markasnya dua tahun kemudian. Per 1949, Setan Merah tidak boleh lagi menjadikan Maine Road sebagai kandangnya.
Sejak kejadian itu, konflik kedua kesebelasan dilestarikan turun menurun. Suporter City yang rata-rata berasal dari pusat kota kerap mencemooh suporter MU dengan sebutan 'orang pinggiran'. Sebaliknya, basis suporter MU memandang City sebagai 'sekelompok orang pelit yang tidak tahu diri'.
Perseteruan panas berlanjut di atas lapangan. Pada derbi Manchester tahun 1970, pemain MU, George Best pernah mematahkan kaki pemain City, Glyn Pardoe dengan sebuah tekel ganas.
Dalam wawancara dengan The Guardian puluhan tahun berselang, Best berkata kalau tekel tersebut tidak dimaksudkan secara sengaja. Namun, ia tidak menampik kalau saat itu suasananya sangat panas sehingga dia ikut terbakar amarah untuk bermain keras.
"Mike Doyle [pemain City] yang berada di lapangan saat itu adalah pembenci United sejati. Dia terus menerus memprovokasi dengan mengejek kekalahan kami sebelum-sebelumnya," kenang Best.
Insiden itu bukan satu-satunya. Tiga tahun berselang, tepatnya musim 1973-1974, drama lain terjadi. Saat itu, tensi panas membuat Mike Doyle (City) dan Lou Macari (MU) diganjar kartu merah. Lucunya, kedua pemain enggan meninggalkan lapangan setelah hukuman tersebut. Mereka tetap ngotot lanjut bermain.
Berdasarkan arsip Manchester Evening News, tingkah lucu itu membuat Clive Thomas, wasit yang bertugas saat itu sampai memaksa seluruh pemain pergi ke ruang ganti. MU dan City baru dibolehkan melanjutkan pertandingan setelah Lou dan Mike bersedia tidak main lagi. Laga akhirnya berkesudahan dengan skor 0-0.
Peristiwa tak kalah ikonik terjadi di periode yang sama saat Dennis Law, pemain City yang juga mantan penggawa MU mencetak gol ke gawang Setan Merah. Law enggan berselebrasi karena gol itu turut memengaruhi nasib MU yang harus terdegradasi dan baru bisa bermain di divisi teratas semusim sesudahnya. Namun, suporter City girang bukan kepalang sampai melakukan selebrasi masuk ke dalam lapangan.
Lagi-lagi Uang
Konflik panas kedua kesebelasan yang terjadi pada periode 1940-1980-an, sempat reda sejenak pada era 1990-an. Penyebabnya, performa City mulai menurun di era itu. Mereka tidak lagi jadi salah satu kekuatan besar di divisi teratas Inggris.
Pada saat bersamaan, MU yang berada di bawah asuhan Sir Alex Ferguson kian digdaya. Pada periode 1990-2000 (satu dekade) saja, Setan Merah mampu meraih enam gelar juara liga, tiga Piala FA, satu Piala Liga, empat Community Shield, dan satu Liga Champions.
Kesenjangan mulai terjadi. City tidak lagi dianggap sebagai lawan sepadan untuk MU.
Namun memasuki era 2000-an ke atas, konflik kembali menyala. Penyebabnya sama dengan era 1940-an, uang.
Pergantian kepemilikan di kubu Manchester City ke tangan taipan asal Uni Emirat Arab, Seikh Mansour membuat The Cityzens kembali menjelma sebagai salah satu kekuatan sepak bola Britania Raya. Investasi pemain jor-joran, pelan tapi pasti membuat mereka bisa mengimbangi ketangguhan MU di EPL.
Bahkan, City seperti 'mengencingi' MU dengan merekrut mantan striker mereka, Carlos Tevez untuk menggenapi skuat bertabur bintang yang dihuni sosok-sosok macam Roque Santa Cruz, Emanuel Adebayor, hingga Kolo Toure.
Pelatih MU, Sir Alex Ferguson sampai geram dan menyerang balik City dengan menyebut klub tersebut sebagai 'tetangga berisik'.
"Mereka [City] adalah kesebelasan kecil dengan mentalitas yang kerdil," imbuh Fergie dalam sebuah wawancara pada 2009.
Komentar tersebut kemudian memperpanjang konflik. Persaingan ketat terus terjadi. Puncaknya pada musim 2011-2012, City dan MU berebut gelar juara EPL sampai pekan pamungkas. City keluar sebagai juara setelah menang 3-2 atas QPR pada laga terakhir.
Setahun kemudian, di tahun terakhirnya melatih, Ferguson berhasil mengambil alih gelar yang sempat hilang itu. Namun, tahun kejayaan tersebut seperti jadi titik antiklimaks Setan Merah.
Sejak turunnya Fergie dari kursi kepelatihan, MU lebih kerap berada di bawah City. Buktinya, hingga lima tahun berlalu, City sudah dua kali juara liga (2013-2014 dan 2017-2018), sementara MU belum sekali pun meraih gelar lagi.
Pada pertemuan dini hari nanti, MU memang sudah tak berpeluang merengkuh gelar pertamanya sejak era Fergie lengser. Namun, mereka masih berpeluang mengandaskan pesta 'si tetangga berisik'.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Abdul Aziz