tirto.id - Sejarah 10 Muharram yang pada tahun ini bertepatan dengan Jumat, 28 Juli 2023 dalam tradisi Islam berkaitan dengan kisah Nabi Musa yang menyeberangi Laut Merah saat dikejar oleh Fir'aun Mesir kala itu. Selain itu, peristiwa Tragedi Karbala ketika cucu Nabi Muhammad saw., Husain bin Ali bin Abi Thalib, meninggal, juga terjadi pada tanggal tersebut.
Dalam Islam, 10 Muharram juga dikenal sebagai Hari Asyura. Kata Asyura sendiri berarti 'kesepuluh'. Seorang muslim disunnahkan untuk berpuasa pada hari tersebut, yang kemudian disebut puasa Asyura. Selain itu, umat Islam juga dianjurkan pada 9 Muharram, atau disebut puasa Tasu'a.
Dalam tradisi Arab, kebiasaan berpuasa pada 10 Muharram sudah jamak dilakukan sejak zaman jahiliyah. Diriwayatkan dari jalur Aisyah, disebutkan, "dahulu hari 'Asyura adalah hari yang orang-orang Quraisy pergunakan pada masa Jahiliyah untuk berpuasa. Rasulullah saw. pernah melakukan puasa itu."
"Ketika sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari tersebut (Asyura) dan pernah menekankan (umat Islam) untuk berpuasa (pada hari itu), namun ketika perintah puasa Ramadan turun dan diwajibkan, maka puasa 'Asyura ditinggalkan. Akhirnya (ditetapkan) barang siapa yang ingin berpuasa 'Asyura hendaklah berpuasa, dan barangsiapa yang tidak ingin, maka tinggalkanlah." (H.R. Bukhari).
Sejarah 10 Muharram: Kisah Nabi Musa & Terbelahnya Laut Merah
Kisah Nabi Musa yang membelah Laut Merah dengan tongkat saat dikejar oleh Fir'aun Mesir kala itu tercantum dalam riwayat Ibnu Abbas tentang Puasa Asyura.
Dikisahkan, peristiwa ini terjadi ketika Nabi Muhammad saw. sudah berhijrah ke Madinah. Beliau mendapati kaum Yahudi setempat sedang berpuasa. Beliau lantas bertanya, "ini hari apa?".
Kaum Yahudi setempat menjawab, "Ini adalah hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir'aun, lalu Musa berpuasa sebagai rasa syukur. "
Rasulullah saw. bersabda, "Kami (umat Islam) lebih berhak atas Musa daripada kalian". Beliau lantas berpuasa dan menekankan kepada umat Islam untuk berpuasa (pada hari itu) (H.R Ibnu Majah).
Dari riwayat tersebut, peristiwa yang dimaksud adalah peristiwa ketika Bani Israel yang dipimpin Nabi Musa melarikan diri dari Mesir. Bani Israel yang saat itu mendapatkan persekusi dan penindasan, bergerak hendak menyeberang Laut Merah. Jalan mereka sudah buntu.
Saat itulah Nabi Musa diperintahkan oleh Allah untuk memukulkan tongkat ke Laut Merah, seperti yang difirmankan dalam Surah Asy-Syu'ara: 63 berikut.
فَاَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنِ اضْرِبْ بِّعَصَاكَ الْبَحْرَۗ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيْمِ ۚ
Fa auḥainā ilā mūsā aniḍrib bi‘aṣākal-baḥr(a), fanfalaqa fa kāna kullu firqin kaṭ-ṭaudil ‘aẓīm(i).
Lalu, Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah laut dengan tongkatmu itu.” Maka, terbelahlah (laut itu) dan setiap belahan seperti gunung yang sangat besar.
Setelah Laut Merah terbelah, Nabi Musa dan Bani Israel melintasinya hingga ke ujung. Fir'aun Mesir dan bala tentaranya yang tertinggal di belakang, tak bisa berbuat hal yang sama. Ketika mereka hendak menyeberang, Laut Merah tertutup kembali dan menggulung mereka.
Firman Allah dalam Surah Asy-Syu'ara:65-67 adalah sebagai berikut.
وَاَنْجَيْنَا مُوْسٰى وَمَنْ مَّعَهٗٓ اَجْمَعِيْنَ ۚ
Wa anjainā mūsā wa mam ma‘ahū ajma‘īn(a).
Kami selamatkan Musa dan semua orang yang bersamanya.
ثُمَّ اَغْرَقْنَا الْاٰخَرِيْنَ ۗ
Ṡumma agraqnal-ākharīn(a).
Kemudian, Kami tenggelamkan kelompok yang lain.
اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً ۗوَمَا كَانَ اَكْثَرُهُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
Inna fī żālika la'āyah(tan), wa mā kāna akṡaruhum mu'minīn(a).
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman.
Sejarah 10 Muharram: Peristiwa Tragedi Karbala
Peristiwa lain yang terjadi pada 10 Muharram adalah Tragedi Karbala. Tepatnya, peristiwa ini berlangsung pada 10 Muharram 61 H atau 10 Oktober 680 M.
Dalam tragedi Karbala, terjadi peperangan tidak berimbang yang melibatkan pasukan kecil yang dipimpin Husain bin Ali, cucu Nabi sekaligus putra khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib. Pasukan ini berhadapan dengan bala tentara khalifah kedua Dinasti Umayyah, Yazid bin Muawiyah atau juga dikenal sebagai Yazid I. Bala tentara itu dipimpin oleh Ubaidillah bin Ziyad.
Sebelum pertempuran di Karbala, konflik kepemimpinan umat Islam terus meruncing. Saat Ali bin Abi Thalib berkuasa sebagai khalifah keempat, sudah ada Muawiyah yang berambisi mendapatkan posisi yang sama.
Ketika Ali meninggal oleh pedang Abdurrahman bin Muljam, seorang khawarij, Muawiyah mendapatkan kesempatan untuk mencaplok seluruh dunia Islam.
Oleh pengikut Ali, sang putra, Hasan dibaiat sebagai pengganti. Namun, Hasan lebih memilih jalur perdamaian alih-alih angkat senjata melawan Muawiyah demi kekuasaan. Pertimbangan Hasan adalah tidak ingin terjadi pertumpahan darah sesama muslim di medan perang.
Hasan bersepakat untuk berdamai dengan Muawiyah selama sosok tersebut mampu menjadi pemimpi yang adil. Ketika Hasan meninggal pada 670 M, sang adik, Husain bin Ali, menjadi pimpinan Bani Hasyim. Husain juga tidak ingin berperang dengan Muawiyah.
Namun, Muawiyah mengambil langkah yang di luar kebiasaan Islam pada 676 M. Dia menunjuk sang putra, Yazid bin Muawiyah sebagai suksesor. Selama ini, ketika terjadi pergantian khalifah, selalu ada musyawarah. Yang terjadi dalam kasus Muawiyah dan Yazid, ketika kekuasaan dipindahkan melalui jalur darah, adalah awal dari terbentuknya Dinasti Umayyah.
Tidak sedikit tokoh Islam berpengaruh pada masa tersebut yang memprotes pengangkatan Yazid. Namun, pada akhirnya Yazid tetap berkuasa. Ia menggantikan sang ayah sejak Muawiyah meninggal pada April 680 M. Yazid berniat untuk menekan semua pihak yang memprotes posisinya sebagai khalifah, termasuk dalam hal ini Husain bin Ali.
Salah satu langkah yang diambil Yazid adalah mengangkat Ubaidillah bin Ziyad, gubernur Basrah, sebagai gubernur baru Kufah, wilayah yang selama ini dikenal dihuni pengikut Ali yang cukup kuat.
Sebelumnya, pengikut Ali di Kufah mengirimkan surat kepada Husain agar mau terlibat dalam perlawanan menghadapi Yazid. Husain kemudian memulai perjalanan dari Makkah ke Kufah.
Namun, situasi yang dihadapi sang cucu Rasulullah sama sekali berbeda. Ubaidullah bin Ziyad memasang tentaranya sepanjang rute dari Hijaz ke Kufah. Husain juga mendapati bahwa utusan yang dikirimnya untuk pengikut Ali di Kufah sudah dibunuh.
Tragedi Karbala terjadi pada 10 Muharram 61 H. Dalam kekuatan yang tidak berimbang, Husain dan pengikutnya berhadapan dengan tentara yang dipimpin olehUbaidillah bin Ziyad, Umar bin Sa'ad, dan Syamr bin Dzil Jausyan. Saat itu, kekuatan pengikut Husain hanyalah sekitar 72 orang, sedangkan pihak Umayyah punya sekitar 4.000 tentara.
Husain bin Ali meninggal dalam pertempuran tersebut. Demikian pula pengikutnya yang berada di Karbala, termasuk 2 putra Husain dan 3 putra Hasan bin Ali.
Editor: Iswara N Raditya