tirto.id - Banyak orang yang lulus sekolah ingin bekerja sesuai jurusannya. Seorang alumnus jurusan hubungan internasional tentu ingin menjadi diplomat, dan mereka yang masuk fakultas hukum kemungkinan besar bercita-cita jadi pengacara atau hakim. Namun, hidup tak bisa semulus yang direncanakan.
Sarjana pertanian tapi bekerja sebagai pegawai bank, atau lulusan sastra yang bekerja jadi jurnalis, adalah contoh yang bisa ditemukan dengan mudah.
Namun bagaimanapun mereka yang bisa langsung bekerja setelah lulus tetap lebih beruntung jika dibanding para penganggur. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2018 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tercatat sebesar 5,13 persen dari total angkatan kerja yang mencapai 133,94 juta orang.
Menurut pemerintah, salah satu cara agar bisa menekan angka pengangguran itu adalah menyelaraskan dunia pendidikan dengan kebutuhan industri (link-and-match). Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri adalah pejabat yang pernah pernah membahas masalah ini. Ia berpendapat link-and-match bisa optimal ketika pemerintah membentuk Dewan Pendidikan Nasional (DPN).
"Pembentukan DPN merupakan langkah yang bagus. Kenyataan di lapangan, mereka [industri] melihat pelaksanaan pendidikan belum sesuai kebutuhan pasar kerja. Bukan pendidikan vokasi saja, tapi pendidikan secara umum," katanya, Senin (2/7/2018) kemarin.
DPN bukan barang baru, pun demikian dengan gagasan link-and-match antara institusi pendidikan dan industri. Wacana pembentukan DPN pernah muncul pada 2014 lalu ketika masa kepengurusan Mendikbud Mohammad Nuh hampir selesai. Namun prosesnya terhenti di tahap penyeleksian calon anggota. Hal yang berbeda terjadi pada dewan pendidikan tingkat kabupaten/kota atau provinsi yang sudah terbentuk sejak 2005.
Aturan mengenai DPN tercantum pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Fungsi DPN adalah meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara umum, lebih spesifik menghimpun, menganalisa dan memberikan rekomendasi/pertimbangan/arahan kepada Menteri. Aspirasi dihimpun dari masyarakat.
Pengamat Pendidikan Darmaningtyas mengatakan DPN memang bisa jadi wadah agar konsep link-and-match bisa berjalan optimal. Anggota dewan pendidikan diharuskan terdiri dari semua pemangku kepentingan, termasuk penyelenggara pendidikan dan pengusaha. Di forum ini hal-hal yang kurang optimal bisa dibicarakan dan jadi rekomendasi bagi pemerintah.
"Multi stakeholder akan memberikan variasi masukan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan," kata Darmaningtyas kepada Tirto. Masalahnya mengumpulkan banyak pihak untuk duduk bersama itu tak mudah. DPN sebaiknya tidak dipaksakan buat dibentuk kalau tidak memenuhi semua unsur.
Sosial Humaniora Juga Penting
Selain bicara soal keselarasan antara dunia pendidikan dan industri, DPN tentu saja bisa membahas banyak hal lain. Misalnya, mengenai kedudukan rumpun sosial humaniora yang seperti dianaktirikan–contohnya terlihat dalam kasus pengurangan jatah rumpun tersebut di beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) .
Jurusan sastra, sejarah, antropologi, arkeologi, dan ilmu perpustakaan misalnya, sering dianggap jurusan yang kurang selaras dengan kebutuhan industri. Beda dengan, misalnya, jurusan teknik atau ilmu komputer.
Koordinator Program Studi Jawa Universitas Indonesia Dwi Puspitorini mengatakan selama masih berurusan dengan manusia, ilmu sosial humaniora tetap punya peran penting. Sebagai contoh, penelitian sosial tentang kebiasaan menabung pada masyarakat tertentu jelas berguna bagi bank untuk mengembangkan cabang.
"Kurikulum yang berorientasi kepada kebutuhan bidang industri tidak berarti harus menghasilkan sarjana siap pakai di bidang industri tertentu. Kalau seperti itu tentu sempit sekali bidang ilmu yang diperlukan," kata Dwi kepada Tirto.
Masalahnya, tidak semua orang paham tentang itu, termasuk pengambil kebijakan di tingkat pusat. Dengan adanya DPN, kata dia, pemerintah bisa lebih adil.
Di Jepang, alasan inilah yang digunakan Perdana Menteri Shinzo Abe untuk memerintahkan universitas menghapus jurusan-jurusan sosial humaniora. Ia menilai jurusan-jurusan ini tak ada manfaat praktisnya.
"Daripada memperdalam penelitian penelitian akademis yang sangat teoretis, kami akan melakukan pendidikan kejuruan yang lebih praktis, yang lebih baik mengantisipasi kebutuhan masyarakat," kata Abe.
Science Council of Japan, organisasi multidisipliner ilmuwan Jepang, menyesali pernyataan itu. "Akademisi berkontribusi pada penciptaan masyarakat yang intelek dan berkebudayaan. Ilmu sosial humaniora berkontribusi penting untuk pengetahuan akademis secara keseluruhan," demikian pernyataan sikap mereka.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino