Menuju konten utama

SE THR PNS yang Justru Berpotensi Bikin Penyimpang Anggaran

Surat edaran diterbitkan untuk menjadi panduan pencairan dana THR dan gaji ke-13 pns. Tapi, pemda malah bingung dari mana sumber dana THR.

SE THR PNS yang Justru Berpotensi Bikin Penyimpang Anggaran
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Korpri, Zudan Arif Fakhrulloh (kedua kiri) meninjau stan toko online KORPRI disela-sela peringatan HUT ke-45 KORPRI di Monumen Nasional, Jakarta, Selasa (29/11). Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) meresmikan situs belanja dunia maya yaitu www.toktok.id guna menggerakkan potensi ekonomi PNS dan UMKM. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama/16

tirto.id - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yakin pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 bagi pegawai negeri sipil (PNS) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tak menyalahi aturan. Kemendagri bahkan menerbitkan Surat Edaran Nomor 903/3387/SJ untuk menjadi panduan implementasi pemberian THR dan gaji ke-13 dari APBD.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berkata SE ini untuk mempermudah penyaluran THR dan gaji ke-13. Dua kebijakan itu sudah diatur sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2018 Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Pemberian gaji, Pensiun, Atau Tunjangan Ketiga Belas Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun Atau Tunjangan dan PP Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya Dalam Tahun Anggaran 2018 Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan.

“Karena banyak daerah yang salah menafsirkan implementasi PP 18/2018 dan PP 19/2018 sehingga besaran THR dan gaji ke-13 lebih dari yang seharusnya [...] Surat Menteri dimaksudkan [menjadi panduan] kebijakan pemerintah untuk pemberian gaji ke-13, sama dengan tahun-tahun sebelumnya,” kata Tjahjo dalam pesan tertulisnya kepada wartawan, Selasa (5/6/2018).

Tjahjo mengklaim sudah membicarakan SE ini dengan Kementerian Keuangan pada 26 Mei 2018. Ia juga menyebut surat itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Dalam surat tersebut, Kemendagri meminta pemerintah daerah melakukan tiga hal untuk menjamin tersedianya anggaran THR dan gaji ke-13, dengan menggeser alokasi anggaran dari Belanja Tidak Terduga, penjadwalan ulang kegiatan, dan/atau menggunakan kas yang tersedia. Kemendagri juga meminta pencairan anggaran THR dan gaji ke-13 bisa dilakukan tanpa menunggu Perubahan APBD 2018 yang dibicarakan bersama DPRD.

“THR dan gaji ke-13 merupakan jenis Belanja Pegawai yang masuk kategori belanja mengikat, dan harus dianggarkan dalam jumlah cukup tanpa harus menunggu perubahan APBD karena termasuk belanja yang sifatnya mendesak sejalan dengan Pasal 28 UU Keuangan Negara,” ujar Tjahjo.

UU Keuangan Negara memang memberi wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengeluarkan anggaran yang belum dianggarkan dalam APBD alias mendadak. Pengeluaran ini diatur dengan sejumlah syarat seperti tertuang dalam Pasal 28 ayat (4).

Pada pasal tersebut pengeluaran mendadak bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat. Anggaran untuk keadaan darurat dimasukkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau Laporan Realisasi Anggaran, namun tak ada definisi “keadaan darurat” yang dimaksud beleid itu. Sehingga kedaruratan bisa didefinisikan berbeda-beda oleh pemda.

“Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan,” bunyi penjelasan Pasal 28 ayat (4) UU Keuangan Negara.

Pengertian “keadaan darurat” justru bisa ditemukan dalam PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 81 ayat (3) PP 58/2005 menyebutkan keadaan darurat harus memenuhi 4 kriteria yakni: bukan kegiatan normal pemda dan tidak dapat diprediksikan; tidak diharapkan terjadi secara berulang; berada di luar kendali dan pengaruh pemda; dan memiliki dampak signifikan terhadap anggaran dalam rangka pemulihan keadaan darurat.

Potensi Penyimpangan

Pendapat Tjahjo yang menempatkan anggaran THR dan gaji masuk dalam anggaran mendesak (darurat) disanggah Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (FITRA) Yenny Soetjipto. Alokasi anggaran untuk THR dan gaji ke-13 bukan termasuk kategori darurat. Yenny menganggap pemda tak bisa sembarangan menggeser pos anggaran untuk memenuhi THR dan gaji ke-13 PNS.

Ia menyarankan pemda mengefisiensi anggaran daripada mengalihkan pos anggaran tertentu, meski efisiensi ini tentu tak bisa berjalan dalam waktu singkat. “THR dan gaji ke-13 PNS itu bukan bagian program dan kegiatan. Kalau di luar program dan kegiatan, komponennya [anggaran] di belanja tidak langsung, masuk di belanja pegawai. Itu [uangnya] diambil dari efisiensi dan efektifitas, tapi butuh waktu lama,” kata Yenny kepada Tirto, Rabu (6/6/2018).

Saran Yenny ini sebelumnya disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang meminta pemda menghemat biaya perjalanan, rapat, atau biaya lain guna memenuhi pembayaran THR dan gaji ke-13.

FITRA menganggap pemerintah daerah tak bisa sewenang-wenang mengalihkan pos anggaran seperti yang diminta Kemendagri melalui SE. Jika pemda tak berhati-hati, mereka bisa ditindak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) “Prinsip kehati-hatian itu perlu diacu di daerah, tak serta merta menggeser pos anggaran begitu saja sehingga tak dikhawatirkan menjadi temuan [penyimpangan],” ujar Yenny.

FITRA juga mengingatkan pemda agar tak mengesampingkan peran DPRD, sebab dimungkinkan terjadi aksi saling sandera jika parlemen di daerah tak menyetujui pengalihan anggaran untuk THR dan gaji ke-13.

Infografik Tunggal Mari hitung THR mu

Baca juga:

Sebatas Pencitraan

Menurut Yenny, pangkal masalah pencairan THR dan gaji ke-13 bagi PNS di daerah sebenarnya berada di Kementerian Keuangan. Menurutnya, Kemenkeu bersalah karena tak menaikkan Dana Alokasi Umum (DAU) seiring bertambahnya perhitungan THR serta gaji ke-13 PNS.

“Sri Mulyani sudah menyebutkan komponennya [THR dan gaji ke-13] ada, tetapi uangnya ada atau enggak? Karena standarnya berbeda-beda di daerah, bisa saja semua PNS diberikan tunjangan kinerja tanpa ada standarisasi evaluasi kinerja. Ini menyebabkan pola koruptif itu muncul,” tuturnya.

Ia tak percaya jika pemerintah sudah memperhitungkan pemberian THR dan gaji ke-13 saat mencairkan DAU 2018 ke daerah. Banyak pemda yang bingung dalam membayar THR dan gaji ke-13.

Kritik atas pencairan THR dan gaji ke-13 PNS daerah juga disampaikan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Sutriyono. Menurutnya, pemberian hak keuangan itu harusnya tak dilakukan dengan menggunakan dana tak terduga, seperti diminta Kemendagri melalui SE ke pemda-pemda.

“Kalau dengan cara menggunakan dana tak terduga dan menggeser anggaran [demi THR] kan justru tidak sesuai dengan prinsip penyusunan anggaran," kata Sutriyono.

Ia menganggap kebijakan ini hanya untuk mengerek popularitas pemerintah pusat. Menurut kader PKS itu, pemberian THR dan gaji ke-13 tak dilakukan atas dasar perencanaan yang baik.

“Tidak semua kepala daerah merasa aman melakukan penjadwalan ulang [anggaran] kegiatan sebelum ada kepastian dan dasar hukumnya [...] Ini sangat berbahaya pada akuntabilitas keuangan negara,” ujar Sutriyono.

Baca juga artikel terkait TUNJANGAN HARI RAYA atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih