tirto.id - Ghasab adalah tradisi buruk di semua pondok pesantren. Dinamakan tradisi karena hampir semua pesantren mengenal istilah ini dengan baik. Secara sederhana ghasab adalah meminjam barang milik orang lain tanpa sepengetahuan si empunya barang.
Suatu ketika terjadi ghasab di Pesantren Walisongo, Sragen, Jawa Tengah. Tidak main-main, bukan hanya seorang santri yang jadi korban ghasab, tapi pengasuh pesantrennya sendiri.
Meski sudah memiliki banyak pengurus pesantren, KH. Ma’ruf Islamudin, pengasuh pondok pesantren, tidak sungkan untuk turun tangan membangunkan para santrinya menjelang subuh. Tidak hanya sekadar membangunkan dari depan kompleks pondok putra, Kiai Ma’ruf bahkan juga sampai masuk ke kamar para santrinya.
Meski sehari-harinya akrab dengan ilmu agama, jangan dikira seorang santri otomatis jadi sangat rajin dalam hal ibadah. Sudah jadi pemandangan lumrah jika di waktu subuh pengurus pesantren akan membangunkan satu per satu para santrinya untuk salat berjamaah.
Seperti diceritakan putra Kiai Ma’ruf, Muhammad Bahrul Mustawa atau biasa dipanggil Gus Tawa, subuh itu Kiai Ma’ruf melihat seorang santri yang tidur di teras kamar.
“Kang, Kang, subuhan Kang,” kata Kiai Ma’ruf membangunkan santrinya.
Karena tidur terlalu pulas, si santri ini tetap tidak bangun-bangun.
“Kang, bangun, Kang,” kali ini suara sedikit keras.
Si santri ini kemudian bangun. Terkejut, karena sosok yang membangunkannya adalah Pak Kiai, pengasuh pesantrennya langsung, pastinya sang santri segera berdiri dan mengucek-kucek matanya.
“Injih, Pak Kiai,” kata si santri langsung ngacir menuju kamar mandi. Kiai Ma’ruf pun melanjutkan masuk ke kamar para santri yang lain. Memastikan para santrinya untuk segera bangun.
Selesai membangunkan para santri, Kiai Ma’ruf bersiap menuju masjid, tapi kali ini ada yang aneh. Sandal yang baru saja digunakan Kiai Ma’ruf lenyap. Ini karena cukup banyak santri yang keluar dari kamar, Kiai Ma’ruf tidak tahu pasti siapa yang memakai sandalnya.
Merasa bakal percuma untuk melacak sandalnya sendiri, Kiai Ma’ruf akhirnya memilih menuju masjid tanpa alas kaki, lalu mencuci kaki di tempat wudu. Santri-santri yang melihat adegan ini tentu saja heran, “Berani benar itu santri yang ngambil sandalnya Pak Kiai.”
Kiai Ma’ruf santai saja mendapati sandalnya di-ghasab santrinya sendiri. Semua orang yang pernah hidup di pesantren akan maklum saja dengan perilaku yang sebenarnya tidak bisa dibenarkan ini. Namun, karena kehidupan sosial pesantren penuh kekeluargaan, maka semua sudah dianggap sebagai saudara. Bagi pengasuh, santri adalah anaknya sendiri. Sedangkan hubungan antar santri juga sudah dianggap seperti saudara sendiri. Siapa yang bisa marah kalau anak sendiri mengambil sandal ayahnya?
Huznuzan Kiai Ma’ruf, si santri yang mengambil sandalnya memang tidak tahu kalau itu adalah sandal pengasuh. Sebab kalau tahu, mana ada santri yang sengaja mengambil sandal Pak Kiai? Bisa kualat, dan yang jelas akan malu jika ketahuan teman-temannya.
Ternyata, santri yang mengambil sandal Kiai Ma’ruf adalah Yusuf Wahyu. Santri yang tidur di teras dan orang pertama yang dibangunkan Kiai Ma’ruf.
“Mungkin karena belum begitu sadar, langsung saja mengambil sandal yang ada. Eh, kebetulan sandalnya Pak Kiai,” kata Gilang Ramadan, teman Yusuf, menambahkan cerita ini, “Baru tahu begitu balik dari masjid, ya kita ketawain,” tambahnya.
Bukannya marah, Kiai Ma’ruf sama sekali tidak mempermasalahkan hal ini. Untuk menanggulangi agar tidak terjadi hal yang sama, sandal Kiai Ma’ruf akhirnya ditulis dengan nama “Abah”. Harapannya agar santrinya tahu, bahwa sandal ini punya pengasuh, sehingga tidak di-ghasab lagi.
Awalnya, ide ini memang membuahkan hasil. Sandal Kiai Ma’ruf tidak lagi hilang seperti sebelum-sebelumnya. Namun semua berubah saat suatu waktu sandal yang berlabel tulisan “Abah” ini hilang.
Tentu ini kurang ajar betul. Jelas sudah kelewatan. Saat dahulu Yusuf mengambil sandal pengasuhnya karena tidak tahu, maka dengan kasus kehilangan sandal Kiai Ma’ruf yang kali kedua, jelas ada santri yang kelewat berani mengambil sandal sang kiai.
Sampai suatu ketika Kiai Ma’ruf mendapati sandal berlabel “Abah” digunakan oleh salah satu santrinya.
“Kang, sini, Kang,” panggil Kiai Ma’ruf.
Santri yang dipanggil mendekat. Kiai Ma’ruf memerhatikan sandal yang dipakai santrinya. “Coba lepas sandalnya,” kata Kiai Ma’ruf menyelidiki. Benar saja, di sana tertulis “Abah”.
“Kenapa pakai sandalnya Abah?” tanya Kiai Ma’ruf.
“Anu, Bah. Itu sandal saya sendiri,” kata si santri.
Kiai Ma’ruf heran. “Sandalmu gimana, itu ada tulisan ‘Abah’ di situ. Sandal siapa lagi kalau bukan sandal Abah?”
Santri ini bingung menjawab. Karena takut akan kena hukuman, akhirnya ia memberanikan diri untuk mengungkapkan alasannya.
“Gini, Bah. Saya tulisin ‘Abah’ biar enggak di-ghasab. Biar aman,” kata si santri.
Gilang, si santri Kiai Ma’ruf menceritakan ulang hal tersebut. “Waktu itu semua santri menulis sandalnya dengan nama ‘Abah’,” katanya.
Masalahnya, harapan itu jadi sia-sia karena semua santri putra nyaris menulis sandalnya dengan label “Abah”. Trik yang ujung-ujungnya membuat sandal milik Abah Kiai Ma’ruf ikut-ikutan kena ghasab lagi karena dikira punya para santri.
Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagiannya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khasanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini akan tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS