tirto.id - Rabu, 15 Maret lalu, Bank Sentral Amerika The Fed menaikkan suku bunga acuan sebanyak 25 bais poin dari sebelumnya 0,75 persen menjadi 1 persen. Ini merupakan kenaikan kedua setelah Desember tahun lalu, The Fed juga menaikkan suku bunga.
Penaikan suku bunga oleh The Fed bukan tanpa alasan. Secara umum, bank sentral menilai ekonomiAmerika tumbuh cukup cepat. Pertumbuhan tenaga kerja dianggap stabil, tingkat pengangguran juga turun menjadi di bawah 5 persen.
Selain itu, sejak krisis 2008, The Fed melihat kondisi ekonomi Amerika berjalan stabil. Inflasi hampir menyentuh angka 2 persen, mendekati target bank sentral.
Langkah The Fed, sedikit mengganggu visi pemerintah Indonesia untuk terus menurunkan suku bunga demi mendorong sektor riil dan pembangunan. Kamis, 20 April lalu, BI mengumumkan tetap menahan suku bunga di angka 4,75 persen.
"Keputusan tersebut konsisten dengan upaya BI menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dengan tetap mendorong berlanjutnya perekonomian domestik," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara dalam siaran resminya.
Tingkat suku bunga menjadi salah satu tolak ukur pemicu pertumbuhan perekonomian suatu negara. Kebijakan terkait suku bunga yang dikeluarkan BI bisa berimbas pada kegiatan perputaran arus keuangan perbankan, inflasi, investasi dan pergerakan nilai tukar rupiah.
Bhima Yudhistira, ekonom dari Indef menilai Bank Indonesia sedang berada di posisi yang dilematis. Dengan kenaikan dua kali suku bunga acuan di Amerika, kata Bhima, ruang BI untuk menurunkan suku bunga semakin terbatas. Ini membuat BI berada di posisi menahan suku bunga.
Kalau BI ikut menaikkan suku bunga, kekhawatiran akan arus modal keluar atau capital outflow mungkin tak akan terjadi. Tetapi, bunga kredit perbankan akan kian tinggi dan berimbas pada sektor riil. Ekonomi akan stagnan, dan angka kredit bermasalah di bank bisa jadi naik lagi.
Akan tetapi, kalau BI malah menurunkan suku bunga, maka investor tak tertarik menanam uang di instrumen keuangan Indonesia. “Akan terjadi capital outflow,” ujar Bhima.
Jika bunga di suatu negara terlalu rendah sementara ada negara lain yang memberi bunga tinggi, para investor akan menarik dananya dari negara yang imbal hasilnya rendah ke negara yang lebih tinggi. Jadi, bukan investor asing saja yang akan menarik uangnya dari instrumen keuangan Indonesia, investor dalam negeri pun bisa jadi memilih instrumen di negara lain yang lebih menguntungkan.
Bhima menilai, keputusan BI menahan suku bunga saat ini sudah tepat. “Harapan saya memang suku bunga masih bisa diturunkan sebagai stimulus ekonomi. Tapi melihat risiko capital outflow, memang yang terbaik menahan di 4,75% sampai kenaikan Fed rate berikutnya,” jelasnya.
Apabila The Fed kembali menaikkan suku bunga, menurut Bhima, BI tak bisa lagi menahan untuk tak ikut menaikkan.
Mimpi Bunga Satu Digit
Pertengahan Januari tahun lalu, Presiden Joko Widodo menggelar pertemuan dengan pelaku industri jasa keuangan. Satu hal penting yang dibahas dalam pertemuan itu adalah keinginan Presiden Jokowi agar bunga bank rendah.
"Kalau negara lain bunga bank hanya 4%, 5%, 6%, kita nantinya juga harus seperti itu. Siap-siap perbankan, entah jurusnya seperti apa, pasti akan saya cari," ujarnya di Istana Negara.
Dalam pertemuan itu, Jokowi memaparkan kebijakan subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) sebagai salah satu intervensi pemerintah menurunkan suku bunga kredit UMKM. Pemerintah menurunkan suku bunga KUR dari 22 persen menjadi 9 persen dengan memberikan subsidi. Alokasi subsidi bunga kredit dalam APBN 2016 tercatat sebesar Rp10,5 triliun.
Apabila BI tak memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuan, maka mimpi bunga kredit satu digit tampaknya sulit tercapai. Bank tidak mungkin menurunkan suku bunga jika biaya dana yang ia keluarkan masih tinggi. Tahun lalu, meski BI sudah menurunkan suku bunga acuan, pertumbuhan kredit perbankan saja masih rendah. Angka kredit bermasalah pun masih terhitung tinggi. (Baca: Tahun ini, Banyak Debitor Tak Mampu Bayar Utang)
Meskipun mengharapkan adanya penurunan suku bunga acuan, kalangan pengusaha menyambut positif keputusan BI mempertahankannya. "Semoga industri keuangan tetap stabil sehingga penyaluran kredit ke sektor riil tetap terjaga," ujar Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bahlil Lahadalia, Senin (1/5).
Menurutnya, BI sedang mengirimkan sinyal ke industri bahwa ekonomi memang tidak bermasalah. Akan tetapi, belum bisa sepenuhnya memberi dorongan cukup kuat bagi pertumbuhan. Ke depan, ia mengharapkan BI memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga.
Jika The Fed terus menaikkan suku bunga, seperti yang dikatakan Bhima, ruang BI untuk menurunkan akan semakin sempit. Apa yang diharapkan Bahlil tampak sulit terwujud. Kemungkinan besar Bank Indonesia juga ikut menaikkan suku bunga, dan mimpi bunga kredit satu digit jelas belum bisa menjadi nyata.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Wan Ulfa Nur Zuhra