tirto.id - Nanang mengantar kami dengan perahu nelayan ke hilir sungai Bengawan Solo di Gresik. Begitu mendekati laut, ia mematikan mesin kapal.
“Jangkarnya turunin,” kata Nanang. “Ini dangkal banget, jangan sampai terjebak, enggak bisa pulang nanti."
Dari atas perahu, pada awal musim hujan tahun ini, hilir sungai Bengawan Solo sepintas bersih. Tak terlihat sampah-sampah mengambang. Warna air sungai cokelat biasa. Yang masih terlihat dari jejak musim kemarau adalah sampah-sampah plastik, menyangkut di pinggir sungai dan pohon-pohon bakau.
“Coba datang saat musim kemarau," kata Nanang, "perahu enggak bisa lewat. Ibaratnya orang bisa jalan di atas sampah."
Nanang adalah warga Ujung Pangkah, sebuah kampung paling ujung di hilir sungai Bengawan Solo. Tiap kemarau ia menyaksikan sampah-sampah menutupi permukaan sungai. Kondisi itu membuat repot para nelayan yang melaut.
Pada musim hujan, sampah hanyut ke laut sampai berakhir di pantai-pantai di Bali, ujar Nanang.
Pada musim hujan, yang airnya mengalir dan meluap sampai jauh sebagaimana nyanyian Gesang untuk sungai terpanjang di Pulau Jawa ini, Bengawan Solo terlihat cantik.
Meski begitu, kondisinya sekarang bukan tak menyimpan masalah. Limbah plastik dari Bengawan Solo, yang sebagian tergerus menjadi seukuran mikro, telah menyumbang pencemaran Laut Jawa.
World Resource Institute (WRI), lembaga penelitian independen yang berfokus pada perlindungan lingkungan dan kesejahteraan manusia, menyebut limbah plastik dari Bengawan Solo termasuk satu dari empat sungai di Jawa yang turut mencemari lautan. Angkanya 32.500 ton sampah per tahun.
Tiga sungai lain adalah Sungai Brantas (Jawa Timur) dengan 38.900 ton sampah per tahun, Serayu (Jawa Tengah) dengan 17.100 ton sampah per tahun, dan Progo (DI Yogyakarta) dengan 12.800 ton sampah per tahun.
WRI juga menaksir 1,15 juta-2,41 juta ton sampah memenuhi lautan pada 2010; semuanya sampah plastik yang mengalir dari sungai.
Data WRI menggambarkan tiga areal tumpukan sampah plastik di Laut Jawa berdekatan dengan hilir Bengawan Solo. Ketiganya di dekat kampung halaman Nanang, nelayan yang mengantar kami melintasi hilir sungai; Desa Randuboto dan Kramat. Ketiganya di kabupaten Gresik, Jawa Timur, muara Sungai Bengawan Solo yang berakhir di Laut Jawa; setelah sampah-sampah itu mengaliri dari hulu Wonogiri dan Ponorogo sepanjang 600-an kilometer.
Limbah sampah plastik itu tak cuma merusak lingkungan, tapi juga berbahaya bagi manusia dan ikan.
Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), lembaga kajian ekologi dan konservasi lahan basah, menyebut mikro plastik yang tak bisa terdeteksi secara kasatmata telah masuk ke dalam tubuh ikan. Ikan ini pula yang akhirnya sampai di meja makan manusia. Kasus ini ditemukan Ecoton di Sungai Brantas. Tak menutup kemungkinan kasus serupa terjadi di sungai lain, termasuk Bengawan Solo.
Pertanyaannya, dari mana sampah-sampah plastik itu?
Tim liputan Tirto menelusuri Bengawan Solo pada awal Februari 2020. Kami mendatangi kampung nelayan Ujung Pangkah di Gresik, lalu melaju ke hulu sungai di Solo, Jawa Tengah.
Lokasi Sampah Terpanjang di Jawa
Sebagaimana ucapan Nanang, kami datang pada saat keliru bila ingin menemukan lautan sampah di hilir Bengawan Solo. Di hilir, saat musim hujan, kami hanya melihat sampah-sampah plastik tersangkut di pinggir sungai atau tanaman bakau.
Sebagian sampah itu tidak diketahui dari mana asalnya, tapi sebagian adalah sampah rumah tangga dari permukiman di sekitar sungai.
Sederet rumah di kampung Ujung Pangkah berada persis di tepi sungai, bahkan setengah bangunan rumah itu berdiri di atas sungai. Pintu belakang rumah langsung menghadap sungai.
Dari kampung Ujung Pangkah, kami melanjutkan ke arah Pelabuhan Brondong, melewati sejumlah jembatan kali kecil, nyaris penuh sampah.
Pemerintah setempat sudah memasang jaring di jembatan agar warga tak membuang sampah sembarangan. Namun, agaknya, hal itu tidak dilihat sebagai peringatan. Beberapa sampah yang tersangkut di jaring sampai membusuk.
Di sepanjang pantai, sampah-sampah berserakan. Buntelan-buntelan kantong plastik. Sampah-sampah plastik kemasan berbagai produk makanan, minyak, deterjen, dan sebagainya. Pemandangan ini mudah ditemukan di sepanjang pesisir Laut Jawa di Gresik.
Kondisi serupa terlihat di daerah Jembatan Laren di Lamongan, Jembatan Babat di Tuban dan di Trucuk, Bojonegoro. Tidak separah di Brondong, tapi sisa sampah terlihat di pintu-pintu air.
Di Ngawi, kondisi Bengawan Solo dan Kali Madiun terlihat kontras. Tepat di lokasi pertemuan keduanya bisa terlihat air sungai Bengawan Solo lebih hitam dan kotor dibandingkan Kali Madiun, meskipun keduanya tercemar sampah-sampah plastik.
Seorang warga setempat bernama Basuki berkata warga sudah dilarang oleh Dinas Lingkungan Hidup Ngawi agar tidak menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi dan mencuci.
“Sebelum ada limbah, bening. Tiap hari mandi di situ,” katanya menyebut Kali Madiun, anak sungai Bengawan Solo.
Kondisi serupa terlihat di Sragen, Jawa Tengah. Bengawan Solo dijadikan tempat pembuangan akhir sampah.
Di bawah Jembatan Gawan, disebut-sebut titik pencemaran Bengawan Solo, kami melihat kuburan sampah plastik, yang ditimbun dan dibakar di pinggir sungai.
Pada musim hujan, ketika debit air Bengawan Solo meningkat, timbunan sampah itu terseret arus sungai.
Warga setempat bernama Suryanto berkata "sebagian orang" membuang sampah rumah tangga ke pinggir sungai "karena tidak punya pilihan lain," biasanya mereka melakukannya saat malam hari dari atas Jembatan Gawan.
“Kalau warga di sini malah enggak ada,” katanya.
Saat kami bertanya kenapa warga membuat tempat pembuangan sampah di pinggir sungai dan membakarnya di sana, Suryanto berkata karena petugas dari dinas kebersihan pemerintah "tidak ada yang mengambilnya sehingga kami bakar saja."
Apa yang dilakukan warga di sekitar Jembatan Gawan itu sama dengan warga di Boyolali, sama juga dengan warga di Solo, yang menimbun dan membakar sampah-sampah rumah tangganya di pinggir sungai-sungai kecil, yang bermuara ke Bengawan Solo.
Pemda: 'Kemampuan Kami Terbatas'
Bagaimana sebuah sungai terpanjang di Pulau Jawa, yang digambarkan dengan merdu bahwa "airnya mengalir sampai jauh ke laut", bisa menjadi tempat sampah terpanjang di pulau dengan populasi terdapat di Indonesia?
Tutik dari Dinas Lingkungan Hidup Jawa Tengah berkata pemerintah daerah punya keterbatasan mengelola sampah, termasuk sampah plastik.
Ia berkata masalah penimbunan sampah di pinggir sungai memag "banyak terjadi di daerah pedesaan" karena belum ada fasilitas mobil pengangkut sampah menjangkau desa-desa, sehingga warga memilih menimbun sampah sendiri.
“Kami sudah sosialisasi, [warga] jangan menimbun sampah, tapi kami punya keterbatasan," kata Tutik.
Pemerintah daerah baru bisa melayani wilayah perkotaan untuk mengangkut sampah, tambahnya. Dan, jumlah alat angkut tidak sebanding sebaran warga dan jumlah sampah.
Khusus sampah plastik, menurut Tutik, sudah ada beberapa kabupaten atau kota di Jawa Tengah membatasi pemakaian kantong plastik di swalayan. Ia wewenang kota atau kabupaten setempat, bukan provinsi, ujarnya. Gubernur Jawa Tengah adalah Ganjar Pranowo, politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai pemenang pemerintahan Joko Widodo.
“Kami sudah mendorong pembuatan desa mandiri, bikin penampungan sampah mandiri, karena kami enggak mungkin melayani semuanya,” ujar Tutik.
Di Jawa Timur, kebijakan pemakaian kantong sampah plastik juga diserahkan kepada pemerintah kota dan kabupaten setempat.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dari Partai Kebangkitan Bangsa, partai koalisi pemerintahan Jokowi, menerbitkan surat edaran berisi imbauan bebas kemasan plastik pada 2019. Ia mendorong agenda sampah plastik bisa berkurang 30 persen pada 2025.
Komitmen Khofifah agaknya masih loyo di lapangan. Temuan Ecoton menyebut Jawa Timur menjadi pintu masuk pembuangan sampah plastik impor dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Plastik impor berakhir di sungai-sungai Jawa Timur dan bermuara ke Laut Jawa.
“Ada perusahaan-perusahaan yang mengimpor sampah kertas, tapi isinya bukan cuma kertas, ada plastiknya juga,” Daru Setyorini, peneliti Ecoton, berakat kepada Tirto.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo Isgianto tidak membantah atas temuan dari penelusuran kami. Ia mengakui Bengawan Solo menjadi tempat sampah terpanjang yang pernah ada. Meski demikian, pemerintah berupaya mengurangi beban pencemaran Bengawan Solo.
“Kami tidak menutup mata, tapi kami berupaya," ujarnya. "Ada banyak yang sudah kami lakukan. Kalau soal sampah, kami tidak spesifik ke sana karena itu domain berbeda."
Minim Kebijakan Agresif
Penelusuran kami bahwa sampah-sampah plastik dari rumah tangga mencemari Bengawan Solo, sesungguhnya, sejalan dengan hasil riset Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Fakultas Geografi UGM pada 2018.
Berjudul “Daya Tampung dan Alokasi Beban Pencemaran Sungai Bengawan Solo”, riset itu menggambarkan 43 persen beban pencemaran Bengawan Solo berasal dari sampah rumah tangga; berikutnya 28 persen dari limbah pertanian, 21 persen dari limbah peternakan, 8,5 persen dari limbah industri; dan sisanya dari sampah-sampah hotel dan rumah sakit.
Di antara desa, kota, kabupaten yang dilintasi Bengawan Solo, Kabupaten Lamongan menempati beban pencemaran terbanyak, yakni 44,37 persen, menurut riset tersebut. Berikutnya adalah Bojonegoro, Blora, dan Tuban. Mereka merupakan daerah hilir Bengawan Solo, muara yang menjadi lokasi akumulasi polutan.
Beberapa sampah plastik yang mengambang di Bengawan Solo, yang kami temukan saat penelusuran awal Februari 2020, di antaranya bungkus kecap Bango, bungkus Indomie, kemasan plastik minyak goreng Filma, deterjen So-Klin, kemasan Kapal Api, dan botol plastik Aqua.
Kita selalu mengaitkan limbah plastik ini dengan perilaku ata pola hidup warga yang buang sampah sembarangan, atau tidak mencintai lingkungan atau tidak memiliki kesadaran lingkungan.
Sebaliknya, kita terkadang mengabaikan peran pemerintah yang minim menyediakan tata kelola pembuangan sampah yang memadai untuk seluruh warga, termasuk pengelolaan sampah plastik. Kebanyakan yang kita dengar dari program pemerintah berfokus pada daur ulang dan pengurangan pemakaian sampah plastik, yang dalam tujuan tertentu, kampanye ini bisa kita anggap berhasil.
Meski begitu, negara belum pernah bikin aturan, baru sebatas rencana, minta produsen membatasi produksi kemasan plastik. Banyak perusahaan yang memproduksi kemasan plastik masih lepas tanggung jawab begitu produk dipasarkan dan sampai ke tangan konsumen.
Peneliti Ecoton, Daru Setyorini, berpendapat seharusnya produsen kemasan plastik ikut bertanggung jawab karena "mereka yang memproduksi sampah plastik itu." Tanggung jawab ini, menurutnya, bisa berupa perusahaan mengelola produksi plastik atau mengurangi produk plastik sekali pakai. Bisa juga pemerintah memberikan cukai plastik.
Sampah-sampah plastik yang kita gunakan dalam keperluan sehari-hari ini, dengan kondisi minim tata kelola sampah, dengan minim kebijakan agresif dari pemerintah, bisa berakhir ke sungai. Di Bengawan Solo, limbah-limbah plastik dalam puluhan ribu ton mengalir tiada henti sampai jauh ke Laut Jawa sepanjang tahun, hancur seukuran mikro tak kasatmata, mencemari ikan dan habitat laut.
______________
Proyek kolaborasi ini didukung dana hibah dari Internews Earth Journalism Network (EJN), organisasi nirlaba lingkungan hidup; dan Resource Watch, platform data terbuka yang memanfaatkan teknologi, data, dan jaringan manusia untuk menghadirkan transparansi.
Kepala proyek kolaborasi: Mawa Kresna
Reporter: Reja Hidayat
Fotografer & videografer: Bhagavad Sambada, Riva Rais
Riset & visualisasi data: Ign. L. Adhi Bhaskara & Hanif Gusman
Infografik & ilustrasi: Louis Lugas
Editor: Fahri Salam
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam