tirto.id - Nama Novel Chaidir Hasan mendadak tenar setelah menjadi saksi perdana dalam sidang lanjutan perkara dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), di auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, pada 3 Januari lalu. Pemantiknya adalah pernyataan Ahok usai sidang yang menilai bahwa Novel sengaja menyamarkan nama tempat kerjanya dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Menurut Ahok, Novel menulis di BAP pernah bekerja tahun 1992-1995 di Pizza Hut, tetapi ia menulisnya dengan "Fitsa Hats." Ahok menilai penulisan Pizza Hut tersebut sengaja diubah oleh Novel karena malu jika dipimpin oleh orang yang tidak seiman.
Sontak pernyataan Ahok tersebut viral di media sosial. Novel menuding Ahok telah mencemarkan nama baiknya, dan Sekjen FPI itu mengaku pemberitaan soal “Fitsa Hats” tersebut telah membuat dirinya menjadi sasaran olok-olokan para pengguna media sosial.
"Dirundung jadi viral, banyak macam-macam meme salah satunya, ini penghinaan terhadap ulama. Kita dapat laporan dari media sosial,” kata Novel seperti dikutip Antara.
Karena itu, Novel melaporkan Ahok kepada Polda Metro Jaya, pada 5 Januari lalu atas dugaan melanggar UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) terkait persoalan “Fitsa Hats” tersebut. Ahok dilaporkan melanggar Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP juncto Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU Nomor 19/2016 tentang perubahan UU Nomor 11/2008 tentang ITE.
Pengacara Novel, Nurhayati, mengaku pihaknya memiliki bukti kuat terkait dugaan pencemaran nama baik tersebut. “Bukti pertama artikel dari media online dan kedua rekaman video Pak Ahok bicara di depan wartawan salah satu televisi swasta usai sidang,” kata Nurhayati, Kamis (5/1/2017).
Menurut Nurhayati, dalam rekaman tersebut Ahok menyebut bahwa Novel merasa malu bekerja pada perusahaan Amerika Serikat sehingga menuduh Novel sengaja mengubah ejaan restoran cepat saji "Pizza Hut" menjadi “Fitsa Hats.” Padahal, lanjut Nurhayati, Novel tidak pernah merasa malu dan menutupi pengalaman kerjanya pada perusahaan asing itu. Apalagi BAP diketik oleh penyidik, bukan oleh Novel.
Sementara itu, kubu Ahok juga melaporkan Novel ke Polda Metro Jaya pada Senin (16/1/2017). Tim kuasa hukum Ahok melaporkan Novel atas dugaan menyampaikan keterangan palsu saat bersaksi dalam sidang, pencemaran nama baik, dan fitnah.
Kuasa hukum Ahok, Rolas B. Sitinjak mengatakan kesaksian Novel yang menyebut kalau Ahok melakukan pembunuhan terhadap kedua anak buahnya dan merekayasa kasusnya sehingga Novel masuk penjara sebagai kesaksian palsu. Pernyataan tersebut dinilai sebagai pencemaran nama baik dan fitnah.
Rolas mengatakan, meski sebelumnya Ahok enggan melaporkan para saksi, tapi kliennya itu merasa Novel telah terlalu jauh memfitnahnya. Dalam laporan itu, kuasa hukum Ahok menyertakan bukti berupa rekaman sidang, transkip dari rekaman, serta berita-berita yang disampaikan Novel.
Pasal yang digunakan untuk menjerat Novel adalah Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dan Pasal 310 KUHP tentang fitnah. Pasal lainnya adalah Pasal 316 KUHP soal apabila pihak yang merasa dihina adalah pejabat yang menjalankan tugas yang sah dan Pasal 242 KUHP yang mengatur soal keterangan palsu di bawah sumpah. Namun, hingga artikel ini ditulis, kedua laporan tersebut belum ada tindak lanjut.
Dalam konteks ini, gelaran Pilkada DKI Jakarta 2017 tak hanya suksesi kepemimpinan daerah semata, namun di dalamnya juga diwarnai oleh saling lapor antarpendukung, bahkan kandidat. Dari penelusuran tim riset Tirto misalnya, setidaknya ada 12 laporan yang masuk ke kepolisian terhitung sejak Oktober 2016 hingga pertengahan Januari 2016 ini.
Motifnya pun berbeda-beda, mulai dari pencemaran nama baik, fitnah, penistaan agama, hingga dugaan pemberian saksi palsu. Dari sekian saling lapor yang ada, baru kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Ahok, dan kasus yang menjerat Buni Yani yang dalam proses. Sementara kasus yang lain masih belum menunjukkan tanda-tanda akan diproses.
Rizieq Syihab juga berkali-kali dilaporkan ke polisi, termasuk di antaranya adalah kasus penodaan agama terkait ucapannya tentang doktrin Trinitas, juga ucapan yang dianggap menghina Sukarno. Di Jawa Barat, perselisihan perselisihan FPI dengan GMBI bahkan sudah melibatkan aksi kekerasan dan pengrusakan.
Polarisasi dalam Pilkada DKI
Saling lapor yang terjadi menjelang gelaran pilkada ini tidak terlepas dari polarisasi politik yang terjadi. Polarisasi tidak hanya sebatas penggalangan dukungan dan opini untuk memenangkan kandidat, tetapi juga dalam ranah hukum. Hal ini dapat dilihat banyaknya saling lapor ke kepolisian yang dilakukan oleh kubu Ahok dan non-Ahok.
Polarisasi yang terjadi ini dapat berujung pada konflik yang berbasis pada ekspresi politik. Ekspresi ini dapat disampaikan secara emosional akibat tertutupnya pandangan masyarakat terhadap informasi lain dalam ajang kontestasi politik, terutama di media sosial.
Menurut Siswanto, peneliti LIPI, dalam konteks pilkada ini media sosial dan internet digunakan oleh tim kampanye dan para pendukung pasangan calon untuk menyebarkan program. Perbedaan pendapat itu memunculkan polarisasi opini.
Damar Juniarto dari Forum Demokrasi Digital berpendapat bahwa polarisasi opini semakin sengit dengan keberadaan buzzer politik. Siapa mereka? Menurut Damar, buzzer politik adalah "akun media sosial milik seseorang atau organisasi yang mendapat penugasan untuk melakukan aktivitas di media sosial untuk melakukan kampanye atas program kerja atau berkaitan dengan elektabilitas calon pemimpin tersebut."
Buzzer politik bisa menerima bayaran atau tidak, dan aktivitasnya bermacam-macam. Ia bisa melakukan troll hingga kultwit. Tujuannya adalah mengangkat citra calon pemimpin. Cara kampanye pun bisa bermacam-macam. Ada yang sampai menggunakan cara kampanye hitam.
Sengitnya polarisasi opini bahkan menurutnya bisa berpengaruh pada demokrasi. Ada penyebaran kebencian, rasisme, dan diskriminasi dalam adu balas yang tidak sehat di antara para pendukung kandidat dalam pertarungan elektoral. Solusi dari Damar Juniarto: penegakan aturan berkampanye yang tegas dan jelas di media sosial.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Maulida Sri Handayani