tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengusulkan agar pekerjaan rumah (PR) bagi para siswa sekolah dapat berupa kegiatan sosial. Selama ini PR yang diberikan oleh guru kepada pelajar sekolah umumnya soal-soal dari berbagai mata pelajaran.
“Bisa saja mereka diberikan PR misalnya menengok tetangganya yang sakit. PR-nya itu menengok tetangganya yang sakit atau menengok kawannya yang sakit,” kata Presiden Jokowi seperti dikutip Antara.
Baca juga:
Upaya memberikan PR dalam bentuk kegiatan sosial kepada siswa sesungguhnya untuk mengembangkan karakter seorang anak. Wacana pengembangan karakter para pelajar ini sudah mulai digarap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tahun ini, pemerintah menargetkan 15.000 sekolah yang akan menerapkan program pendidikan karakter. Pemerintah juga menargetkan agar 70 persen sekolah dasar di Indonesia sudah berisi pendidikan karakter. Ada tiga aspek penting terkait pendidikan karakter: etika, estetika, dan kinestetika.
Masalah PR bagi pelajar sekolah memang jadi perdebatan di masyarakat. Bagi orang yang kontra, PR yang bersifat akademis dianggap tak memberi banyak manfaat bagi siswa atau pelajar sekolah. Pekerjaan rumah banyak menuai protes agar segera ditiadakan karena dianggap membebani siswa, terutama siswa SD.
Di Purwakarta, para guru dilarang memberi PR akademis kepada siswa. Hal itu disampaikan oleh Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Menurut Dedi, semua urusan akademis lebih baik diselesaikan di sekolah. Pekerjaan rumah seharusnya yang bersifat aplikatif yaitu apa yang dipelajari di sekolah kemudian diterapkan di rumah. Sistem seperti itu dinilai akan mendorong siswa untuk lebih kreatif.
“Jadi setiap siswa bisa saja mendapatkan PR berbeda-beda sesuai dengan minatnya masing-masing,” kata Dedi, seperti dikutip Antara.
Bagaimana sebenarnya posisi PR bagi siswa? Para peneliti dari Duke University telah meninjau lebih dari 60 penelitian tentang PR dari 1987 hingga 2003, menyimpulkan bahwa PR dari para guru yang bersifat akademis tak memiliki dampak positif pada prestasi belajar seorang siswa.
Profesor dari Duke University, Harris Cooper, mengungkapkan bahwa PR dapat mendorong perkembangan pendidikan pelajar, tapi di sisi lain PR terkadang diberikan dengan jumlah yang banyak. Jumlah pekerjaan rumah yang banyak dapat menjadi kontra produktif bagi siswa.
“Bahkan untuk siswa sekolah menengah atas, dengan beban pekerjaan rumah tidak memiliki kaitan dengan nilai yang tinggi,” kata Cooper.
Baca juga:
- Ujian Nasional tak Menjamin Siswa Lebih Pandai
- Full Day School dan Polemik Penghapusan Pelajaran Agama
Penelitian lain oleh Denise Pope, dosen di Stanford Graduate School of Education, AS, menemukan tiga dampak bagi siswa sekolah yang mendapatkan PR dalam jumlah yang banyak. Pertama, akan menimbulkan stres. 56 persen pelajar mengungkapkan bahwa pekerjaan rumah menjadi sumber utama stres.
Kedua, mengganggu kesehatan. Banyak PR memaksa siswa untuk mengambil sebagian waktu untuk tidur guna menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut. Para pelajar pun mengaku kurang tidur yang kemudian dapat berdampak pada kesehatan mereka. Ketiga, banyaknya PR akan membuat pelajar memiliki waktu yang sangat sedikit untuk berkumpul bersama keluarga, teman atau mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Hal ini kemudian akan membuat mereka enggan melakukan hal yang mereka sukai atau hobi.
Ada juga ahli yang ingin agar pekerjaan rumah sebaiknya ditiadakan. Etta Kralovec dan John Buell, penulis The of Homework: How Homework Disrupts Families, Overburdens Childres, and Limits Learning, mengungkapkan pekerjaan rumah merupakan bentuk gangguan pada kehidupan keluarga karena akan menyedot waktu yang seharusnya digunakan untuk berkumpul bersama keluarga atau kegiatan sosial.
Pada dasarnya pemberian PR kepada siswa oleh guru tujuannya agar para pelajar lebih memahami materi yang telah disampaikan di sekolah. Juga agar dapat belajar membagi waktu antara belajar, mengerjakan tugas hingga berkumpul bersama keluarga. Namun jika pada akhirnya PR dianggap membebani siswa, memberi dampak negatif hingga mengganggu kesehatan, tentu ada yang perlu dievaluasi dari sistem PR di sekolah-sekolah. Qualicare Ottawa menyebutkan bahwa hal itu akan mendorong proses belajar mereka dalam hal berinteraksi dengan orang lain. Mereka juga akan belajar membangun hubungan pertemanan dengan anak-anak lainnya.
Farida Mayar, dosen fakultas ilmu pendidikan Universitas Negeri Padang dalam tulisannya Perkembangan Sosial Anak Usia Dini Sebagai Bibit untuk Masa Depan Bangsa, menggambarkan pengalaman-pengalaman positif selama melakukan aktivitas sosial dalam interaksinya dengan orang lain adalah modal dasar dalam pengembangan anak di masa yang akan datang. Kegiatan ini juga menjadi proses belajar bagi anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma dan tradisi yang ada dalam masyarakat yang pada akhirnya akan mengajarkan mereka soal berkomunikasi dan bekerjasama.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Suhendra