Menuju konten utama

Saat Putusan Bawaslu Dianggap Inkonstitusional, Inkonsisten, Kacau

Bawaslu memerintahkan KPU memasukkan kembali nama Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang sebagai caleg DPD. Hal ini dikritik lantaran anggota DPD tidak boleh menjadi pengurus partai.

Saat Putusan Bawaslu Dianggap Inkonstitusional, Inkonsisten, Kacau
Ketua Bawaslu Abhan (tengah) bersama Anggota Bawaslu memimpin sidang Pembacaan Putusan Gugatan Oesman Sapta Odang (OSO) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) di ruang sidang Bawaslu, Jakarta, Rabu (9/1/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Putusan Bawaslu yang memerintahkan KPU mencantumkan kembali nama Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) ke dalam daftar calon tetap (DCT) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menuai kritik. Putusan Bawaslu dinilai inkonstitusional dan menentang keputusan MK Nomor 30 Tahun 2018.

"[Menurut MK] Kalau ada pengurus parpol yang mau maju calon anggota DPD, maka dia harus menyampaikan pengunduran diri yang bernilai hukum. Nah putusan Bawaslu jelas-jelas bertentangan dengan putusan MK," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini di Kompleks Parlemen, Senayan,Jakarta, Rabu (9/1/2019).

Sikap Bawaslu yang mengabaikan putusan MK dalam perkara OSO dinilai inkonsisten. Sebab saat napi korupsi dilarang KPU menjadi caleg, tapi MK membolehkannya, Bawaslu menggunakan keputusan MK untuk meloloskan para napi korupsi sebagai caleg. "Berbeloknya cara pandang Bawaslu ini membuat kita bertanya-tanya mengapa Bawaslu kemudian melepaskan diri dari pendekatan konstitusional dalam memutuskan perkara ini," kata Titi.

“Dan bisa jadi ini bukan yang terakhir Bawaslu mengabaikan putusan konstitusi.”

Titi menilai putusan Bawaslu juga bertentangan dengan keputusan KPU yang mencoret nama OSO dari DCT DPD. Ia menilai Bawaslu cuma mau cari aman. Ini karena di dalam putusannya KPU juga meminta OSO mengundurkan diri jika terpilih menjadi anggota DPD.

Putusan yang Kacau

Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi ( PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas menilai keputusan Bawaslu membolehkan OSO menjadi caleg DPD sebagai kekacauan. Sebab mereka lebih mengutamakan putusan PTUN ketimbang MK. "Bawaslu sepertinya memang perlu dipertanyakan inkonsistensi bersikapnya," ucap Feri kepada Tirto.

Feri memperkirakan OSO akan terus melawan keputusan Bawaslu demi mengejar ambisi kembali menjadi senator asal Kalimantan Barat periode 2019-2024 sekaligus mempertahankan posisi ketua umum partai.

"OSO akan tempuh segala cara untuk menang. Masalahnya penyelenggara pemilu mau enggak menempuh segala cara menerapkan UUD 1945 dan putusan MK," tutur Feri.

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi menilai putusan Bawaslu tidak memberikan kepastian hukum. Ia menilai sengketa antara KPU dan Bawaslu soal status OSO sebagai caleg DPD akan terus berlangsung.

"Pasti yang terjadi adalah sengketa lanjutan, artinya masalah ini akan berlarut larut. Dengan begitu, putusan Bawaslu ini tidak memiliki makna yang berarti dalam mewujudkan keadilan pemilu seperti yg menjadi slogan Bawaslu," kata Veri kepada Tirto.

Isi Putusan Bawaslu

Dalam putusan yang diambil pada Rabu (10/12/2019) Bawaslu memerintahkan KPU melakukan perbaikan administrasi dengan mencabut keputusan KPU Nomor 1130 tertanggal 20 September 2018 tentang penetapan DCT calon anggota DPD Pemilu 2019. Selanjutnya, Bawaslu meminta KPU menerbitkan keputusan baru tentang penetapan DCT calon anggota DPD.

"Serta harus mencantumkan nama OSO sebagai calon tetap dalam DCT calon anggota DPD Pemilu 2019. Pencantuman ini harus dilakukan paling lama tiga hari sejak putusan dibacakan," tegas Ketua Bawaslu, Abhan saat bacakan amar putusan kasus pencalonan anggota DPD atas nama OSO di Kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu (9/1/2019).

Bawaslu kemudian memerintahkan KPU menetapkan OSO sebagai calon terpilih anggota DPD, dengan syarat OSO harus mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik paling lambat satu hari sebelum penetapan calon terpilih anggota Dewan Perwakilan Daerah

Apabila OSO tidak mengundurkan diri dari pengurus partai politik, KPU diminta untuk tidak menetapkan OSO sebagai anggota DPD.

Abhan menyebut putusan itu dibuat majelis pemeriksa dengan mempertimbangkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 14 November 2018. Dalam putusan itu, PTUN memerintahkan kepada KPU menerbitkan keputusan tentang penetapan DCT dengan mencantumkan nama OSO di dalamnya sebagai peserta pemilu anggota DPD 2019.

Selain itu majelis pemeriksa juga mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian Pasal 128 huruf l Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pada 23 Juli 2018. Dalam putusan itu MK mengatakan anggota DPD tidak boleh terlibat dalam kepengurusan partai politik. Jika ada anggota/pengurus parpol yang sudah mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD tetap diperkenankan dengan syarat mengajukan pengunduran diri sebagai pengurus parpol.

Setengah Hati

Namun, putusan Bawaslu ini dianggap setengah-setengah oleh Kuasa Hukum OSO, Herman Kadir. Meski Bawaslu menilai KPU terbukti melakukan pelanggaran administrasi, namun Herman menilai putusan Bawaslu itu tak sepenuhnya mematuhi putusan PTUN dan juga tak sepenuhnya mematuhi putusan MK.

Kata Herman, putusan PTUN itu sifat dan kekuatannya sama dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Bagi Herman putusan Bawaslu tidak ada bedanya dengan putusan KPU RI yang enggan memasukkan nama OSO dalam DCT lantaran statusnya sebagai pengurus partai.

"Ini hanya memperpanjang waktu saja," kata Herman usai menjalani sidang putusan di Kantor Bawaslu.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Politik
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar