tirto.id - Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto diteriaki para pendukung Joko Widodo saat menghadiri acara deklarasi dukungan, di Surabaya, 19 Februari lalu. Berdasarkan berita Antara, sejak pukul 09.00, puluhan pendukung Jokowi sudah menyambut kedatangan Prabowo di pertigaan Jalan Kiai Tambak Deres yang merupakan akses menuju pondok pesantren tempat digelarnya deklarasi.
Massa pendukung Jokowi terus meneriakkan yel-yel "Hidup Jokowi" sembari membentangkan spanduk berbagai tulisan yang intinya menyambut Prabowo di wilayahnya, namun tetap mendukung pasangan Jokowi-Ma ruf pada Pilpres 2019.
Sandiaga Uno sebagai pendamping Prabowo juga mengalami hal serupa. Dalam safari politik ke Ponpes Nurul Abror Al Robbabiyyin Desa Alasbulu, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (21/2/2019), ia disambut pendukung Jokowi-Ma'ruf dengan yel-yel “Jokowi wae, Jokowi wae.”
Kejadian serupa juga terjadi di Jawa Barat saat Ridwan Kamil mendapat sambutan kurang menyenangkan dari bobotoh. Saat itu, gubernur Jawa Barat yang dikenal sebagai pendukung Jokowi ini disoraki “Prabowo” saat memasuki Stadion Jalak Harupat, Bandung, 18 Februari 2019.
Namun, bedanya Ridwan Kamil hanya pendukung Jokowi, bukan kandidat seperti Prabowo dan Sandiaga. Saat kejadian, gubernur Jawa Barat itu juga sedang tidak berkampanye.
Melihat peristiwa itu, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Wahyu Setiawan mengatakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu jelas mengatur apa saja yang dilarang dalam berkampanye.
Dalam Pasal 280 ayat (1) dijelaskan larangan-larangan tersebut di antaranya dilarang menghina, mengadu domba, menghasut, serta mengganggu ketertiban umum dan juga jalannya kampanye.
"Kalau dalam regulasi kan sudah jelas dalam undang-undang, dalam peraturan KPU tentang larangan-larangan berkampanye itu apa, itu sudah jelas,” kata Komisioner KPU, Wahyu Setiawan saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (21/2/2019).
KPU, kata Wahyu, menyerahkan sepenuhnya soal pengawasan dan penindakan terkait kampanye kepada Bawaslu untuk menilai apakah ada pelanggaran atau tidak.
“Kan tidak semua aspek penyelenggaraan pemilu, seperti aspek keamanan dan pengawasan itu tugas KPU, tapi, kan, itu tugas Bawaslu,” kata Wahyu.
Sementara anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja mengatakan sebetulnya tak ada yang perlu dipersoalkan dari kejadian tersebut.
Namun, ia menilai bisa saja peristiwa seperti itu dikategorikan melakukan pelanggaran kampanye bila dianggap mengganggu ketertiban umum, lantaran menjurus ke arah provokasi.
“Ada sisi mengganggu ketertiban, kami minta untuk tak dilakukan sehingga bisa timbulkan kericuhan,” kata Bagja saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis kemarin.
Namun, kata Bagja, masalahnya dalam peristiwa di Surabaya, misalnya, yang meneriakkan 'Jokowi wae Jokowi wae' adalah masyarakat yang merupakan simpatisan Jokowi-Ma'ruf Amin, bukan tim atau pelaksana kampanye kandidat.
Sebab, kata Bagja, dalam Pasal 280 ayat (1) UU No. 7/2017 tentang Pemilu mengatur bahwa tim kampanye dan peserta pemilu dilarang menghina, mengadudomba, dan menghasut serta mengganggu ketertiban umum dan juga jalannya kampanye.
Sementara Bawaslu, kata Bagja, akan kesulitan melakukan penindakan bila masyarakat yang meneriakkan “Jokowi” di depan Prabowo atau meneriakkan “Prabowo” di depan Jokowi itu, tidak termasuk dalam kategori yang diatur dalam pasal itu.
“Susah menindaknya. Ya masalahnya dalam UU jelas peserta pemilu, tim kampanye, atau pelaksana kampanye. Apakah [masyarakat] masuk dalam kategori itu? Ya kita lihat nanti,” kata Bagja.
Meski begitu, kata Bagja, Bawaslu akan mencermati terlebih dulu peristiwa-peristiwa semacam itu. Bawaslu juga akan berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk melakukan penindakan apabila ditemukan pelanggaran.
“Kami anjurkan kepada polisi untuk mentertibkan masyarakat, [itu] termasuk dalam ranah polisi nanti itu,” kata Bagja.
Fanatisme Berlebihan Picu Benturan Antarpendukung
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem), Titi Anggraini mengatakan fanatisme dan kekaguman dalam politik yang berlebihan ini dipicu oleh sikap para elite dan politisi pendukung paslon.
Sebab, mereka menunjukkan sikap mengarah pada agresifitas dan narasi menyerang pada lawan politiknya.
“Ini yang membuat perbedaan bukan disikapi dengan diskursus gagasan berbasis program dan konsep, malahan dengan sikap-sikap yang cenderung menyerang dan konfrontatif,” kata Titi saat dihubungi reporter Tirto.
Titi khawatir situasi seperti ini bila dibiarkan bisa memicu terjadinya benturan antar-massa pendukung calon dan bisa mengalihkan persoalan pemilu dari hal-hal yang sifatnya substansial.
Semestinya, kata Titi, anggota tim kampanye dan elite politik konsisten untuk menempatkan kampanye sebagai bagian dari aktivitas pendidikan politik bagi pemilih.
Ia mengingatkan juga agar semua pihak tak membuat pemilih makin agresif untuk memperlihatkan secara provokatif pilihan politiknya kepada pendukung paslon lawan secara berhadap-hadapan.
Kooordinasi berkala terbuka antara penyelenggara dan peserta pemilu, kata Titi, juga harus bisa memastikan aturan main dalam kampanye ditaati dengan baik. Koordinasi dengan pihak keamanan, lanjut Titi, juga diperlukan untuk mencegah terjadinya benturan massa akibat saling memprovokasi.
“Namun harus diperhatikan pula tidak dengan cara berlebihan yang bisa dilihat secara salah oleh publik sebagai tindakan yang represif atau terlalu menekan kebebasan peserta pemilu dalam berkampanye,” kata Titi.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz