Menuju konten utama

Saat Generasi Milenial Terancam Tak Mampu Beli Rumah

Country General Manager Rumah123.com, Ignatius Untung mengatakan terdapat 60 persen milenial yang masih belum memiliki akses terhadap KPR.

Saat Generasi Milenial Terancam Tak Mampu Beli Rumah
Suasana pembangunan di sebuah kawasan perumahan di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Jumat (15/12/2017). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi.

tirto.id - Bank Indonesia (BI) mencatat debitur usia muda berusia 26-35 tahun saat ini lebih mendominasi pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR) untuk tipe rumah tapak berukuran 22-70 m2, rumah susun 22-70 m2, dan rumah susun di bawah ukuran 21 m2. Sementara debitur berusia 36-45 tahun mengalami penurunan sejak tahun 2014.

Data tersebut menunjukkan kebutuhan hunian dari golongan masyarakat yang lahir antara tahun 1980-1990-an alias generasi milenial masih tergolong tinggi. Sayangnya, belum seluruh milenial memiliki kesempatan mengajukan KPR untuk memiliki hunian sendiri.

Country General Manager Rumah123.com, Ignatius Untung menjelaskan kelompok debitur di rentang usia 26-35 tahun hanya berkisar 40 persen dari total jumlah milenial yang ada di Indonesia. Artinya, kata Untung, terdapat 60 persen milenial yang masih belum memiliki akses terhadap KPR.

Average-nya itu 33,5 tahun. Kalau dilihat, kan, milenial itu 24-39 tahun. Kalau di usia 33 itu saja baru 40 persen dari milenial, masih banyak yang belum dicapai,” kata Untung dalam sebuah diskusi di Hotel JS Kuwansa, Jakarta Selatan, Kamis (24/1/2019).

Banyaknya milenial yang belum memiliki rumah dan akses terhadap KPR, tentu bukan tanpa alasan. Sebab, daya beli masih menjadi isu utama rendahnya kepemilikan rumah di kalangan generasi milenial ini.

Kepala Sub Bidang Primer Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Asep Nurwanda menjelaskan, daya beli masyarakat saat ini masih belum pulih sepenuhnya usai kejatuhan harga komoditas andalan ekspor Indonesia beberapa tahun belakangan.

Salah satunya adalah harga minyak mentah kelapa sawit alias crude palm oil (CPO). Berdasarkan data Bank Dunia, sejak Januari-September 2018 harga minyak kelapa sawit mentah turun 16,6 persen.

Apalagi data BPS menunjukkan kontribusi sub sektor perkebunan termasuk sawit dalam produk domestik bruto (PDB) yaitu sekitar 3,47 persen pada 2017 atau merupakan urutan pertama di sektor pertanian, reternakan, perburuan dan jasa pertanian.

Belum lagi komoditas lain di sektor pertambangan yang juga tengah susut. Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI), pada 2009 harga batu bara masih 70,7 dolar per ton, puncaknya terjadi pada 2011 menembus 118,4 dolar per ton, tapi titik terendah pada 2018 mencapai 60,1 dolar per ton.

Kondisi tersebut menggerus pendapatan industri di sektor terkait. Akibatnya, penghasilan para pegawai di sektor komoditas itu juga ikut menyusut dan berdampak secara umum pada perekonomian nasional yang melambat serta lesunya daya beli masyarakat.

“Kondisinya harga komoditas jatuh, konsumen properti, kan, di sektor itu. Dampaknya itu pasti ke sektor properti dan real estate, daya belinya kurang,” kata Asep Nurwanda.

Di sektor properti, lesunya daya beli masyarakat tercermin dari menurunnya penjualan unit properti dari 10 developer besar di Indonesia.

Berdasarkan data BI, terungkap total pra-penjualan 10 developer terbesar hingga Oktober 2018 hanya mencapai Rp27,68 triliun. Turun dari posisi tahun 2017 yang mencapi Rp42 triliun dan juga lebih rendah dari posisi tahun 2016 yang sebesar Rp34,51 triliun.

Infografik CI rumah Subsidi

undefined

Rumah Subsidi akan Naik

Namun, sebenarnya ada secercah harapan bagi para milenial untuk memiliki rumah, yaitu melalui program KPR subsidi lewat skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang dicanangkan pemerintah Jokowi.

Tahun ini, misalnya, pemerintah menggelontorkan Rp10,39 triliun untuk mendanai program tersebut. Fasilitas yang diterima masyarakat dari skema FLPP ini mulai dari uang muka ringan hingga 1%, subsidi selisih bunga KPR hingga hanya 5%, dan tenor alias masa cicilan panjang hingga 20 tahun.

Sayangnya, peluang itu bisa kandas lantaran saat ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengajukan kenaikan harga rumah yang bisa didanai dengan skema FLPP sebesar 3-7,5%. Usulan ini masih dikaji oleh Kementerian Keuangan.

Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Khalawi Abdul mengatakan, usulan ini dipicu adanya kenaikan harga material bangunan dan upah pekerja yang berimbas pada kenaikan biaya konstruksi rumah subsidi.

Belum lagi, faktor kenaikan harga tanah yang turut memengaruhi harga jual hunian.

“Ada kenaikan harga tanah dan harga material, ini juga penyesuaian untuk 2019. Untuk 5 tahunnya, nanti kami bahas lagi untuk 2020-2024,” kata Khalawi saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (23/1/2019).

Sontak, rencana itu dikritik Kepala Departemen Riset dan Konsultasi Savills Indonesia, Anton Sitorus.

Ia menilai kenaikan harga rumah subsidi tak cukup hanya mempertimbangkan kenaikan biaya produksi saja. Pemerintah dan pengembang juga perlu dipertimbangkan aspek lain, seperti daya beli masyarakat.

Sebab, kata Anton, selama ini lesunya daya beli masyarakat berimbas pada rendahnya pertumbuhan industri properti.

"Interes [ketertarikan] orang untuk membeli properti itu, kan, sebenarnya dalam dua tahun ini juga belum meningkat. Setelah kita mengalami periode stagnan dalam dua tahun terakhir ini,” kata Anton.

Data survei harga properti residensial (SHPR) yang dilakukan Bank Indonesia memang mengindikasikan adanya perlambatan kenaikan harga properti residensial di pasar primer.

Hal tersebut tercermin dari indeks harga properti residensial (IHPR) yang hanya tumbuh 0,42 persen (qtq) di kuartal III 2018, lebih lambat dari kuartal II 2018 yang mencapai 0,76 persen.

Bukan hanya itu, pada kuartal III 2018, penjualan properti residensial bahkan terpantau menurun hingga 14,14 persen (qtq), lebih dalam dari penurunan kuartal II 2018 yang 0,08 persen.

Penurunan terjadi pada semua tipe rumah, terutama disebabkan oleh menurunnya permintaan konsumen, terbatasnya penawaran perumahan dari pengembang, dan tingginya suku bunga kredit perumahan (KPR).

“Jadi kalau kata saya sih [rencana kenaikan] kurang tepat,” kata Anton.

Menurut Anton, jika pemerintah memaksakan menaikkan harga perumahan subsidi tersebut, maka bisa jadi akan bakal berimbas pada kondisi industri properti yang makin terpuruk.

Hal itu, kata Anton, bukan hanya akibat dari kenaikan harga jual, tapi juga pada faktor psikologis masyarakat yang alergi dengan kata 'kenaikan harga'. Bila hal tersebut tetap dilakukan, maka bisa saja masyarakat semakin enggan membeli rumah.

Baca juga artikel terkait HARGA RUMAH atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz