Menuju konten utama
Survei Penilaian Integritas

Saat BPS dan KPK Kesulitan Mengukur Indeks Integritas Polisi

Ketidakmampuan KPK dan BPS mengukur integritas menandakan Polri masih belum menyelesaikan masalah di internal seperti isu pungli.

Saat BPS dan KPK Kesulitan Mengukur Indeks Integritas Polisi
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (kiri) menjadi Inspektur Upacara dalam upacara ziarah makam dan tabur bunga di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama (TMPNU) Kalibata, Jakarta, Kamis (4/7/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2018, Selasa (1/10/2019). Dari 26 institusi--kementerian/lembaga negara dan pemda--yang disurvei, indeks integritas Polri tak dapat ditampilkan karena kecukupan sampel internal tidak terpenuhi.

Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak dalam keterangan tertulis, Selasa (1/10/2019), mengatakan yang jadi objek penelitian mereka adalah Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dan Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri.

“KPK bersama BPS belum berhasil mewawancarai responden internal sesuai target sampel sampai waktu survei berakhir. Karena tidak ada kecukupan sampel, indeksnya tidak bisa dihitung,” kata Yuyuk.

Kasus ini mengingatkan kesulitan KPK dan BPS dalam mengukur indeks integritas Kepolisian pada 2017. Dalam SPI 2017, polisi mendapat nilai kedua terendah setelah Pemprov Papua yang mengantongi angka 52,91.

Angka rata-rata polisi berada di 54,01, masih berada di bawah rata-rata SPI 2017, 66.0. Angka itu pun masih diberi tanda bintang.

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko menganggap hasil SPI 2017 dan kesulitan penilaian integritas sejalan dengan hasil Global Corruption Barometer 2017 yang dirilis TII. Hasil riset, kata Wawan, menguatkan dugaan permasalahan integritas institusi Polri.

“Memang ada masalah integritas dalam lembaga kepolisian yang harus diperbaiki. Baik secara sistematis juga mengarah ke personal langsung," kata Wawan saat dihubungi reporter Tirto.

Dalam data GCB 2017, kata Wawan, kepolisian masih dianggap sebagai lembaga korup di Asia Pasifik.

Di Indonesia, angka korupsi berbentuk suap paling banyak terjadi di kepolisian dengan nilai 25 persen. Angka suap tetap tertinggi meski dibandingkan dengan suap sekolah, rumah sakit, pelayanan kependudukan, air/listrik, dan peradilan.

Wawan mengatakan, aksi korupsi polisi masuk dalam korupsi kecil, seperti pungli dan korupsi jalanan yang berdampak ke publik.

“Polisi sebagai institusi penegak hukum di bawah eksekutif masih sering terindikasi dalam korupsi kecil, dimana masyarakat secara luas merasakan secara langsung dampaknya,” kata Wawan.

Menurut Wawan, minimnya responden internal menandakan Polri tidak akomodatif dalam proses survei, padahal mereka bisa menggunakan hasil survei itu untuk memperbaiki diri.

“Pentingnya sumber internal untuk mengklarifikasi, cross-checking, dan memberikan persepsi yang jujur dalam penilaian tersebut. Tentunya menjadi harapan kita semua sehingga pada kesimpulannya tidak menimbulkan judgement yang malah kontraproduktif dari hasil riset ini,” kata Wawan.

Wawan mengakui ada perbaikan karena skor GCB 2013 berkurang di GCB 2017. Namun, polisi tetap harus memperbaiki diri bila berkaca dari penilaian itu.

“Ikhtiar menuju perbaikan harus terus dilakukan mengingat harapan akan Polri yang 'Profesional, Modern, dan Terpercaya' tidak berhenti sebagai slogan/moto di spanduk-spanduk. Namun berdampak pada masyarakat secara langsung,” kata Wawan.

Sementara itu, peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto melihat ketidakmampuan KPK dan BPS mengukur integritas Polri sebagai sinyal permasalahan Polri yang belum selesai.

Bambang menilai, Polri resisten dengan survei integritas karena banyak ketidakjelasan di instansi mereka. Ia menyinggung soal ketidakjelasan kinerja satgas Polri seperti Satgas Pangan, Satgas Antikorupsi, hingga Saber Pungli yang tidak transparan dalam melaporkan kinerjanya ke publik.

Kemudian, praktik pungli masih marak di tubuh Polri seperti pungutan liar izin badan usaha jasa pengamanan untuk satpam dan pungli SIM.

“Faktanya [pungli] masih tetap [ada]. Jadi wajar kalau ketika KPK membuat survei akan muncul resistensi karena memang tidak layak dilaporkan,” kata Bambang, pada Selasa (1/10/2019).

Dalih Polri

Karopenmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo berdalih institusinya tidak menutup komunikasi dengan KPK dan BPS dalam soal SPI.

Ia justru mengaitkan ketidakmampuan KPK memperoleh survei dengan upaya memecah belah Polri dengan komisi antirasuah.

“Selama ini koordinasi dan komunikasi sangat baik dengan KPK baik dalam gakkum (penegakan hukum) maupun pencegahan. Jadi kalau survei, kan, monggo menggunakan responden-responden dalam dan luar. Kan bisa," kata Dedi, Rabu (3/10/2019).

Dedi menambahkan: “jadi jangan sampai pihak-pihak tertentu mem-framing hubungan KPK dan Polri ada masalah. Enggak ada. Kami justru sinergitasnya top,” klaim Dedi.

Dedi meminta publik tidak sembarang percaya tentang data GCB 2017. Ia meminta responden dan metode yang diterapkan harus kredibel saat survei. Ia juga mengklaim, Polri menjadi lembaga yang dipercaya publik setelah TNI dan KPK dalam sejumlah survei.

Terkait upaya perbaikan integritas, kata Dedi, Polri sudah menguatkan dengan tes asesmen sebelum masuk dan setiap kali promosi. Mereka pun menggunakan ukuran integritas di SDM. Menurutnya KemenpanRB juga ikut menilai integritas di institusinya itu.

“Kalau dari sisi publik ada zona integritas yang setiap tahun juga dinilai oleh Kemenpan dan pihak ketiga agar obyektif,” kata Dedi.

Baca juga artikel terkait INTEGRITAS POLRI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz