Menuju konten utama

Rp6,6 Miliar untuk Memulihkan Citra "Si Biru"

Citra Blue Bird tercoreng akibat aksi demo yang rusuh. Manajemen memperbaiki citra dengan menggratiskan layanan Blue Bird selama sehari. Biaya yang tidak murah untuk melawan perubahan. Taksi tanpa aplikasi semakin terpinggirkan, citra baik yang sudah dibangun bertahun-tahun pun akhirnya runtuh dalam satu hari.

Rp6,6 Miliar untuk Memulihkan Citra
Ratusan taksi terparkir di ruas jl. Gatot Subroto saat melakukan unjuk rasa di kawasan Senayan, Jakarta. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Demo besar-besaran yang dilakukan oleh Persatuan Pengemudi Angkutan Darat (PPAD), pada 22 Maret 2016 berlangsung rusuh. Massa pengemudi berpakaian biru turun ke jalanan dan beberapa menunjukkan keberingasannya di jalanan.

Aksi di jalanan, terang benderang di era informasi terbuka seperti saat ini, gampang diketahui orang. Bukan cuma di televisi, foto-foto di media sosial, antar HP melalui WhatsApp, LINE, Path, Instagram dan sebagainya, beredar luas. Kesan yang muncul: Ngeri! Pelakunya, taksi biru yang sudah identik dengan Blue Bird.

Meski PPAD bukan hanya Blue Bird, apa mau dikata, warna biru sudah identik dengan perusahaan berlogo burung itu. Selama ini, perusahaan angkutan publik itu, identik dengan kepercayaan. Siapapun yang naik pada malam hari, akan nyaman dengan Blue Bird. Barang ketinggalan di mobil, dalam beberapa jam kemudian akan ada info ditemukannya barang tertinggal. Sopirnya fair, pakai argo. Meski sedikit lebih mahal, tapi ada kepastian nyaman. Itulah arti kepercayaan.

Citra baik yang terbangun selama bertahun-tahun itu akhirnya ternoda oleh aksi selama satu hari. Padahal, aksi bukan diprakarsai oleh Blue Bird, melainkan PPAD. Melalui siaran pers, Blue Bird bahkan menyatakan sudah melarang para pengemudinya melakukan aksi demo. Namun, bantahan itu tidak menyurutkan kekecewaan masyarakat kepada Blue Bird. Apalagi, foto-foto pengemudi berkemeja biru yang beringas berseliweran di media massa.

Blue Bird paling menjadi sasaran dalam aksi demonstrasi menolak transportasi berbasis online yang dilakukan di jantung ibukota itu. Taksi lain semisal Express sekalipun (dua terbesar di Indonesia), tidak terlalu kena imbas. Manajemen Express bahkan tidak melakukan konferensi pers, merespons aksi demo para pengemudinya. Beda dengan manajemen Blue Bird yang langsung menggelar konferensi pers untuk memberikan klarifikasi.

Blue Bird, Express, dan perusahaan taksi konvensional lainnya melihat bahwa Uber atau Grab Car adalah ancaman. Bukan malah menghadapinya dengan memilih menyesuaikan dengan perubahan zaman, seperti kata Charles Darwin, tapi mereka memilih melawannya dengan kekerasan. Maka, ketika emosi naik, karena stok kreativitas terhenti, demo yang terjadi. Agak tidak mungkin demo pengemudi tanpa sepengetahuan manajemen perusahaan taksi konvensional. Tak terkecuali Blue Bird yang kadung kena getah rusak citranya.

Bukti nyata bahwa taksi burung biru citranya rusak, adalah reaksi di bursa saham (kode BIRD) pada hari itu langsung turun 1,6 persen menjadi Rp6.300, dari sebelumnya Rp6.400,8. Sementara di hari yang sama, Taksi Express (kode TAXI) justru sentimennya positif, naik tapi karena harganya masih di bawah Rp500 tidak signifikan.

Tercorengnya citra Blue Bird, tampaknya disadari manajemen. Mereka tidak mau bunuh diri. Apapun alasannya, cara yang mereka lakukan (siapapun pemicunya) telah menghancurkan reputasi. Oleh karena itu, harus dipulihkan. Dengan apa? Memberikan layanan gratis sehari.

“Mulai pukul 00.00 WIB sampai dengan 23.59 WIB, pelanggan khusus se-Jabodetabek bisa menikmati layanan gratis Blue Bird reguler”.

Begitulah bunyi pengumuman dari manajemen yang disampaikan langsung Komisaris Blue Bird, Noni Sri Ayati Purnomo pada persnya. Jika tanggal 22 Maret diibaratkan edisi kekerasan, maka pada tanggal 23 Maret digambarkan sebagai edisi cari simpati (gratis).

Dengan memberikan layanan gratis pada pelanggannya, berapa kerugian yang diderita oleh Blue Bird? Diperkirakan Rp6,6 miliar lebih!

Berdasar laporan keuangan publik tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Blue Bird Tbk (BIRD), pendapatan mereka tahun 2014 sebesar Rp4,7 triliun. Pendapatan tersebut tidak semua dari armada taksi reguler, tapi dari layanan premium dan lain-lain. Sumbangan taksi reguler sekitar 81,5 persen, atau sekitar Rp3,83 triliun.

Dari angka pendapatan reguler Rp3,83 triliun setahun, kalau dihitung per hari, maka pendapatan kotor semuanya adalah Rp10,49 miliar. Ini angka untuk seluruh taksi reguler se-Indonesia.

Blue Bird hanya menggratiskan armadanya di Jabodetabek. Jika diasumsikan armada se-Jabodetabek adalah 70 persen dari total, maka kira-kira pendapatan sebulan adalah Rp7,34 miliar. Selama ini biasanya tidak 100 persen kekuatannya tapi ada 10 persen yang diistirahatkan untuk diservis dan turun mesin atau aplusan pengemudi. Kalau demikian, Rp7,34 miliar dikurangi 10 persen, maka total opportunity (peluang) pendapatan sehari se Jabotabek Rp6,61 miliar.

Kerugiannya bukan cuma di situ. Masih ada tambahan biaya operasi bensin. Besarannya tergantung jumlah armada dan pelayanan. Kalau saja sesuai janjinya menurunkan kekuatan armada penuh, maka berapa tambahan kerugiannya?

Sekarang kita lihat dari jumlah armada total yang dimiliki, sesuai dengan laporan publik Blue Bird mencapai 25.545 armada taksi reguler. Untuk Jabodetabek saja diperkirakan sekitar 17.881 armada.

Jika misalnya yang dioperasikan hanya seperempatnya, maka sekitar 4.470 armada taksi. Tanpa memberikan pendapatan kepada pengemudi misalnya, hanya memperhitungkan pengeluaran bensin @Rp300 ribu/armada, maka tambahan biaya adalah Rp1,34 miliar.

Dengan demikian, total biaya pemulihan citra akibat ulah demo mencapai Rp7,95 miliar yang terdiri dari Rp6,6 miliar biaya setoran plus Rp1,34 miliar biaya tambahan. Ini adalah risiko minimal yang harus dibayar. Pasti ada biaya-biaya lain dari sudut public relation lainnya yang tak kalah besarnya. Ini untuk menunjukkan bahwa Blue Bird bersih tak terlibat demo sopir anarkis. Untuk menunjukkan bahwa mereka bertanggung jawab, sekaligus memulihkan citra-citra lainnya.

Kalau tidak dilakukan, maka kekecewaan pada Blue Bird tak mudah dipulihkan. Secara korporasi akan merusak kinerja. Saham bisa hancur dan ujungnya korporasi sekarat. Mereka bisa jadi contoh perusahaan konvensional yang gagap menghadapi perubahan. Blue Bird tampaknya memilih melawan ketimbang menyesuaikan.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI BERBASIS APLIKASI atau tulisan lainnya

tirto.id - Marketing
Reporter: Sapto Anggoro