tirto.id - “Apakah ini hanya imbauan atau kewajiban?”
“Bagi SMK 2, ini adalah kewajiban. Karena sudah tertuang dalam peraturan.”
Elianu Hia, orang tua Jeni Cahyani Hia, siswa SMK Negeri 2 Padang Sumatera Barat, berdebat dengan pihak sekolah soal ‘kewajiban siswi mengenakan jilbab’ pada Kamis 21 Januari lalu. Jeni dipanggil berkali-kali oleh sekolah sejak belajar tatap muka dimulai pada 11 Januari 2021 karena tak pernah pakai jilbab.
Jeni beragama Kristen. Ia termasuk 46 siswa di sekolah negeri tersebut yang non-muslim. Tapi sekolah itu mewajibkan semua siswi, tidak peduli agamanya apa, untuk menaati peraturan wajib jilbab.
Dalam pertemuan tersebut tak ada kesepakatan yang tercapai antara kedua belah pihak. Elianu diminta menandatangani surat pernyataan yang isinya bersedia melanjutkan perkara sambil menunggu keputusan pejabat lain yang lebih berwenang.
Isu ini lekas menjadi perhatian nasional, terutama setelah video Elianu yang merekam pertemuan viral.
Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat Adib Alfikri mengatakan peraturan wajib jilbab ada sejak zaman Wali Kota Padang Fauzi Bahar tahun 2005. Lewat Instruksi No.451.442/BINSOS-iii/2005, wali kota mewajibkan jilbab kepada siswa muslim, tapi dalam praktiknya sekolah-sekolah memukul rata kewajiban itu.
Ia memastikan tak ada peraturan di tingkat provinsi yang membolehkan wajib jilbab pukul rata. “Tidak ada lagi kasus unsur pemaksaan seperti ini,” katanya sehari setelah pertemuan Elianu dan sekolah.
Adib pun telah memerintahkan agar setiap sekolah memberikan jaminan para siswa bebas dari diskriminasi.
Pada hari yang sama, Jumat 22 Januari, Kepala Sekolah SMKN 2 Padang Rusmadi mengaku tak tahu ada pemanggilan terhadap orang tua Jeni.
Ia menjelaskan bahwa dalam regulasi seragam sekolah, mereka memang tidak membedakan antara siswa muslim dan non-muslim. Namun dia bilang tak ada klausul wajib berjilbab bagi siswi non-muslim. Sifatnya hanya imbauan. Oleh karena itu dia meminta maaf.
“Saya menyampaikan permohonan maaf atas segala kesalahan dari jajaran staf bidang kesiswaan dan bimbingan konseling dalam penerapan aturan dan tata cara berpakaian bagi siswi,” kataya, Jumat malam.
Ia juga memastikan Jeni dapat sekolah seperti biasa.
Tidak Berhenti di SMK 2
Isu tidak berhenti ketika Rusmadi meminta maaf. Pada Minggu (24/1/2021), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim buka suara. Dia mengutip Pasal 55 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang intinya setiap anak berhak untuk beribadah menurut agama masing-masing. Dia juga mengingatkan melalui Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 Tahun 2014.
Begitu mendapatkan laporan perkara ini, dia mengatakan kementerian langsung berkoordinasi dengan pemerintah setempat.
“Selanjutnya, saya meminta pemda segera memberikan sanksi yang tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan, agar permasalahan ini menjadi pembelajaran,” kata Nadiem.
Mengetahui respons sang menteri, Rusmadi mengaku siap dipecat.
Sementara Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan aturan di SMKN 2 Padang berlebihan dan mengancam kebhinekaan. “Tidak benar jika atas nama otonomi daerah suatu wilayah bebas membuat aturan yang secara prinsip bertentangan dengan nilai dasar-nilai dasar kita dalam berbangsa dan bernegara,” ujar dia.
Ombudsman pun tutun tangan. Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Sumbar Sultanul Arifin bersama dengan Ombudsman Perwakilan Sumbar dan Dinas Pendidikan Sumbar baru saja membahas perkara ini, kemarin (25/1/2021). Dari pertemuan ini disimpulkan bahwa kasus akan dibawa ke ranah yang lebih luas, yaitu evaluasi menyeluruh terhadap peraturan seluruh sekolah di Sumbar.
“Pertama, Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat akan lakukan evaluasi menyeluruh. Perlu diperiksa sekolah negeri di sini. Kedua, revisi aturan sekolah tidak hanya untuk SMK 2, tapi juga seluruh SMA/SMK di Sumatera Barat. Batas waktu sampai 1 Februari,” tutur Sultanul kepada reporter Tirto, Senin.
Pada 2 Februari nanti akan diselenggarakan pertemuan yang melibatkan persatuan pendeta, Komnas HAM, Ombudsman, maupun perwakilan dewan pendidikan dan musyawarah kerja kepala sekolah. Dalam forum itu Komnas HAM bakal menyosialisasikan buku pendamping untuk guru dan kepala sekolah agar jangan sampai praktik-praktik diskriminatif terulang.
“Kemudian penataan layanan dan mekanisme perlindungan. Besok (hari ini) kepala dinas mengeluarkan edaran kepada seluruh sekolah di Sumatera Barat yang intinya tidak boleh bertindak di luar aturan yang sudah ditetapkan oleh undang-undang, sambil menunggu revisi berjalan,” kata Sultanul.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Wendra Rona Putra, kasus di SMK 2 hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih kompleks. Menurutnya memang banyak kebijakan yang cenderung diskriminatif, baik dalam bentuk instruksi, imbauan, hingga yang paling tinggi peraturan daerah (perda).
“Kebijakan ini berpotensi serius melanggar hak orang, terutama hak atas menganut kepercayaan dan beragama. Karena perda-perda ini cenderung mengatur berdasarkan azas dan nilai yang diambil dari kelompok agama tertentu,” kata Wendra kepada reporter Tirto, Senin.
Oleh karena itu dia meminta lewat kasus di SMK 2 ini kepala daerah dapat terpacu untuk memastikan seluruh kelompok hidup dengan identitas masing-masing.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino