tirto.id - Pada Selasa (14/11/2017) penduduk ibu kota Zimbabwe, Harare, dikejutkan suara tembakan artileri dan senjata berat dari sebelah utara kota tersebut. Sebelumnya sejumlah kendaraan lapis baja beriringan memasuki wilayah kota. Beragam spekulasi kemudian bermunculan di media sosial setelah beberapa orang warga mengunggah gambar iring-iringan kendaraan ke akunnya. Tak lama kemudian kantor-kantor pemerintahan dijaga para tentara yang melarang warga sipil masuk.
Zimbabwe Broadcasting Coorporation (ZCS) tiba-tiba menghentikan siarannya. Tentara rupanya juga telah sukses menguasai kantor penyiaran televisi milik pemerintah tersebut. Seorang juru bicara militer bernama Mayor Jenderal Sibusiso mengklaim bahwa yang mereka lakukan bukan kudeta militer terhadap kekuasaan Presiden Robert Mugabe. Mereka menargetkan orang-orang dekat presiden yang telah menyebabkan "penderitaan sosial dan ekonomi" di Zimbabwe.
"Kami hanya menarget penjahat di sekitar [Mugabe] yang menyebabkan penderitaan sosial dan ekonomi di negara ini dan kami akan menghukum mereka agar keadilan kembali tegak," Jelas Sibusio. "Begitu misi kami selesai, kami berharap situasi kembali normal," demikian catat BBC News.
Aksi pembersihan tersebut direstui oleh Kepala Angkatan Darat Jenderal Gen Constantino Chiwenga yang mengatakan bahwa tentara siap bertindak menghentikan pembersihan di dalam Partai Zimbabwe African National Union-Patriotic Front (ZANU-PF). Partai ZANU-PF bikinan Mugabe bisa diibaratkan Golkar era Orde Baru yang menguasai hampir segala lini kehidupan dan disusupi oleh gerombolan pejabat korup yang menyengsarakan Zimbabwe.
Baca juga: Peran Inggris Membekingi Diktator Buas Idi Amin
Juru bicara tersebut mengatakan bahwa Mugabe dan keluarganya dalam kondisi "aman". Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma mengatakan bahwa Mugabe telah ditahan di rumahnya namun merasa baik-baik saja. Zuma berbicara dengan Mugabe melalui telepon, sesaat usai mendengar kabar menegangkan di Zimbabwe.
Kudeta militer ini sebenarnya sudah diperingatkan oleh Jenderal Constantine Chiwenga, Panglima Pasukan Pertahanan Zimbabwe, pada hari Senin (12/11/2017) kemarin. Chiwenga meminta pembersihan oposisi di tubuh Partai ZANU-PF yang sedang dilakukan oleh Mugabe segera dihentikan. Mugabe menarget politisi yang dulu pernah berjuang bersama Mugabe mengusir kolonialisme Inggris dari tanah Zimbabwe. Jika tidak, lanjut Chiwenga, maka militer akan mengintervensi.
“Pembersihan saat ini, yang jelas-jelas menargetkan anggota partai dengan latar belakang pembebasan, harus segera berhenti. Kita harus mengingatkan orang-orang di balik kecurangan saat ini bahwa ketika menyangkut masalah melindungi revolusi kita, militer tidak akan ragu untuk masuk (mengintervensi),” demikian dalam laporan Guardian.
Korban terakhir program pembersihan Mugabe adalah Wakil Presiden Emmerson Mnangagwa yang pada Senin (6/11/2017) pekan lalu dipecat dari jabatannya dan dipaksa keluar dari Zimbabwe. Mnangagwa mendampingi Mugabe sejak 2014. Saat dipecat, mantan kepala badan intelijen Zimbabwe itu disebut Mugabe sebagai sosok tak setia, tidak menunjukkan rasa hormat, dan penuh tipu daya.
Baca juga: Diktator Pemelihara Dukun: Dari Duvalier Sampai Soeharto
Namun, analis politik menganggap alasan Mugabe dilebih-lebihkan. Pemecatan Mnangagwa lebih disebabkan oleh tensi yang memanas antara Mnangagwa dengan istri Mugabe, Grace Mugabe. Mnangagwa adalah sosok yang paling mungkin menggantikan kepemimpinan Mugabe. Namun Mugabe ingin memberikan estafetnya justru pada sang istri, sampai-sampai melakukan manuver mengejutkan yakni menyingkirkan Mnangagwa. Sayang, langkah tersebut justru menjadikan tentara akhirnya benar-benar turun tangan.
Dalam laporan Guardian, Mnangagwa menyatakan persaingannya dengan Grace sudah tak sehat karena Grace dituduh berupaya meracuni minumannya saat sedang berkampanye bulan Agustus lalu. Akibatnya Mnangagwa mesti dilarikan ke rumah sakit di Afrika Selatan. Sebulan setelahnya Grace, yang memimpin sayap perempuan di Partai ZANU-PF, menyangkal tuduhan Mnangagwa di sebuah acara televisi nasional.
Baru-baru ini Grave membalas tekanannya untuk Mnangagwa dengan mengatakan bahwa manuver Mnangagwa membuat internal Partai ZANU-PF terbelah menjadi beberapa faksi. Ia pun menuduh Mnangagwa telah memprovokasi pendukungnya untuk bersorak mencemooh setiap kali Grace dan suaminya berpidato. Menurut Grace, sikap tersebut adalah upaya untuk menghalangi dirinya jika benar-benar maju sebagai kandidat presiden pada pemilu 2018 mendatang.
“Bagaimana jika aku juga menjadi seorang wakil presiden? Apakah itu salah? Apa aku bukan lagi anggota partai? Jika orang-orang tahun aku bekerja keras dan mereka juga mau bekerja bersamaku, di mana salahnya?” ungkap Grace dengan nada emosional dalam sebuah kesempatan pidato.
Baca juga: Berkuasa Nyaris Tanpa Batas Selama 30 Tahun
Sayangnya rekam jejak Grace juga tak melulu simpatik. Saat menjadi sekretaris suaminya, Financial Times mencatat bahwa sosoknya tidak disukai oleh warga Zimbabwe, khususnya di kalangan militer. Ia dianggap politisi oportunis. Pernikahannya dengan Mugabe niscaya bermotif politis belaka. Kalangan militer tak menyukai Grace karena tak menjadi bagian dalam perjuangan melawan penjajahan Inggris di masa lampau,
“First lady” Zimbabwe itu makin menderita secara popularitas karena terjerat kasus penyerangan kepada seorang model di perusahaan anaknya di sebuah apartemen mewah di Johannesburgm Afrika Selatan. Akibat kekebalan diplomatik, usai kejadian tersebut Grace diizinkan meninggalkan Afrika Selatan meski ada penyelidikan dari polisi. Grace, tentu saja, menolak tuduhan tersebut. Dan meski negaranya jatuh ke krisis ekonomi yang dalam, Grace selama ini dikenal punya gaya hidup glamor, termasuk boros belanja properti di Afsel sampai membeli mobil Rolls-Royce keluaran terbaru.
Di pihak seberang, Mnangagwa, di luar dugaan keterlibatannya dalam aksi kekejaman pemerintah pada tahun 1980-an, adalah alternatif pilihan yang dianggap dunia internasional lebih baik ketimbang Mugabe atau Grace. Mugabe atau Grace sama-sama sosok lawas yang akan membuat Zimbabwe tetap korup dan jauh dari kata sejahtera. Sementara Mnangagwa dinilai yang paling mampu menerapkan transisi Zimbabwe ke arah yang lebih stabil sembari menerapkan reformasi ekonomi yang sedang diperlukan warga negara tersebut.
'Game of Thrones' ala Zimbabwe
Sejak akhir 1990an, politik Zimbabwe dibentuk oleh perang suksesi politik yang berkecamuk di dalam tubuh partai ZANU-PF. Pertarungan internal ini bertujuan untuk memperebutkan posisi presiden setelah Mugabe turun tahta kelak. Dua faksi besar yang beradu adalah faksi yang dikendalikan oleh pensiunan Jenderal Solomon Mujuru dan istrinya Joice Mujuru melawan faksi lain yang dipimpin oleh Emmerson Mnangagwa.
Pada 15 Agustus 2011 Solomon Mujuru meninggal karena musibah kebakaran. Namun, merujuk laporan CS Monitor, pengamat politik menaruh kecurigaan tinggi bahwa Mujuru dibunuh oleh agen keamanan negara karena keterbukaan dan kesediaannya untuk menantang Mugabe. Solomon dikatakan oleh para analis sebagai satu-satunya orang yang cukup senior di Partai ZANU-PF untuk menghadapi Mugabe dan Mnangagwa.
Persaingan ini mencapai titik didihnya pada tahun 2014 saat Mugabe memecat Joice Mujuru dari posisi wakil presiden. Joice sudah mendampingi Mugabe sejak 2004. Saat dipecat ia menerima alasan yang sama saat Muguabe menyingkirkan Mnangagwa: melawan Mugabe. Tuduhan yang kemudian dikomentari Joice “konyol”. Manuver Mugabe kemudian jelas terbaca sebagai usaha untuk pembersihan oposisi di internal partai dengan memecat Joice dari ZANU-PF beberapa bulan setelahnya.
Mnangagwa dulunya memimpin sebuah faksi di Partai ZANU-PF dengan nama Lacoste, diambil dari nama perusahaan pakaian olahraga asal Perancis Lacoste yang berlogo buaya, karena Mnangagwa juga punya julukan “buaya”. Lawannya adalah kelompok Generation-40 (G-40) yang dipimpin oleh Grace. Lacoste didukung kelompok militeris, sementara G-40 didukung kelompok sipil.
Saat Mnangagwa disingkirkan tiga tahun kemudian, maka suksesor terkuat selanjutnya tak lain adalah Grace, istri sang diktator. Showers Mawowa, ahl politiki Zimbabwe di Southern African Liaison Office, Afrika Selatan, berpendapat kepada kanal Zimbabwe Independent bahwa "Zanu-PF memiliki sejarah keterlibatan militer dalam politik sejak tahun 1970an, dan tidak pernah hilang."
Dengan kata lain ia menyepakati analisis bahwa meruncingnya persaingan politik antara Grace dan Mnangagwa didasarkan pada persaingan siapa yang paling militeris maka dia yang pantas memimpin Zimbabwe setelah Mugabe turun kuasa. Dalam situasi ini, Grace ciut sebab bukan berasal dari kalangan veteran perang. Sayangnya, Mnangagwa lebih populer dibanding Grace, sehingga mau tak mau Mugabe harus menyingkirkannya secara struktural: memecat, dan mengasingkannya ke luar Zimbabwe.
Yang Mugabe lupa, menyingkirkan Mnangagwe sama dengan menjauhkan faksinya dari kelompok militer. Lebih parah lagi, anggota militer dan abdi negara lain menderita telat gaji dalam beberapa tahun terakhir hingga berujung pada sejumlah protes menuntut perbaikan nasib. Maka saat sosok politisi paling militeristiknya disingkirkan, militer Zimbabwe bisa dikatakan berada dalam puncak kekesalannya, sehingga berani memutuskan untuk melancarkan 'kudeta' terhadap Mugabe.
Mugabe: Soeharto-nya Zimbabwe
Andrea Grove dalam bukunya Political Leadership in Foreign Policy: Manipulating Support across Borders (2015: 78) mencatat bahwa di bulan Mei dan Juni 1998 mahasiswa mengambil alih Parlemen Zimbabwe karena terinspirasi oleh gerakan reformasi yang sama di Indonesia. Mereka ingin menumbangkan kediktatoran Mugabe, yang dinilai telah membuat masyarakat Zimbabwe jatuh dalam krisis pangan dan kebutuhan pokok lain.
Menariknya, Mugabe dinilai oleh penggerak reformasi juga mirip dengan Soeharto. Dalam aksinya, para demonstran 98 membawa spanduk dan meneriakkan kedua nama diktator tersebut. Meski semangatnya sama, hasil akhirnya berbeda. Jika di Indonesia Soeharto bisa lengser setelah 32 tahun berkuasa, di Zimbabwe rezim menanggapi aksi mahasiswa dengan represi militer yang lebih keras. Mugabe, yang saat itu “baru” memerintah 11 tahun kemudian melarang adanya demonstrasi selama enam bulan berikutnya, dan melanjutkan kekuasaan hingga hari ini.
Robert Gabriel Mugabe lahir di Rhodesia Selatan (nama Zimbabwe selama masa penjajahan Inggris) pada tanggal 21 Februari 1924, sehingga kini usianya sudah 93 tahun. Sangat tua untuk ukuran seorang presiden. Sebagaimana Soeharto, kepiawaiannya bermain politik—meski kotor—membuat usia tua tak menghalangi dirinya untuk menduduki tahta selama hampir empat dekade.
Baca juga: Mimpi Buruk Rwanda di Tangan Besi Kagame
Meski dikenal sebagai diktator, di awal kekuasaannya, tak ada yang menyangkal bahwa Mugabe adalah sosok penting dalam perjuangan kemerdekaan Zimbabwe (sebelumnya bernama Rhodesia). Dalam catatan Al Jazeera, Mugabe muda sempat meniti karier sebagai pengajar bermodal tujuh gelar dari universitas. Marah karena tanah airnya dijajah oleh koloni Inggris dan diperintah oleh minoritas kulit putih, Mugabe tergerak untuk ikut perjuangan kemerdekaan, apalagi setelah dirinya kenyang mempelajari Marxisme dan Leninisme.
Ia bergabung dengan golongan nasionalis Afrika lain untuk menyerukan pembentukan negara independen yang dikuasai oleh orang kulit hitam. Kecamannya untuk pemerintah keras dan pedas. Hingga pada suatu ia melontarkan komentar anti-pemerintah yang dianggap mengancam rezim sampai-sampai dijebloskan ke penjara atas dasar hasutan. Selama 1964 hingga 1974 ia mendekam di balik jeruji besi, namun visinya untuk Rhodesia yang merdeka tak pernah surut.
Semangat itu ia lanjutkan saat sudah bebas dengan terbang ke Mozambique dan mendirikan Partai ZANU-PF. Selanjutnya ia kembali ke Rhodesia untuk turut serta dalam perang gerilya melawan pemerintahan Inggris. Perang yang sudah berlangsung sejak tahun 1964 itu berakhir pada 1979. Setahun kemudian Rhodesia melaksanakan pemilu pertama. Partai Mugabe menang, ia diangkat jadi perdana menteri dan mengubah nama negeri itu jadi “Zimbabwe”.
Mugabe menganggap kepemimpinannya sebagai masa revolusi—sebuah tema rutin tiap kampanye—dan menekankan apabila revolusi belum selesai dan Zimbabwe membutuhkan komandonya. Sudah bisa ditebak bahwa dengan kredo ini ia lambat laun jadi diktator. Caranya beragam, dan kebanyakan dilakukannya dengan memanfaatkan pengaruh kebesaran partainya di segala lini kehidupan warga Zimbabwe. Lagi-lagi persis seperti Soeharto dan Golkarnya, dengan retorika serupa Sukarno Tua.
Baca juga: Kejayaan & Keterjungkalan Husni Mubarak, Sang Diktator Mesir
Ia, misalnya, merevisi konstitusi negara pada tahun 1987 yang mengubah statusnya menjadi presiden. Ia juga mematikan demokrasi di Zimbabwe dengan memberlakukan aturan yang mengizinkan dirinya ikut pemilu berkali-kali, tanpa ada batasan periode. Mugabe dan partainya pun bisa memenangkan lima kali pemilu (1990, 1996, 2002, 2008, 2013)—meski lembaga dan pegiat demokrasi di dalam dan di luar Zimbabwe kerap mengkritik jalannya pemilu yang dinilai tak transparan serta penuh kecurangan sistematis.
Bagi pendukungnya Mugabe dipuji sebagai pejuang kemerdekaan yang membebaskan masyarakat Zimbabwe dari sistem kolonial yang rasis. Namun, sebagai diktator ia bertanggung jawab atas bobroknya ekonomi Zimbabwe yang berujung pada hiperinflasi yang masih tak terkendali, korupsi masif terutama oleh elite anggota partai, diskriminasi rasial anti-kulit putih, berbagai kasus pelanggaran HAM terhadap lawan politik dan rakyat sipil yang kritis terhadapnya, dan matinya demokrasi di Zimbabwe.
"Jika Anda kalah dalam pemilihan dan ditolak oleh rakyat, itulah saatnya Anda untuk meninggalkan politik." demikian kata Mugabe, sebagaimana dikutip BBC News, sebelum pemilu tahun 2008.
Sejak beberapa tahun belakangan desakan oposisi dan kritik agar dirinya turun makin mengemuka. Namun Mugabe tetap bernafsu berkuasa, bahkan ingin mewariskannya ke sang istri meski harus menyingkirkan calon potensial lain dengan cara yang tak elegan. Apa yang diucapkannya sembilan tahun yang lalu itu hanya retorika di antara retorika lain yang selama ini ia ucapkan. Barangkali kata-kata oposisi terkemuka Morgan Tsvangirai lebih tepat:
“Hanya Tuhan yang mampu menyingkirkannya (Mugabe) dari kantor kepresidenan.”
Namun, pada 21 November 2017 atau tepat setahun lalu, penguasa Zimbabwe selama 37 tahun ini akhirnya menebus retorikanya dengan memutuskan mengundurkan diri. Warga Zimbabwe menyambutnya dengan suka cita, mirip seperti Soeharto lengser 20 tahun lalu.
=============
Catatan: Naskah ini pernah tayang di Tirto pada 18 November 2017 dengan judul Game of Thrones ala Mugabe, Soeharto-nya Zimbabwe. Pada edisi Mozaik 21 November 2018, naskah ini kami tayangkan ulang dengan minor penyuntingan.
Editor: Windu Jusuf