Menuju konten utama

Risiko Rangkap Jabatan di Tubuh BUMN

Ombudsman dan KPK mengungkap 222 komisaris BUMN rangkap jabatan. Rangkap jabatan dianggap memiliki risiko terhadap penyelewengan di BUMN.

Risiko Rangkap Jabatan di Tubuh BUMN
Menteri BUMN Rini Soemarno (kedua kanan) didampingi Direktur Utama BTN Maryono (kiri), Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo (kanan) dan Direktur Bank BNI Achmad Baiquni (kedua kiri) menandatangani prasasti peresmian Balkondes (Balai Ekonomi Desa) Kenalan, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah Sabtu (22/4). ANTARA FOTO/Anis Efizudin

tirto.id - Ombudsman RI menemukan ada 222 komisaris di berbagai BUMN yang merangkap jabatan pada kementerian maupun lembaga. Ombudsman bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menindaklanjuti soal potensi dan risiko penyimpangan.

Data Ombudsman RI mengungkapkan ada 1 pejabat dari unsur TNI Angkatan Udara, 2 TNI Angkatan Darat , 1 Badan Intelijen Negara, 2 TNI Angkatan Laut, dan 1 Polri. Posisinya menyebar di PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT PAL, hingga PT Wijaya Karya.

Alokasi terbanyak ialah sebaran pejabat Kementerian BUMN, jumlahnya ada 20 orang. Mereka merangkap komisaris di PT Semen Indonesia, PT Pupuk Indonesia Holding Company, Pelabuhan Pelindo III, PT Jasa Marga, Perum Navigasi, dan lain-lain.

Selain itu, para akademisi terdiri dari dosen, guru besar, dan peneliti jumlahnya ada 12 orang yang merangkap jabatan pada komisaris BUMN. Dari IPB 1 orang, Universitas Medan 1 orang, UNJ 1 orang, UI 2 orang, UGM 4 orang, Unair 1 orang, Universitas Hassanuddin 1 orang, dan LIPI 1 orang. Semua kategori pejabat yang ada dalam kementerian atau lembaga pada dasarnya adalah gologan pelayan publik.

Dengan demikian, bila mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 17 (a) menegaskan bahwa pelayan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.

“Penyelenggara pelayanan itu tidak boleh merangkap itu, nanti conflict of interest. Pelaksana pelayanan itu ya satuan-satuan kerja di pemerintahan. Dosen kan juga, dia pelaksana pelayanan,” kata Ahmad Alamsyah Saragih, Anggota Ombudsman kepada Tirto.

Agus Rahardjo, Ketua KPK pernah mengungkapkan kondisi rangkap jabatan pada penyelenggara negara, patut diwaspadai. Sebab bisa memicu terjadinya konflik kepentingan yang berpotensi terjadinya korupsi. Dia menilai rangkap jabatan dapat menjadi penyebab terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik.

Agus menyebut setidaknya ada lima sumber utama terjadinya konflik kepentingan dalam penyelenggaraan negara, yakni rangkap jabatan, hubungan afiliasi, penerimaan gratifikasi, kepemilikan aset dan penggunaan diskresi yang melebihi batas.

“Seseorang dengan dua jabatan pasti akan mengalami benturan kepentingan dari jabatannya. Benturan kepentingan tersebut menjadi akar dari adanya kecurangan yang tentu saja sudah menjadi bagian dari praktik korupsi,” kata Agus di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (4/5) .

Pihak pemerintah melalui Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi belum mampu menjelaskan mengapa ada lima pejabat kementeriannya yang merangkap sebagai komisaris di BUMN. Kelima pejabat tersebut menduduki jabatan komisaris di BUMN Pelabuhan Pelindo II, Perum Navigasi, Garuda Indonesia, dan PT Biro Klasifikasi Indonesia.

Saat ditanya oleh Tirto, Budi Karya tersenyum dan mengatakan, "Ya, saya akan ikuti aturan yang ada." Kemudian saat ditanya, apakah sudah ada langkah untuk merespons temuan Ombudsman hanya ditanggapi singkat. “Belum.”

Pemborosan dan Kongkalikong

Rangkap jabatan seorang pejabat pemerintahan pada komisaris memang bertujuan sebagai bagian dari pengawasan pemerintah sebagai pemegang saham para BUMN. Namun ada sisi negatifnya, terutama soal risiko kepentingan antara kebutuhan publik dengan kepentingan pribadi. Rangkap jabatan tak hanya soal pejabat pemerintah pusat maupun daerah terhadap komisaris BUMN, tapi juga bisa terjadi pada lintas BUMN.

Saragih menuturkan, Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) misalnya sempat mengalami kisruh di internal. Sebabnya ada direktur utama yang berniat merangkap menjadi komisaris di anak perusahaan. Namun upaya tersebut berhasil digagalkan.

“Nanti jadi macam-macam, antara kewenangan dia sebagai komisaris dan kewenangan sebagai Dirut dari perusahaan itu,” tuturnya.

Dari masalah tersebut, konflik kepentingan rentan sekali muncul. Untuk menanganinya diperlukan regulasi sebagai pembatas. Misalnya saja jika ada pejabat di Kementerian Kehutanan kemudian merangkap menjadi komisaris PT Perhutani. Kalau nantinya muncul konflik atau sengketa lahan, bagaimana komisaris tersebut memposisikan sikapnya.

“Dia mau bela warga atau membela kepentingan perusahaan yang cari untung. Itu bisa jadi tumpang tindih,” ungkapnya.

Contoh konflik kepentingan yang lain ialah, ketika seorang menjabat di pemerintah provinsi, daerah, atau kota menjadi komisaris bank daerah. Ketika Pilkada, dia bisa dorong Dirutnya untuk memberikan pada perusahaan atau organisasi tertentu yang punya afiliasi pada kepentingan politiknya.

“Di Jawa Barat kita melihat ada uang yang cukup besar digunakan dengan cara yang tidak proper dari salah satu bank pemerintah,” ujarnya.

Selain itu, mekanisme rekrutmen komisaris perlu ada perbaikan. Misalnya salah satu posisi strategis PT Pindad, perlu pertimbangan yang masak. Apakah memang diperbolehkan menjadi bagian khusus untuk TNI atau Polri merangkap jabatan. Namun, tidak seluruh BUMN dipukul rata boleh merangkap.

Sedangkan masalah lainnya terkait pemborosan. Komisaris yang rangkap jabatan mendapat rangkap gaji, yakni dari institusinya maupun perusahaan BUMN. Keduanya dialirkan dari sumber yang sama, yakni uang negara.

“Mbok pilih salah satu saja, kalau ambil komisaris enggak pakai gaji Dirjen,” tuturnya.

Ombudsman dan KPK mendorong supaya ada regulasi turunan dari Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang menyangkut masalah penghasilan seorang abdi negara.

Persoalan rangkap jabatan merupakan masalah lama yang kembali mencuat. Persoalan ini pun mendapat perhatian dari politisi di Senayan. Darmadi Durianto, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP mendesak agar pemerintah segera melakukan evaluasi terkait rangkap jabatan di BUMN dan pejabat pemerintah. Sebab hal tersebut berseberangan dengan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Pada pasal 33 diatur bahwa komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai: a. anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; b. jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Darmadi mendesak agar Menteri BUMN Rini Soemarno segera memberhentikan komisaris yang rangkap jabatan.

“Secepatnya harus mengganti komisaris komisaris tersebut. Karena mengganggu pengawasan terhadap kinerja BUMN dan bisa terjadi konflik kepentingan,” ungkap Darmadi kepada Tirto, Jakarta, Selasa (23/5/2017).

Di sisi lain pada pasal 28 mengatur bahwa komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen. Memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha BUMN, serta dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.

“Kalau tidak kredibel dan tidak punya waktu, bagaimana bisa mengawasi direksi?” tuturnya.

Sedangkan Azam Azman Natawijana, Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi Demokrat menjelaskan bahwa gaji komisaris BUMN rata-rata Rp50 juta per bulan. “Itu belum bonus tahunannya. Padahal banyak yang tidak tepat kompetensinya,” katanya saat berbincang dengan Tirto.

Arief Rachman Koordinator Forum Praktisi Hukum Indonesia menilai, persoalan rangkap jabatan yang akhir-akhir ini ramai cenderung kabur dan tendensius. Selain itu mengarah kepada pembunuhan karakter.

“Terkait isu dengan penempatan orang-orang tertentu di jabatan komisaris untuk memperkaya pejabat eselon I, pandangan tersebut menurut kami naif dan men-generalisir persoalan. Pemerintah menempatkan pejabat eselon I sebagai komisaris di BUMN. Pejabat tersebut bertugas menjadi pengawas di perusahaan pelat merah. BUMN adalah korporasi negara maka masuknya pejabat eselon I sebagai komisaris BUMN dalam rangka memperkuat dan meningkatkan kinerja bisnis BUMN,” ujarnya Arief kepada Tirto.

Ia mencontohkan beberapa negara lsukses mengembangkan dan memperkuat BUMN dengan dualisme jabatan. Jabatan komisaris bahkan dipegang kendali oleh perdana menteri seperti di Temasek Holdings, Singapura atau menteri pada Khazanah Nasional Malaysia.

“Dalam konteks ini kami menilai anggapan miring terhadap jabatan komisaris yang dituding kongkalikong sangat tidak fair dan tendensius,” katanya.

Baca juga artikel terkait BUMN atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Suhendra