Menuju konten utama

Ridho Slank Rindu Toleransi Beragama

Bagi Ridho esensi puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Ada hal yang jauh lebih penting dari itu, yakni mengendalikan hawa nafsu.

Ridho Slank Rindu Toleransi Beragama

tirto.id - “Hanya Muslim manja yang menuntut warung tutup saat bulan Ramadhan.”

Kalimat itu disampaikan gitaris band Slank Mohammad Ridwan Hafiedz alias Ridho kepada Tirto. Nada bicaranya tegas saat menyampaikan pandangan soal aksi sweeping (razia) warung makan yang biasanya terjadi saat bulan suci Ramadan. “Puasa memang tidak boleh makan dan minum. Tapi bukan itu esensinya,” kata Ridho.

Makan dan minum adalah kebutuhan dasar manusia. Namun, selama bulan suci Ramadan, setiap muslim yang memenuhi syarat dilarang memenuhi kebutuhannya itu, terhitung dari dari azan subuh hingga beduk maghrib. Ridho percaya perintah ini bukan cuma untuk melatih seseorang menahan lapar dan haus. Ada pesan lebih dalam yang hendak diajarkan Islam di balik situasi itu. “Poinnya adalah berpuasa untuk menahan hawa nafsu,” ujar pria kelahiran Ambon 3 September 1973 ini.

Data yang dikumpulkan tim riset Tirto menunjukkan, sepanjang Ramadan 2015 sampai 2016 telah terjadi setidaknya 13 razia warung makan yang buka di siang hari. Razia tersebut dilakukan sejumlah pihak seperti: Satpol PP Pekanbaru, Satpol PP Kota Banjarmasin, Satpol PP Pemkot Serang, Satpol PP Majalengka, Satpol PP Pemkot Semarang, Muspika Leuwiliang Bogor, Satpol PP Kota Padang, Satpol PP Kabupaten Bandung, GP Ansor Pengurus Cabang Gresik, dan Satpol PP Kabupaten Kuningan bersama FPI.

Dalam pertemuan antara Polda Metro Jaya dengan sejumlah tokoh agama dan pengusaha hiburan malam, Rabu (24/5) disepakati tidak ada sweeping (razia) tempat hiburan malam dan rumah makan oleh ormas. Wakapolda Metro Jaya Suntana mengatakan semua pihak berkomitmen membantu menjaga ketertiban selama bulan Ramadhan. Hal ini juga diamini oleh pengurus FPI dan GP Anshor DKI Jakarta.

Infografik Ridho Slank dan Muslim Manja

Rindu Toleransi Beragama

Menjadi gitaris band widita super sibuk seperti Slank bukan alasan bagi Ridho tak berpuasa. Baginya puasa tak ada hubungan dengan pekerjaan. Ridho mengatakan yang dipaling ia sukai dari ramadhan adalah saat berkumpul dengan keluarga untuk makan bersama. “Nuansa yang gue suka dari Ramadan saat kita sahur membaur membangunkan orang. Nuansanya enggak kebeli,” kata Ridho

Ridho mengaku mulai berpuasa penuh sejak usia 10 tahun. Hal ini ia lakukan dengan kesadaran. Tanpa paksaan atau harapan imbalan. Tak heran selama tinggal di Amerika Serikat untuk belajar musik di Musician Institute, Ridho tidak menghadapi persoalan berpuasa. Padahal di sana mayoritas penduduknya beragama Non-Muslim dan jam berpuasa lebih panjang dibandingkan di Indonesia. “Saat tinggal di Amerika gue puasa berjam-jam sampai jam 08.00 malam tidak masalah,” ujar pria kelahiran Ambon 3 September 1973 ini.

Nuansa berpuasa di Ambon dirasa jauh berbeda dengan di Jakarta. Menurutnya toleransi antara Muslim dan non-Muslim sangat tinggi. Tak jarang umat Kristiani di sana ikut menjaga masjid yang digunakan Muslim beribadah dan berbagi makanan saat berbuka puasa. “Yang berkesan buat gue di sana toleransinya tinggi sekali. Kita kan bersaudara bukan cuma seagama tapi sebangsa setanah air juga,” kata Ridho.

Ridho menyatakan toleransi beragama di Ambon terbangun secara alami. Ia menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang sukar dipisahkan. Kondisi ini dirasakannya berbeda dengan apa yang terjadi di Jakarta. “Kaum Kristen jagain masjid itu hal biasa. Itu sudah terjadi secara alami memang kebudayaan kita di Ambon. Enggak kayak di Jakarta, kayak orang gila,” ujar Ridho.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Humaniora
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti