tirto.id - Richard Muljadi tak pernah memamerkan momen saat dirinya sedang menyedot kokain. Sialnya, aktivitas itulah yang disaksikan Kombes Pol Herry Heryawan, Eks Wadir Ditreskrimum Polda Metro Jaya, di toilet sebuah restoran di kawasan Sudirman Central Busines District (SCBD) Jakarta, pada Rabu (22/8/2018).
Kasus ini segera jadi perbincangan warganet mengingat status Richard sebagai sosialita tanah air. Ia gemar menjalani hidup mewah dan suka memamerkannya melalui akun Instagram @richardmuljadi (pada 22 Agustus sekitar pukul 19.00 akun ini sudah digembok, sebelumnya tidak).
Maklum, Richard adalah anak Sutjipto Husodo Muljadi, pemilik PT Mulia Graha Abadi. Sutjipto menguasai sahamnya senilai Rp9,99 miliar. Pada 2012, Richard ditarik menjadi direktur perusahaan yang bergerak di jasa perminyakan itu.
Modal finansial dan sosial berlimpah ia gunakan untuk membangun bisnis lintas bidang: agrikultur, impor beras, hingga teknologi. Pundi-pundi keuntungannya lebih dari cukup untuk membiayai gaya hidup jetset yang ia pamerkan melalui Instagram dengan 124 ribu pengikut.
Ia rajin memerkan barang-barang bermerek kelas wahid, seperti Dolce & Gabbana, Louboutin, Balmain, Rolex, hingga Cartier. Ia gemar berpose di samping mobil-mobil mewah, seperti Ferrari, Porsche, Lamborghini, dan Mercedez Benz. Richard juga pernah menunjukkan koleksi dua buah jam tangan yang amat langka: 1970s Rolex Military Submariner.
Ia hobi pelesiran. Keliling Venesia di atas perahu gondola, berpose di Westminster Bridge, jalan-jalan sore di pusat kota Melbourne, menikmati laut Maldives, menaiki jet pribadi, hingga berburu hewan liar di Afrika.
Dua anjingnya yang bernama Miss Coco Da French dan Lady “Lulu” Belucci juga kecipratan glamor. Desember 2016 silam, ia dan pasangan artis Titi Kamal-Christian Sugiono merayakan ulang tahun Coco dan Lulu dengan tema sailor party di atas yacht. Media gaya hidup jetset Indonesian Tatler turut diundang untuk meliput.
Rich Kids of Instagram
Richard adalah representasi "Rich Kids of Instagram". Lema sekaligus tagar ini popular sejak beberapa tahun belakangan untuk menyebut kebiasaan pamer gaya hidup mewah yang dijalani anak-anak dari keluarga super-kaya melalui akun Instagramnya masing-masing.
Sosiolog sekaligus ahli ekonomi Thorstein Veblen mengistilahkannya sebagai konsumsi yang mencolok (conspicuous consumption). Merujuk karya klasiknya di tahun 1899, The Theory of the Leisure Class, konsumsi mencolok bertujuan menunjukkan kekuatan ekonomi.
Motif utamanya adalah kesombongan sekaligus provokasi agar orang-orang yang terpapar konten unggahan merasa iri. Tagar yang mereka pakai khas, mulai dari #YOLO (Kau Hanya Hidup Sekali), #blessed, #DontHateAppreciate, dan lain sebagainya.
Para pelaku juga menggunakan hobi tersebut sebagai sarana mencapai dan mempertahankan status sosial, yang kenyataannya memang lebih tinggi ketimbang mayoritas pengikutnya. Sekali lagi harap maklum. Di dalam masyarakat kelas, mereka adalah “kaum 1 persen”.
Tentu saja, yang pertama dan utama, anak-anak tajir ini digolongkan sebagai warganet yang dilekati narsisisme tingkat tinggi. Mereka mengejar pengakuan dan kekaguman dari orang lain atas atribusi yang melekat pada diri, yang mereka pancing melalui modal materi yang tidak sedikit.
Rich Kids of Instagram kemudian menjelma menjadi laman-laman di Facebook atau Tumblr. Laman-laman ini mengunggah ulang konten para pelaku konsumsi yang mencolok di Instagram. Beberapa ditujukan untuk kanal “nyinyir”. Lainnya dimanfaatkan untuk melebarkan kesombongan lintas-platform medsos.
Ketiklah tagar #RichKidsofInstagram. Anda akan menemukan banyak anak tajir dari berbagai negara, mulai dari Indonesia hingga Amerika Serikat, merentang dari daratan Inggris sampai ke Cina. Skalanya global. Tagar ini juga nyangkut di negara miskin sekalipun, asal ada segelintir keluarga yang menikmati kekayaan-amat-sangat-berlebih.
Kasus di Iran agak unik. Menurut laporan Vice, pamer kesejahteraan yang dilakukan oleh anak-anak orang kaya di Teheran punya motif politis. Selama ini media massa melaporkan Iran sebagai negara yang kelewat konservatif dan tradisional. Anak-anak ini ingin menunjukkan wajah Iran yang liberal dan modern.
Instagram Memang Medsos untuk Pamer
Pada 2015 Pew Research Center meneliti popularitas medsos di kalangan remaja Amerika Serikat. Pertama-tama mereka menemukan, bahwa dari segi durasi pemakaian, tidak diragukan lagi, sebagian besar dari responden bermain medsos tiap hariya.
Kedua, terkait platform yang digunakan, Instagram menempati urutan kedua setelah Facebook. Menariknya adalah ketika temuan riset dikategorikan berdasarkan latar belakang ekonomi. Semakin kaya keluarga responden, semakin jauh mereka dari Facebook dan semakin dekat mereka dengan Instagram.
Pendeknya, dalam beberapa tahun terakhir Facebook sudah dianggap kuno terutama oleh generasi muda yang berkantong tebal. Kepemilikan akun Instagram adalah standar kekerenan yang baru. Tapi rupanya punya akun pun belum cukup, sebab kontennya juga harus kelihatan wah.
Riset Pew Research tidak sampai menggali akar penyebabnya. Tapi dalam konteks konsumsi yang mencolok, muncul semacam konsensus bahwa Instagram memang tempat para pengguna menyombongkan apa yang mereka punya. Hobi ini tidak hanya dibolehkan, tapi kerap kali juga dirayakan.
Bukan Fenomena Baru
Sekilas, Rich Kids of Instagram adalah fenomena khas internet. Namun jika menengok masa lalu, perilaku tersebut sesungguhnya bukan barang baru.
Adam Stoneman pernah menyinggung fenonema tersebut di majalah Jacobin. Ia mengutip isi buku kritikus seni John Berger, Ways of Seeing(1990), yang menunjukkan bahwa hobi mengabadikan gaya hidup glamor telah dilakukan anak-anak keluarga borjuis di Eropa di abad ke-17 dan ke-18.
Motifnya sama. Masih di seputaran rasa sombong serta dalam rangka penegasan status, gengsi, dan privilese. Mediumya saja yang berubah. Jika kini para pelaku memakai Instagram, dulu mereka memakai lukisan minyak.
Berger mencatat anak-anak borjuis Eropa itu kecipratan harta yang didapat oleh orang tua mereka melalui ekspansi perdagangan hingga ke wilayah koloni. Mereka diberi modal untuk jalan-jalan keliling Eropa, terutama ke Perancis dan Italia.
Niatnya adalah pencarian akar kebudayaan Eropa dalam bentuk musik, makanan, lukisan, pahatan, dan lain sebagainya. Sesekali mereka berpesta pora, menikmati seks, sambil mabuk-mabukan secara liar. Durasinya bisa berlangsung selama bertahun-tahun, dan amat bergantung pada dana tak terbatas yang dikirim sang ayah.
Lukisan yang mereka pesan berlatar petualangan glamor tersebut, yang tentu saja tak bisa diakses orang-orang kelas bawah. Dengan demikian Berger berupaya melihat sisi politis di balik lukisan-lukisan klasik. Ia sadar bahwa karya seni punya kisah tersendiri yang berkaitan dengan latar belakang sosial dan ekonomi sang pemesan.
Spiritnya Sama, Mediumnya Beda
Stoneman, melalui analisis yang disampaikan Berger di bukunya, kemudian membuat perbandingan dalam rangka membedah makna simbolis atas objek-objek yang ditampilkan para pelaku konsumsi mencolok, antara yang hidup di era sekarang, dengan yang hidup di Eropa abad ke-17 dan 18.
Contoh yang ia pakai adalah foto Instagram Anton Thunberg, anak seorang milyader Swedia. Thunberg pernah menunjukkan diri sedang berada di bak mandi sambil memegang tiga botol sampanye yang totalnya hampir tujuh liter. Ketiganya bermerek Veuve Clicquot, Moët, dan Dom Pérignon.
Thunberg tidak hanya pamer minuman. Ia juga menggigit ujung American Express Gold Card. Di tangannya melingkar jam Rolex. Semua bawaan Thunberg adalah barang-barang yang terlalu ganjil untuk diboyong orang ke sebuah bak mandi yang hampir terisi penuh oleh air.
“Tapi foto tersebut bukan soal selera atau kenikmatan. Ini soal tontonan tentang kesenangan. Tentang kepuasan—kepuasan [Thunberg] tidak berasal dari minuman keras itu sendiri, tapi dari informasi yang disadari penglihatnya: bahwa ia [Thunberg] mampu memilikinya,” tulis Stoneman.
Sampanye prestisius, jam tangan mahal, dan kartu kredit edisi terbatas itu sendiri menunjukkan eksklusivitas, yang hanya bisa diakses oleh orang berduit seperti keluarga Thunberg.
Kondisi salah satu botol yang sudah terbuka tutupnya serta sebagian isinya tertumpah ke bak juga menjadi simbol konsumsi mencolok di level lain. Thunberg seakan berkata: “Minuman yang bagimu bernilai tinggi ini justru bagiku bernilai rendah. Saking rendahnya, lihatlah, aku sampai menumpah-numpahkannya!”
Stoneman membandingkan foto Thunberg dengan salah satu karya Bartolome Esteban Murillo, pelukis Barok Spanyol yang berkarya sepanjang tahun 1650-an. Judulnya “Young Man Drinking”.
Lukisan tersebut menunjukkan seorang anak muda yang berpose duduk santai. Tangan kiri yang disandarkannya pada meja terlihat memeluk botol anggur besar. Ia sedang menyisip mencicipi anggur memakai tangan kanan, dengan sorot mata melirik tajam ke arah sang pelukis.
Seperti Tundberg, ukuran botol menunjukkan ia mampu mereguk minuman dambaan orang banyak dengan volume besar. Ia orang kaya yang menikmati anggur dengan bahagia. Penegasan simbolis lain terdapat karangan daun anggur yang dipasang di kepala, menunjukkan bahwa ia adalah pengikut Bacchus, sang Dewa Anggur dalam mitologi Romawi.
Stoneman membuat perbandingan lain terkait foto koleksi uang dolar AS dan kartu kredit emas Tundberg serupa dengan lukisan barang-barang berharga karya pelukis Eropa abad ke-15. Keduanya mengandung pesan simbolis yang lagi-lagi berkaitan dengan kekayaan pribadi.
Keduanya kembali menegaskan bahwa kelakuan borjuis era lampau dan sekarang spiritnya sama. Cuma mediumnya saja yang berbeda.
Editor: Windu Jusuf