tirto.id - Gamba Patoge (23), bukan nama sebenarnya, bekerja seperti biasa di PT Freeport Indonesia pada 18 Mei lalu. Dalam situasi ini istrinya yang berada di Timika menghubungi, mengabarkan bapak meninggal akibat penyakit. Mekanik itu lemas, ia hentikan pekerjaannya saat itu juga.
Seperti banyak anak lain yang mendengar kabar menyedihkan itu, Gamba ingin sekali mengabaikan semua yang ia kerjakan dan segera pulang. Tapi itu tak mudah lantaran manajemen perusahaan melarang pekerja keluar area operasi dengan alasan pandemi COVID-19.
Karena kebijakan itu bus yang menjadi transportasi utama para buruh ke ibu kota kabupaten tak dioperasikan.
Gamba putar otak. Wajah bapak terbayang-bayang di kepalanya. Sehari kemudian, 19 Mei, ia memutuskan mengurus surat keterangan bebas COVID-19 ke Rumah Sakit Tembagapura. Surat ini adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi siapa saja yang hendak bepergian.
Masalah belum rampung karena meski telah melobi perusahaan, namanya tak juga terdaftar sebagai buruh yang diperkenankan meninggalkan Freeport.
“Hari itu sa tunggu-tunggu kapan sa turung, padahal hari itu juga bapak sa dimakamkan di Timika. Sa tanya-tanya, cari jalan untuk numpang turung,” kata Gamba ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (26/8/2020).
Di hari itu juga ada pengurangan buruh. Perusahaan tidak memperpanjang kontrak para buruh, juga dalam rangka rasionalisasi karena pandemi. Mereka yang terdampak bakal diangkut menggunakan bus khusus.
Gamba melihatnya sebagai peluang. Ia pun mencoba menumpang. Ia berhasil ikut dengan rombongan meski sempat berdebat dengan petugas keamanan. “Sa bilang ini keadaan darurat,” katanya. Petugas menerima alasan tersebut.
Pada saat itu ada enam bus yang masing-masing berisi lima-enam penumpang keluar wilayah tambang.
Di dalam bus Gamba mengabarkan atasannya bahwa ia berhasil angkat kaki. Rombongan tiba di Bandara Mozes Kilangin sekitar pukul 10.30 atau kurang lebih tiga-empat jam perjalanan. Gamba melanjutkan perjalanan ke pemakaman. ”Sa pigi, cuma lihat kuburan saja,” katanya.
Kelar semua urusan, ia sempat tinggal di Timika selama lima pekan karena belum bisa kembali ke Tembagapura, sebelum akhirnya manajemen perusahaan menghubungi dan memintanya balik.
Gamba bisa dibilang segelintir buruh Freeport yang beruntung karena bisa keluar dari wilayah operasi. Kemewahan yang tidak dapat dirasakan ribuan buruh lain, termasuk Robert (28), bukan nama sebenarnya. “Kami tidak pernah turun selama enam bulan,” katanya kepada reporter Tirto.
Ia adalah satu dari sekian ribu pekerja yang tak dapat pulang ke keluarga. Mereka tidak diperkenankan cuti sejak Maret. Belum lagi perusahaan tak mengucurkan insentif selama enam bulan terakhir atau selama pandemi.
Robert hanya bisa baku rindu dengan keluarga menggunakan gawai. Ia tetap bersyukur bisa melakukan itu karena jaringan internet dan komunikasi di sana tak diputus, meski sebenarnya ingin juga pulang dan bertemu keluarga langsung.
Robert dan buruh-buruh lain tak bisa keluar karena satu surat dari perusahaan yang menurutnya bernada menakut-nakuti. “Surat itu [menyebutkan] kalau turun, susah naik lagi. Macam begitu suratnya.” Sebagian buruh pasrah, lainnya, seperti Gamba, berupaya melobi perusahaan dengan berbagai alasan.
Tapi toh kesabaran ada batasnya. Tak bisa mengakses dunia luar secara langsung dan tidak memperoleh insentif membuat para pekerja gerah. Mereka lantas menggelar aksi massa: memalang jalan di kawasan Ridge Camp Mile 72, Tembagapura, sejak 24 Agustus, pukul 3 pagi.
Operasional pertambangan praktis lumpuh.
Pada 25 Agustus, Bupati Mimika Eltinus Omaleng melalui Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Mimika Paulus Yanengga mengizinkan para buruh keluar dengan syarat tetap menaati protokol kesehatan. Namun manajemen perusahaan enggan memuluskannya.
Kemudian manajemen memutuskan hanya 200 buruh yang diperbolehkan keluar area dalam satu hari. Buruh menolaknya karena jumlah yang ingin keluar jauh lebih banyak dari itu. “Kebanyakan yang diperbolehkan cuti itu keluar Papua, sedangkan di dalam Papua lockdown,” kata Robert.
Tiga hari mereka bertahan di lokasi demi menuntaskan tuntutan.
Juru Bicara PT Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan “permintaan utama karyawan adalah pengoperasian kembali bus, sehingga mereka dapat menemui keluarga secepatnya.” Ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Rabu (26/8), ia mengklaim alasan pemberlakuan kebijakan ini adalah keselamatan karyawan, keluarga, dan komunitas.
Setelah demo itu manajemen melonggar. Namun ia menegaskan tetap tak mengizinkan semua--ada prioritas siapa yang bisa lebih dulu keluar. Riza bilang dua hari lalu Bupati dan PTFI sudah mencapai kesepakatan, tapi pekerja yang memblokade tambang tidak menerima jalan keluar itu.
Direktur Perkumpulan Advokat HAM Papua Gustaf Kawer berpendapat pembatasan perjalanan dan penahanan insentif itu melanggar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan hak asasi karyawan.
“Sesuai dengan undang-undang, kalau mereka bekerja lebih harus ada tambahan (insentif) dan buka akses untuk bertemu keluarga,” kata dia, Rabu (26/8/2020). Toh Freeport adalah korporasi raksasa yang pasti mampu menunaikan seluruh hak karyawan, termasuk insentif karena kerja lembur.
Ia lantas meminta dinas tenaga kerja sebagai pengawas cepat menyelesaikan perkara ini. Lalu, para buruh memutuskan menggugat perusahaan, maka instansinya siap turun tangan memberikan pendampingan hukum.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino