tirto.id - Penampilan buruk Arab Saudi saat menghadapi tuan rumah Rusia memang sudah bisa diterka jauh-jauh hari. Pada laga nanti malam, banyak rumah judi dan pengamat Saudi memprediksi mereka juga akan kalah dari Uruguay. Saudi akan jadi tim yang pertama tersingkir dari turnamen. Secara objektif tim ini memang benar-benar payah.
Jika ditilik rangking FIFA saat ini, Saudi ada di peringkat ke-67, peringkat kedua terburuk dari seluruh peserta Piala Dunia. Mereka hanya lebih baik, ironisnya, dari Rusia yang membantainya dengan lima gol tanpa balas.
Peringkat Saudi yang buruk dalam versi FIFA itu juga seperti dalam versi ELO. Rating dari ELO lebih kompleks dari FIFA karena lebih rigid dan mencakup banyak atribusi statistik. Dalam data ELO, Saudi ada di peringkat 68 dan menjadi yang terburuk ketimbang kontestan lain. Itulah mengapa hampir semua bursa taruhan memprediksi probabilitas Saudi memenangkan Piala Dunia amatlah kecil, 1 berbanding 1000.
Dibandingkan tim-tim lain, hulu persoalan sepakbola Saudi adalah minimnya pemain mereka menimba pengalaman di luar negeri. Sebagian besar penggemar sepakbola tidak pernah melihat atau bahkan mendengar para penggawa timnas Saudi sebelumnya. Itu disebabkan mayoritas pemain Saudi memang bermain di liga domestik. Dari 23 pemain, hanya 3 pemain yang berkiprah di luar negeri. Dan lebih parahnya, dari 20 pemain lokal itu, 16 pemain berasal dari dua klub Saudi saja, yaitu Al-Ahli dan Al-Hilal.
Masalah ini terjadi saban tahun dan telah menjadi laten. Legenda Saudi, Sami Al Jaber, sudah memperingatkan masalah ini.
"Jika Anda melihat Australia, mungkin 90 persen dari pemain mereka bermain di liga Eropa," kata Al Jaber kepada The Guardian.
Sosok yang telah tampil di empat Piala Dunia dan menghabiskan satu musim di Wolverhampton Wanderers pada musim 200/2001 menambahkan:
"Jika Anda berbicara tentang Jepang dan Korea Selatan, mereka juga melakukan hal yang sama. Para pemain mereka berkeliaran keluar, pergi ke liga yang berbeda di Eropa. Ini jelas membantu dalam mengembangkan sepakbola mereka. Para pemain belajar hal-hal baru dan yang paling penting, mereka belajar nilai menjadi profesional sejati," katanya.
"Kami perlu mengidentifikasi bakat terbaik kami dan mengirim mereka ke luar negeri ke liga terbaik. Pengalaman itu akan sangat berharga dalam pengembangan para pemain karena dalam sepakbola, Anda harus terus belajar, Anda tidak bisa tanpa pergi ke liga yang lebih tinggi dan bersaing dengan pemain terbaik," katanya, lagi.
Srecko Katanec, mantan gelandang Sampdoria yang lama melatih klub Timur Tengah, mengakui bahwa satu-satunya cara membuat sepakbola Saudi lebih baik adalah dengan mengekspor pemain muda ke luar negeri.
"Sulit bagi orang-orang untuk tumbuh di liga ini dan tidak pernah meninggalkannya," kata Katanec dalam wawancara dengan The National. "Anda akan terus stagnan sebab hanya bermain melawan musuh yang sama setiap hari. Anda tidak akan belajar banyak dan tidak akan menjadi lebih baik."
Secara teknik, pemain Arab Saudi tidaklah kalah ketimbang pemain Jepang, Korea Selatan, atau Australia.
"Kami memiliki pemain yang secara teknis mengangumkan. Mereka dapat melakukan segalanya dengan bola. Tetapi mereka harus pergi ke luar negeri untuk melihat seberapa keras tim berlatih, untuk belajar menghadapi tekanan," tutur Katanec kepada The National.
Pendahulu Katanec, orang Prancis bernama Dominique Bathenay, mengaku sering menerima pertanyaan dan tawaran rutin dari agen-agen Eropa tentang pemain-pemain berbakat di sana.
"Begitu banyak agen dan pemandu bakat dari beberapa klub terbaik di Eropa telah mendekati saya soal ini, mengungkapkan keinginan mereka untuk mengontrak pemain dari sini. Sayangnya, beberapa rintangan selalu menghalangi langkah mereka," tuturnya, masih dikutip dari artikel di The National yang berjudu "Move Abroad to Move Up, Says Former Saudi Captain".
Di Piala Dunia kali ini Saudi tetap anomali. Mereka sama sekali tak mengandalkan pemain yang berkompetisi di Eropa atau Amerika. Padahal jika dibandingkan negara kecil lain macam Islandia, Panama atau Kosta Rika, minimal 2-3 pemain mereka merumput di Eropa dan dapat kesempatan bermain cukup banyak.
Al Jaber tahu diri bahwa sulit jika memaksa seluruh pemain timnas ini merantau. Namun, kata dia, semuanya bisa dimulai secara bertahap; 2-3 pemain yang merumput di Eropa pun kata dia sudah cukup. "Anda akan melihat bahwa tim nasional akan meningkat banyak jika kami memiliki dua atau tiga pemain di level yang lebih tinggi."
Kekusutan ini bukan disebabkan para pemain yang enggan merantau, namun sikap proteksionis klub dan negara. Saeed Owairan menjadi contoh untuk menjelaskan masalah ini.
Pada Piala Dunia 1994, Saudi mengejutkan banyak pihak saat mereka mampu lolos ke babak 16 besar. Di fase grup mereka mengalahkan Belgia dengan skor 1-0 lewat gol spektakuler yang dicetak Saeed Owairan.
Gol Owairan ini mirip seperti gol Maradona ke gawang Inggris pada perempatfinal Piala Dunia 1986. Ia mengolah bola dari tengah lapangan dan menipu lima pemain Belgia yang mengadangnya. Dengan tenang, ia menyambar bola secara pelan ke gawang yang dijaga kiper Michel Preud'homme. Sepanjang fase grup, Owairan memang tampil memukau.
Ketika pulang, Owairan disambut bak selebritas. Raja Fahd memberinya hadiah mobil mewah. Sejumlah agen pemain menawarinya untuk bermain di Eropa, meninggalkan klubnya, Al Shabbab. Namun, pemerintah Saudi melarangnya.
Muncul kekhawatiran bahwa dengan bermain di Eropa itu akan membuat si pemain meninggalkan nilai-nilai yang berlaku di Saudi. Jika Owairan melakukan hal-hal buruk yang tidak sesuai dengan standar moral yang berlaku di Saudi, dicemaskan tabiat buruk itu akan diikuti oleh para penggemarnya atau para pemain muda.
"Setiap orang di Arab Saudi harus bertindak sesuai dengan hukum agama dan pemerintah, tetapi sangat penting seorang bintang berperilaku baik," kata Ahmed Eid Saad Alharbi, bekas manajer tim nasional kepada New York Times.
"Panutan itu adalah orang yang selalu diikuti, orang yang harus memberi contoh yang baik agar semua orang bisa mengikutinya dengan cara yang baik." katanya.
Itulah yang membuat pemain dari Saudi sulit untuk merantau ke Eropa.
Problem ini juga berakar pada kepemilikan klub-klub di Saudi yang banyak dikuasai pemerintah. Jika pemerintah melarang, maka klub tak bisa bertindak apa-apa. Jika tetap nekat bernegosiasi, transfer tetap tak mungkin terlaksana. Dalam sistem proses perpindahan pemain, FIFA melakukannya lewat mekanisme Transfer Matching System (TMS), dan itu hanya bisa diakses oleh klub. Sedangkan klub-klub mayoritas dikendalikan oleh pemerintah.
Sadar bahwa kemampuan mereka yang begitu-begitu saja membuat otoritas sepakbola Saudi sedikit mereformasi sistem. Langkah menarik yang baru saja mereka lakukan adalah saat bekerja sama dengan pengelola La Liga Spanyol.
Dalam perjanjian itu, Saudi akan memagangkan sembilan pemain muda mereka ke berbagai klub Spanyol yang didistribusikan oleh pengelola Liga. Aturan ini sudah berlaku sejak 2017. Ada tiga pemain yang dibawa ke Rusia yang kini bermain di La Liga. Mereka adalah Salmam Al-Dawsari di Villarreal, Fahad Al-Muwallad di Levante, dan Yahia Al-Shehri di Leganés.
Bagi klub Spanyol, pemagangan ini adalah berkah sebab bukan mereka yang membayar tapi merekalah yang dibayar pemerintah Saudi. Di situlah kritik kembali mencuat. Metode ini dinilai bukan hal bagus. Alih-alih melonggarkan regulasi dan membiarkan pemain mereka pergi secara organik, Saudi malah memaksa pemain mereka bermain di Eropa dengan bantuan uang. Ini akan merusak mental pemain muda mereka.
Dan benar saja, uang nyatanya tak membuat mereka diterima dengan baik di Spanyol. Teknik mereka yang biasa saja membuat tiga pemain ini tak pernah diberi kesempatan bermain. Waktu bermain tiga pemain itu, jika digabungkan, tak kurang dari 56 menit.
Saudi sengaja mengirim tiga pemain ini ke Eropa dengan maksud membantu penampilan tim Elang Hijau agar tampil lebih baik. Namun, apa yang bisa diharapkan dari tiga pemain yang total bermainnya hanya 56 menit?
Editor: Zen RS