Menuju konten utama

Revolusi Hijau Industri Plastik Dunia

Candu plastik skala global pada akhirnya memicu masalah baru: limbahnya sulit terurai, ekosistem terancam. Berbagai inovasi pun dilakukan dalam rangka mencari senyawa polimer yang alami, dapat diperbaharui, dan bisa menjadi bahan baku produk plastik yang ramah lingkungan. Sejumlah pihak berhasil mewujudkannya, dan siap merevolusi industri plastik skala nasional maupun global.

Revolusi Hijau Industri Plastik Dunia
Polimer plastik daur ulang [Foto/Shuuterstock]

tirto.id - Pada 1920, ahli kimia asal Jerman Hermann Staudier mengenalkan polimer, senyawa kimia yang mengandung karet dan selulosa serta terbuat dari rantai panjang molekul kecil identik. Masing-masing molekul tersebut dihubungkan oleh ikatan kimia yang kuat. Sayang, Hermann tidak mendapat tanggapan yang serius dari mayoritas rekan-rekannya. Temuannya tersebut malah dianggap lelucon belaka.

Tapi Hermann tak patah arang. Ia terus membincangkan temuannya di berbagai forum selama satu dekade. Ia rajin mempromosikannya sebagai senyawa penting yang tak akan mentok sebagai penemuan akademik semata, tapi juga berfaedah bagi kepentingan praktis.

Buah manis dari kegigihan Hermann terbayar kala penelitian lanjutan membuktikan bahwa temuannya valid. Ia sampai memenangkan penghargaan Nobel pada 1953 atas kerja kerasnya menggeluti dunia kimia.

Fenomena sesudahnya: muncul tren penggunaan senyawa polimer di berbagai bidang. Tak butuh waktu lama juga bagi polimer untuk mengubah wajah industri modern. Polimer sintesis segera mengisi slot terpenting dalam bisnis pembuatan barang-barang plastik dengan harga produksi yang murah dan bisa dijual dengan jangkauan distribusi hampir tak terbatas.

Tahun lalu saja, sintesis polimer telah diproduksi kurang lebih 300 juta ton untuk beragam barang mulai dari sendok plastik hingga rangka pesawat terbang (separuh badan pesawat Boeing 787 Dreamliner terbuat dari bahan berbasis polimer).Temuan rantai molekul Hermann telah menjelma menjadi barang-barang yang biasa dipakai oleh orang-orang dari beragam kalangan, mulai dari pakaian, kemasan untuk pengiriman obat, produk tiga dimensi, dan lain sebagainya.

Pendek kata, sejak Hermann diganjar Nobel, revolusi plastik telah dimulai. Orang-orang sedunia dimanjakan—tak sedikit yang menyebutnya kecanduan—oleh berbagai produk berbahan plastik.

Risiko Candu Plastik Skala Global

Merujuk data Statista, produksi plastik global dari tahun 1950-2014 melonjak sangat tinggi. Dari mulanya hanya 1,5 juta ton, 64 tahun setelahnya sudah mencapai angka 311 juta ton (naik 11 juta ke tahun 2015). Lonjakan tertinggi terjadi di kurun waktu 1989-2002 ketika produksi plastik global mencapai 100 juta ton. Satu dekade sesudahnya pertumbuhan melambat menjadi 88 juta ton, namun hingga tahun ini belum pernah ada tren penurunan produksi.

“Secara umum tren penggunaan polimer akan terus berlanjut dan penggunaan polimer untuk berbagai jenis aplikasi akan makin meluas, melebihi ekspetasi orang-orang dengan pandangan tradisional,” kata Tim Lodge, ahli kimia di Universitas Minessota dan editor jurnal Macromolecules kepada Scientific American, Minggu (21/8/2016).

Menurut Tim, para peneliti telah mengembangkan metode-metode baru untuk proses sintesis serta menganalisis molekul utama pembentuk polimer, memajukan teori-teori lama, dan menciptakan tiruan polimer dengan cara mengambil bahan lain dari alam. Sikap lembaga-lembaga pendidikan terhadap riset atas polimer yang dulunya dinilai terlalu kotor, praktikal dan industrial juga telah berubah. Sekarang hampir tiap jurusan kimia di kampus-kampus memiliki seseorang yang berfokus pada penelitian tentang polimer.

Tim mengapresiasi perkembangan tersebut mengingat sifat penelitian polimer yang praktikal dan industrial justru akan selalu diminati. Kebutuhan produk berbasis polimer di berbagai belahan negara juga tinggi. Namun, kemunculan polimer juga tak melulu disanjung-sanjung. Kalangan aktivis lingkungan sejak lama juga getol mempromosikan bahaya polimer dalam wujud plastik yang menjadi salah satu sumber polusi paling berbahaya di era modern ini.

“Sebagian besar barang-barang plastik yang kita gunakan sehari-hari adalah produk polimer berbasis minyak bumi. Umurnya memang tahan lama, tetapi sebagai limbah barang-barang tersebut juga tahan lama alias mengandung bahaya bagi lingkungan,” jelas Marc Hilmyer, direktur Center for Sustainable Polymer (CSP) di Universitas Minnesota.

Marc kemudian memaparkan fakta tentang 86 persen dari semua kemasan plastik digunakan hanya sekali pakai sebelum akhirnya dibuang. Aliran limbah tersebut tertahan di saluran air atau TPA, melepaskan polutan yang mengganggu pertumbuhan tanaman, dan mengancam kehidupan satwa liar.

Fenomena inilah yang menyebabkan selama satu dekade terakhir muncul tren penelitian maupun produksi plastik berbahan baku polimer yang dibuat dari sumber yang bisa didaur ulang. Produknya tergolong ramah lingkungan sebab bisa hancur dengan alami dan tak membutuhkan waktu yang panjang. Salah satu contoh polimer ramah lingkungan ini adalah sintesis polaktida (PLA) yang terbuat dari laktida dan asam laktat (berasal dari sumber hayati) dan biasa untuk membuat kantong teh atau implan medis.

Marc masih belum puas sebab data termutakhir menunjukkan bahwa penggunaan polimer ramah lingkungan baru 10 persen dari total produksi plastik dunia. PLA mengandung lebih banyak oksigen ketimbang polimer berbasis minyak bumi/sumber fosil. Sehingga untuk mengubahnya menjadi bahan baku plastik jenis polyethylene (PE) and polypropylene (PP) butuh biaya yang cukup besar. Dalam hitung-hitungan ekonomi, PLA kurang sesuai dengan prinsip para pelaku industri yang fokus pada untung besar dengan biaya produksi sekecil-kecilnya.

Apakah benturan pola pikir pengusaha dan peneliti/aktivis lingkungan ini selamanya tak bisa didamaikan? Meski gaungnya belum besar, titik terang persoalan ini barangkali bisa ditelusuri dari Indonesia.

Inovasi Singkong dan Revolusi Plastik Jilid II

Sejak satu dekade belakangan Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah mengenalkan polimer biodegradable sebagai salah satu produk baru yang diklaim lebih murah dibanding bahan plastik lainnya dan bisa hancur dalam waktu yang lebih singkat.

Polimer biodegradable sebenarnya lumayan populer di negara-negara maju dan sudah mulai diproduksi secara komersial. Hasilnya antara lain poli hidroksi alkanoat (PHA), poli e-kaprolakton (PCL), poli butilen suksinat (PBS), dan poli asam laktat (PLA). Sayang problemnya masih di bahan baku yang dipakai, yakni dari sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui.

Berangkat dari persoalan ini, Feris Firdaus, Sri Mulyaningsih, dan Endang Darmawan dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Islam Indonesia (DPPM UII) Yogyakarta meneliti plastik kemasan yang ramah lingkungan dan dibuat dari sumber daya alam yang bisa diperbaharui. Dari berbagai macam bahan baku, akhirnya temuan jatuh ke pati singkong dan khitosan. Keduanya mampu terdegradasi secara alami, tak beracun, dan tak mencemari lingkungan. Yang jelas, biaya produksinya terhitung murah.

Saat itu proyek ini memang belum menemukan jalannya untuk diproduksi secara massal. Namun, ada pihak selain LIPI yang berikhtiar untuk menjadikan polimer biodegradable sebagai produk yang benar-benar aplikatif. Salah satunya adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), yang pada awal Maret lalu merilis plastik ramah lingkungan yang berasal dari limbah pengolahan singkong dengan menggunakan teknik radiasi nuklir.

"Plastik ini sangat ramah lingkungan dan mudah terurai oleh mikroba tanah hanya dalam waktu dua sampai enam bulan," ujar Kepala Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (Pair) BATAN Hendig Winarno dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (7/3/2016), sebagaimana dikutip Antara.

Plastik ramah lingkungan tersebut, kata Hendig, sudah ditemukan oleh pihaknya sejak 10 tahun yang lalu, tetapi baru dirilis saat ini bertepatan dengan pemberlakuan kantong plastik berbayar di ritel-ritel yang ada di Tanah Air.

Proses penyinaran radiasi terhadap bahan plastik tidak akan mengakibatkan bahan yang disinari menjadi radioaktif sehingga aman bagi penggunanya. Beberapa keunggulan proses radiasi adalah prosesnya relatif sederhana, aman, bersih dan tidak menggunakan katalis kimia. Ikatan antara molekul bahan yang diiradiasi terbentuk ikatan kimia, sehingga produknya relatif kuat.

Selain lembaga penelitian pemerintah, ada juga pihak swasta yang memiliki kesadaran sama. Salah satunya Sugianto Tandio, pemilik perusahaan plastik kemasa PT Tirta Marta yang pernah resah atas bahaya plastik konvensional. “Plastik itu baru terurai setelah 1.000 tahun,” katanya kepada Tempo, Selasa (2/3/2016).

Berbekal ilmu yang ia dapat selama belajar di Amerika Serikat, Sugianto lantas melakukan penelitian selama 10 tahun. Hasilnya, lulusan University of North Dakota itu menemukan dua teknologi plastik ramah lingkungan yang dinamakan Oxium dan Ecoplas. Oxium adalah aditif yang ditambahkan ke biji plastik biasa yang membuat plastik akan lebih cepat terurai. Sedangkan Ecoplas adalah plastik yang dibuat menggunakan tepung dari singkong.

Sejak produk plastik buatannya masuk pasar di tahun 2010, produk tas belanja Oxium sudah menguasai 90 persen peretail besar di Indonesia. Sedangkan untuk produksi Ecoplas, meskipun masih sedikit, namun telah mencapai pasar luar negeri. Perbandingannya, Oxium memang lebih murah tetapi butuh waktu dua tahun untuk terdegradasi. Sementara Ecoplas lebih mahal, tetapi bisa terdegradasi lebih cepat.

Jika dibandingkan plastik biasa yang butuh waktu 1.000 tahun, produk Sugianto jelas sebuah temuan yang menggembirakan. Apalagi jika langkah ini diikuti oleh pengusaha plastik lain (terutama para pemain besar) hingga bisa menggantikan keberadaan plastik konvensional di pasaran dalam negeri—lebih baik lagi sampai ke luar negeri.

Dalam upaya yang konsisten, meniru semangat Hermaan kala memperkenalkan polimer, bukan tak mungkin perubahan mendasar selanjutnya bisa diwujudkan dengan lebih mudah: revolusi hijau industri plastik dunia.

Baca juga artikel terkait PLASTIK RAMAH LINGKUNGAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Teknologi
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti