Menuju konten utama

Revisi UU Terorisme: Komnas HAM Soroti Penangkapan Terduga Teroris

Komnas HAM mempertanyakan lokasi para terduga teroris itu diamankan setelah ditangkap.

Revisi UU Terorisme: Komnas HAM Soroti Penangkapan Terduga Teroris
Polisi bersenjata melakukan penjagaan di rumah Sidik (33), terduga teroris yang ditangkap oleh Densus 88 Antiteror, di Banyumas, Jateng, Kamis (1/2/2018). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

tirto.id - Komnas HAM menyatakan, Revisi Undang-undang Terorisme perlu menjelaskan letak atau keberadaan para terduga teroris diamankan setelah ditangkap.

Menurut Koordinator Sub Komisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, selama ini pihaknya mempertanyakan lokasi para terduga teroris tersebut diamankan setelah ditangkap.

"Lalu yang paling penting dibenak kita penahanan di mana dia. Misalnya ketika di tangkap enggak tahu kamu di mana, keluarga enggak tahu, pengacara enggak tahu kamu di mana disitulah potensial orang mengalami tindak kekerasan," ucap Choirul Anam di Kantor Komnas HAM, Menteng Jakarta Pusat, Senin (16/4/2018).

Choirul menjelaskan, berdasarkan draf terakhir (5 februari 2018), RUU Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme yang didapat oleh Komnas HAM tidak dituliskan secara tegas lokasi para terduga teroris tersebut setelah ditangkap.

"Hal ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam RUU tersebut ketika menangkap. Seharusnya bisa dititipkan di polres di polda atau tempat-tempat yang memang ditunjuk dari awal sehingga orang bisa mengukur itu akuntabilitasnya," ucap Choirul.

Salah satu poin yang juga disorot adalah pada pasal 28 ayat (1) RUU Terorisme terkait lama penangkapan. Pada draf rancangan ditulis, penyidik dapat melakukan penangkapan berdasarkan bukti permulaan yang cukup dalam waktu paling lama 14 hari.

Menurut Choirul, waktu tersebut terlalu lama sehingga perlu dikembalikan pada KUHAP Pasal 19 ayat (1) yaitu satu hari. "Jadi standarnya itu kalau tidak ada pemberitahuan atau macam-macam itu 1x24 jam baru di perpanjang lagi," ucap Choirul.

Alasan Komnas HAM menyoroti poin tersebut karena dalam kurun waktu 6 tahun terakhir lembaga itu menemukan fakta telah terjadi dugaan pelanggaran HAM terhadap penanganan tindak pidana terorisme di 8 Provinsi di Indonesia yaitu Aceh, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Timur.

Oleh karenanya, jikakedua poin tersebut tidak segera ditindaklanjuti oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Terorisme, maka akan terjadi penyalahgunaan wewenang alias abuse of power dalam penanganan tindak pidana terorisme.

"Dampaknya adalah potensial abuse of power, dan akan terjadi lagu tindakan (kekerasan) yang diadukan ke komnas HAM," ucapnya.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Naufal Mamduh

tirto.id - Hukum
Reporter: Naufal Mamduh
Penulis: Naufal Mamduh
Editor: Alexander Haryanto