Menuju konten utama

Reklamasi, Cara Usang yang Jadi Sumber Uang

Proyek reklamasi pantai Jakarta menjadi sorotan pasca kasus suap anggota DPRD DKI Jakarta terkait Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara. Reklamasi dianggap sebagai cara usang, tapi kegiatan ini justru jadi sumber uang yang besar. Kegiatan reklamasi di Cina juga menjadi ladang uang bagi para pengembang.

Reklamasi, Cara Usang yang Jadi Sumber Uang
Pulau G, salah satu pulau reklamasi di Teluk Jakarta. Tirto/TF Subarkah

tirto.id - Reklamasi jadi topik yang cukup hangat sejak awal tahun. Pro dan kontra terus bermunculan. Bagi yang pro, reklamasi dianggap sebagai salah satu solusi untuk memecahkan kekurangan lahan. Sementara bagi yang kontra, reklamasi dianggap aneh karena wilayah Indonesia masih sedemikian luas. Reklamasi juga dianggap akan merugikan para nelayan sekaligus mengganggu lingkungan.

Reklamasi di Jakarta memang bukan barang yang baru. Sejarahnya sudah dimulai sejak era Orde Baru ketika lahir Keputusan Presiden (Keppres) No 52 tahun 1995 tentang reklamasi pantai Jakarta. Pada pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), proyek reklamasi berlanjut dengan rencana pembangunan 17 pulau buatan. Semenjak itu, berbagai pengembang seperti PT Agung Podomoro Land Tbk, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Intiland Development Tbk, PT Agung Sedayu, ramai-ramai mengajukan izin konsesi pulau buatan.

Hasrat pengembang membuat lahan baru di bibir Teluk Jakarta bukan tanpa alasan. Potensi keuntungan yang besar sudah menanti, apalagi lahan di Jakarta makin menipis dan harganya makin tinggi. Namun, munculnya berbagai kontroversi, sehingga pemerintah pusat mengambil langkah darurat.

Sejak akhir April 2016, pemerintah memutuskan moratorium reklamasi Teluk Jakarta untuk enam bulan sebelum melanjutkan kembali proyek ini. Pada masa moratorium, pemerintah membuat rencana master pengembangan dan pembangunan wilayah pesisir di ibu kota alias National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). NCICD untuk penangkal banjir akibat turunnya permukaan tanah di pesisir Jakarta. Selama moratorium, kontroversi reklamasi terus bergulir. Salah satunya datang dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda yang mengkritik keras program reklamasi karena dianggap sebagai cara yang ketinggalan zaman.

Cara Usang

Mahasiswa Indonesia di Belanda menggelar diskusi "Reklamasi Teluk Jakarta". Penyelenggaranya adalah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda bekerja sama dengan PPI Kota Den Haag dan Forum Diskusi Teluk Jakarta di Kampus International Institute of Social Studies, Den Haag, pada medio Juni.

Mereka menyimpulkan, rencana Pemprov DKI Jakarta melakukan reklamasi pulau dan membentuk Giant Sea Wall merupakan sebuah cara usang untuk membentuk pertahanan pesisir kota. Pembuatan tanggul dan reklamasi sudah ditinggalkan oleh negara maju termasuk Belanda.

“Di saat pembangunan di Belanda mulai meninggalkan konsep konvensional berupa hard-infrastructure seperti pembuatan tanggul raksasa atau reklamasi pulau, pakar dan konsultan Belanda malah menyarankan pembuatan Giant Sea Wall bagi masalah banjir Jakarta,” kata mahasiswa program Doktoral dari University of Twente, Hero Marhaento dikutip dari Antara.

Saat ini, pertahanan pesisir di Belanda dilakukan dengan cara "sand nourishment" yaitu pembuatan jebakan pasir di wilayah rawan abrasi tanpa membuat tanggul raksasa di tengah laut. Selain itu, upaya mitigasi banjir di Belanda justru dilakukan dengan merobohkan tanggul sungai yang sudah ada dan menggantinya dengan konsep "Room for the River". Dua metode tersebut dianggap jauh lebih murah, lebih efektif dan ramah lingkungan dibandingkan dengan reklamasi pulau dan pembuatan tanggul raksasa.

Apa yang dijabarkan oleh para mahasiswa Indonesia di Belanda ada benarnya. Perkembangan reklamasi di dunia memang lebih banyak dimulai sebelum abad ke-21. Misalnya di Belanda yang memulainya sejak 1962, Singapura sejak 1976, Korsel sejak 1991. Beberapa reklamasi sudah terjadi lebih jauh lagi. Kota Mumbai di India sudah ada kegiatan reklamasi pada 1784, lalu juga ada Selandia Baru yang memulai sejak 1850. Sedangkan reklamasi yang baru dimulai pada abad ke-21 hanya di Bangladesh pada 2010 dan Dubai Uni Emirat Arab sejak 2001. Di Asia, reklamasi juga terjadi di kota-kota di pesisir Cina.

Di Cina, kegiatan reklamasi menjadi kegiatan yang menguntungkan bagi pengembang. Media citymetric.com, dalam tulisan The gift from the sea: through land reclamation, China keeps growing and growing menggambarkan sebuah pengembang bisa mendapatkan keuntungan yang besar dari konsesi reklamasi di Cina.

“Tanah dari reklamasi di laut menghasilkan ruang yang murah untuk kegiatan agrikultur, industri, dan kepentingan urbanisasi,” kata penulis Shanghai New Towns, Harry den Hartog, yang melakukan riset soal reklamasi di Cina untuk Delft University, Belanda.

Pernyataan Harry bukan omong kosong. Senada dengannya, Liu Hongbin, seorang profesor kelautan dari University of China, mengungkapkan kegiatan reklamasi memberikan keuntungan yang berlipat-lipat dari 10-100 kali lipat. Pada Agustus lalu misalnya, tanah reklamasi di Qianhai harganya 1,77 miliar dolar AS. Tanah reklamasi ini disulap jadi kawasan ekonomi khusus yang total keuntungan dari penjualannya mencapai 37,4 miliar dolar AS.

Bangun Murah Jual Miliaran

Selain di Cina, prinsip mendapatkan keuntungan semacam ini berlaku juga di Indonesia. Prinsip pedagang “beli murah jual mahal” diterapkan para pengembang properti reklamasi pantai Jakarta. Seperti dikutip dari kompas.com, Pengembang hanya perlu dana Rp4-10 juta/meter persegi untuk melakukan reklamasi di pesisir Jakarta. Biaya ini jauh lebih murah daripada membeli lahan di Jakarta. Di lahan reklamasi, pengembang hanya akan mendapatkan hak guna usaha/bangunan (HGU/HGB) di atas sertifikat lahan Hak Pengelolaan (HPL) milik Pemda DKI Jakarta.

Berdasarkan zona nilai tanah yang dirilis oleh Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta, harga tanah di kawasan Jakarta Utara bagaikan bumi dengan langit bila dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan pengembang untuk menguruk laut di Teluk Jakarta. Di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) misalnya, harga tanah sudah mencapai Rp24-29 juta/meter persegi. Harga ini sudah 200-500 persen dari harga modal menguruk laut Jakarta.

Nilai tanah yang dirilis Pemprov DKI Jakarta ini masih jauh di bawah harga pasar yang sebenarnya. Harga tanah di kawasan Jakarta Utara di lapangan jauh lebih tinggi, termasuk untuk lahan hasil reklamasi seperti Pantai Mutiara milik pengembang Intiland. Pada tahun lalu, PT Intiland Development Tbk yang memiliki proyek lahan reklamasi Pantai Mutiara menjual lahan buatan mereka dalam rentang Rp 30-40 juta per meter persegi, sedangkan BPN Jakarta mencatat harga lahan di kawasan itu hanya Rp 18-28 juta/meter persegi

“Harga terendah Rp30 juta per meter persegi. Harga tertinggi sekitar Rp40 juta per meter persegi,” kata Corporate Secretary PT Intiland Development Tbk Theresia Rustandi dikutip dari Kompas.

Intiland termasuk pengembang yang mendapatkan konsesi baru untuk membangun pulau buatan seluas 63 hektar yang diberi nama Pulau H. Pulau baru ini bagian dari pengembangan dari pulau reklamasi yang dibangun perseroan sejak era 1980-an seluas 100 hektar yang diberi nama Pantai Mutiara.

Intiland bersama mitranya mengembangkan kondominium mewah Regatta di lahan reklamasi yang pada November 2008 sudah selesai, dilanjutkan Regatta tahap II pada Juni 2014. Berdasarkan laporan keuangan 2014, kontribusi laba kotor Intiland dari penjualan hunian vertikal paling dominan. Dari total laba kotor Rp993,7 miliar, sebanyak Rp491,4 miliar atau hampir 50 persen disumbang dari superblock dan mixed use termasuk kondominium.

Untung Berlipat

Mulai tahun lalu, para pengembang pemegang konsesi mulai melakukan proses reklamasi. PT Kapuk Naga Indah misalnya, anak usaha Agung Sedayu Grup ini sudah membangun Pulau D atau Golf Island di pesisir kawasan Pantai Indah Kapuk. Kini, dari udara bentangan bangunan megah sudah terlihat berjejer di tengah pulau, lengkap dengan fasilitas jembatan megah yang menghubungkan pulau dengan daratan utama Jakarta.

Selain itu, Agung Podomoro Land melalui anak usahanya PT Muara Wisesa Samudra, sedang melakukan proses reklamasi untuk pengembangan Pluit City di Pulau G seluas 155 hektar. Agung Podomoro menyiapkan belanja modal Rp5 triliun tahun lalu di antaranya untuk Pluit City. Pluit City disiapkan jadi kota mandiri baru sebagai properti komersial hingga apartemen. Meski belum dibangun, daftar harga hunian di kawasan pulau reklamasi ini sudah berseliweran di jagad internet.

Mari berhitung. Dari 155 hektare lahan reklamasi, pengembang akan mendapatkan lahan setara 1.550.000 meter persegi. Artinya bila biaya reklamasi dihitung Rp6 juta/meter persegi, maka modal yang harus dikeluarkan pengembang Rp9,3 triliun.

Dikutip dari Antara, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Tuty Kusumawati mengatakan 50 persen lahan hasil reklamasi harus dipakai untuk kepentingan umum. Angka itu datang dari alokasi 20 persen untuk ruang terbuka hijau, 5 persen untuk ruang terbuka biru, area pantai publik 5 persen, 15 persen untuk kontribusi tambahan kepada pemda DKI Jakarta, hingga fasilitas jalan dan sarana umum lainnya. Sehingga lahan bersih yang bisa dikomersialkan pengembang sekitar 50 persen dari total lahan reklamasi, atau sekitar 775.000 meter persegi untuk Pulau G.

Dengan harga jual rata-rata sekitar Rp30 juta/meter persegi, maka pendapatan yang diraup pengembang mencapai Rp23,25 triliun. Padahal, modal pengembang membuat pulau buatan dengan hanya Rp9,3 triliun. Artinya, pengembang akan mengantongi keuntungan 150 persen. Angka ini belum menghitung total luas lahan yang dijual oleh pengembang untuk hunian vertikal yang akan dibangun.

Namun, dari keuntungan besar itu pengembang masih belum rela bila lahan hasil reklamasinya yang bisa dikomersialkan hanya 50 persen. Pemda DKI menghendaki 15 persen lahan reklamasi bisa dipakai untuk membangun rusun, jalan inspeksi dan rumah pompa. Hal ini memunculkan dugaan upaya suap terhadap DPRD DKI terkait rancangan dua Raperda yang sempat dibahas, salah satunya mengatur soal peruntukan lahan reklamasi. Ada keinginan agar alokasi kontribusi tambahan lahan untuk Pemda DKI ditekan hingga 5 persen sesuai Perda tata ruang yang lama.

“Dari tanah yang bisa dijual harus dikasih fasilitas umum dan fasilitas sosial 40-50 persen,” tegas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Membangun lahan reklamasi dengan membentuk pulau buatan sebuah ladang keuntungan yang menggiurkan bagi pengembang. Pengembang akan berupaya memaksimalkan aset yang mereka bangun. Bila perlu meski hanya sejengkal tanah pun bisa dimaksimalkan untuk keuntungannya. Padahal tujuan awal adanya pulau buatan untuk mendukung tanggul “raksasa” di Teluk Jakarta. Konsep reklamasi memang dianggap sudah usang, tapi justru di sini lah ada sumber uang.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti