tirto.id - Gaya hidup modern yang dipengaruhi budaya barat - kini merambah ke Korea; gemar menyantap roti lapis atau pasta, rutin menonton serial Korea sebagai penghilang stres karena beban pekerjaan, mengenakan cropped top terkini, sampai menggunakan bahasa Indonesia “gado-gado” yang bercampur bahasa Inggris, menjadi profil generasi zaman now. Menemukan keindonesiaan dalam profil keseharian mereka menjadi cukup sulit.
Namun, fenomena ini tidak bisa menjadi rumusan bahwa akhirnya generasi zaman now tidak peduli akan keindonesian mereka. Generasi Y dan juga generasi Z, memiliki cara sendiri dalam merefleksikan keindonesiaannya dalam kesehariannya.
“Kata tidak peduli bisa menyesatkan. Kepedulian mereka memang bukan yang nasionalistik, yang harus dihadirkan dengan kehadiran upacara bendera atau mengenal nama pahlawan. Tapi bahwa mereka itu adalah Indonesia, mereka sangat peduli. Namun, pada saat yang sama, generasi sekarang juga nyaman untuk tidak hanya menjadi Indonesia,” ungkap Guru Besar Ilmu Susastra dan Kajian Budaya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Profesor Manneke Budiman.
Menurut Manneke, generasi sekarang sebenarnya tidak "anti" menjadi seorang Indonesia. Tapi generasi mereka juga tidak menutup kemungkinan untuk memiliki paspor negara lain, berdomisili, bekerja, mencari nafkah di negara lain. Tidak harus di Indonesia.
Karena menurutnya, yang global bukan berarti menggantikan. Hanya secara bersamaan, generasi zaman now bisa menjadi Indonesia dan juga masyarakat global. Indonesia pada akhirnya tidak selalu seperti yang kita pelajari dari buku sejarah atau kebiasaan generasi nasionalis sebelumnya.
“Bila generasi tua mengukur keindonesiaan anak muda sekarang dengan standar generasi sebelumnya, hasilnya adalah ketidakpedulian. Tetapi, kalau kita betul-betul mengamati, mereka sangat peduli. Walau bentuk kepeduliannya tidak dengan ekspresi-ekpresi nasionalisme. Kepeduliannya itu, saya Indonesia, tidak harus selalu mereka pamer-pamerkan di manapun mereka pergi,” lanjut Manneke.
Menurut Manneke, Indonesia di masa depan adalah Indonesia yang melebur, yang identitasnya tidak selalu dibawa. Namun ketika diperlukan, generasi mendatang akan dengan tegas, pede, happy menyatakan ya, saya Indonesia.
Generasi sekarang bisa juga bisa sangat kritis dengan Indonesia. Tapi kekritisan itu bukan kebencian. Manneke menyebutkan, ada generasi eksil yang sangat kritis, tapi kekritisannya dimotivasi oleh kebencian dan sakit hati masa lampau. Tapi itu tidak terjadi pada anak muda sekarang yang kritis. Dan bagi Manneke kekritisan itu adalah bentuk kepedulian mereka.
Kalaupun pada akhirnya ada generasi sekarang yang hanya menganggap negara hanya berfungsi sebagai tenpat pemenuhan administrasi seperti KTP, pelaporan pajak dan sebagainya, semua itu disebabkan karena pendidikan tentang negara yang salah. Karena selama ini tidak mengajarkan negara dan bangsa itu sebagai diri mereka sendiri.
“Seharusnya sejak kecil diajarkan bahwa negara dan bangsa itu saya. Sehingga mereka dapat mengeksplorasi nation state dengan pengalaman subyektif mereka, bukan dari normatif yang diajarkan di sekolah. Misalnya, betapa susahnya mencari uang, betapa macetnya dari kantor ke rumah, betapa senangnya momen mudik dan bertemu keluarga, makan dengan teman-teman - itu Indonesia.”
Kesalahan terbesarnya menurut Manneke dalam mengajarkan negara bangsa adalah bahwa negara menjadi entitas yang sangat powerful - kepada siapa kita bergantung. “Sehingga saat ada pengalaman buruk, generasi sekarang menjadi tidak punya imaji akan negara yang positif."
"Tapi di sisi lain, mereka juga bisa melihat Indonesia di kakek, di asisten rumah tangga, di tetangga, bukan Indonesia dari sisi kantor kelurahan atau polisi korup.”
Generasi sekarang yang tinggal di luar negeri lama, mungkin malas berbahasa Indonesia, tapi menurut Manneke, ada yang mengikat mereka tentang Indonesia seperti teman kecil atau keluarga. Hal inilah yang membuat mereka tidak bisa melepaskan diri dari Indonesia. Tidak seperti KTP atau paspor yang bisa mereka ganti kapan pun mereka mau.
Cerita Generasi Zaman Now
Jonathan Noga Soeitoe (26) adalah seorang anak muda Indonesia yang bekerja sebagai Assistant Research Analyst di London Stock Exchange Group (LSEG) di Malaysia. Jonathan bercerita, setelah lulus kuliah S1, ia pernah 6 bulan bekerja di Jakarta dan naik bus tiap hari dari rumahnya di Bekasi. “Di bis saya bertemu orang yang sama setiap hari, lama-lama kami bisa ngobrol dan menjadi teman.”
Menurutnya, hal itu sangat berbeda dengan karakter orang Malaysia yang sibuk dengan kegiatan masing-masing saat berada di trasportasi umum. “Ya, kehidupan seperti inilah Indonesia. Meski stres akan pekerjaan, namun sapaan dari orang-orang ini yang memberikan semangat.”
Pengalaman tinggal jauh dari Indonesia sejak tahun 2013 saat kuliah dan kemudian bekerja di Malaysia membuat ia rindu suasana khas Indonesia. “Makanan Indonesia memang beberapa ada di sini. Namun suasana street food dan kebiasaan orang bisa nongkrong berjam-jam dengan nyaman itu yang tidak ada di sini,” ungkap pria lulusan S2 Communication & Media Studies ini.
Pengalaman yang hampir sama tentang keindonesiaan dirasakan oleh Julian Kandi (28). Pria yang berprofesi sebagai Tim Kreator Manajemen Tiktok ini, lahir di Tangerang, ibunya berasal dari Banjarmasin, dan ayahnya dari Betawi. “Dari kecil saya sudah terbiasa dengan adat dan kebiasaan yang berbeda, kemudian saya kuliah di Malang, Jawa Timur.”
Setahun pertama, ia masih belum bisa berbahasa Jawa, dan teman-temannya di Malang saat itu mau mengalihbahasakan obrolan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Awalnya, ia cukup senang dengan itu. Namun dii tahun kedua, ia kemudian merasa perlu belajar bahasa Jawa karena ia tinggal di sana dan perlu berbaur dengan masyarakat sekitar.
Selama 4 tahun kuliah di Malang, hal yang membuatnya cukup kagum adalah budaya menghormati orang yang lebih tua. Ia bercerita pernah menanyakan alamat pada seorang satpam dengan posisi masih di atas motor dan motor belum dimatikan. “Ternyata menurut orang Jawa hal itu tidak sopan dan tidak menghormati orang lain. Seharusnya, kita perlu mematikan motor, turun dan baru bertanya. Menurut saya, budaya seperti ini patut dilestarikan, tidak hanya di Jawa saja, tapi di semua tempat saya rasa,” ungkap pria penggemar sushi ini.
Pengalaman terhubung dengan Indonesia juga dirasakan Agnes Gracia Quita (28). Perempuan yang berprofesi sebegai dosen dan peneliti Universitas Atmajaya Yogyakarta ini kini tengah melanjutkan pendidikan di Taiwan. Menurutnya, ia merasa terhubung dengan Indonesia justru dari hal-hal sederhana ketika mencari kuliner di sana dan merindukan bumbu masakan Indonesia yang kaya rempah. Begitu pula ketika ia merasa nyaman dengan toilet Indonesia yang menyediakan air pembasuh, sementara di Taiwan, ia jarang menemukan toilet seperti di Indonesia.
“Saat berbicara mengenai standar norma sosial, bangsa Indonesia lebih adaptif, bisa menerima dan menghormati kultur lain, sekaligus secara bersamaan konservatif terhadap diri sendiri, ini sungguh unik. Nilai kekeluargaan juga tidak lepas dari budaya Indonesia, sehingga orang asing memberi label kita bangsa yang ramah dan ceriwis ini cukup bagus. Nilai ini patut dilekatkan di tiap generasi,” ungkapnya.
Sisca Andiny (26), seorang desainer grafis di Jakarta, punya cerita lain. Ia merasa terhubung dengan Indonesia justru saat ia menonton konser musik dan fashion show. “Saat mendengarkan lagu Indonesia Raya di pembukaaan konser musik atau fashion show, saya merasakan tubuh saya merinding mendengar ketika semua penonton berdiri bersama-sama menyanyikan lagu tersebut,” jelas perempuan penyuka film Korea dan Thailand ini.
Saat akhirnya ada pengulangan hari besar nasional tiap tahunnya, tidak salah bila kemudian ada wacana perayaan. Namun sulit untuk mengharapkan dampak nasionalisme seperti zaman revolusi dulu pada generasi zaman now.
“Karena ke depannya, yang penting adalah menciptakan peluang dan sarana seluas mungkin sehingga setiap individu bisa mengalami keindonesianya sendiri tanpa didikte,” tutup Manneke.
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi