tirto.id - Kementerian Transportasi Jerman mengimbau Opel untuk menarik sekitar 100 ribu produk mobil bermesin diesel. Otoritas kendaraan bermotor Jerman Kraftfahrt-Bundesamt (KBA) menemukan indikasi kecurangan emisi bahan bakar dari mesin diesel mobil Opel.
KBA menuding Opel memasang empat perangkat lunak khusus pada sistem elektronik Opel Cascada, Insignia, dan Zafira untuk memanipulasi nilai emisi bahan bakar. Jika dibiarkan, mobil-mobil tersebut bakal meniupkan racun yang berbahaya buat lingkungan.
Masalah ini masih dalam tahap penyelidikan oleh Kejaksaan Jerman untuk mengumpulkan bukti-bukti. Juru Bicara Kejaksaan Jerman Nadja Niesen menjelaskan, tim investigator mencurigai perangkat lunak tersebut dimanfaatkan buat mematikan pengendali emisi di kecepatan dan temperatur mesin tertentu.
Sanggahan datang dari pihak Opel yang bersikeras bahwa tidak ada upaya untuk memanipulasi emisi dengan perangkat lunak. Mereka akan berupaya untuk menampik tuduhan tersebut.
“Perusahaan (Opel) sangat kooperatif dengan otoritas. Perusahaan menegaskan bahwa mobil-mobil (Opel) memenuhi regulasi yang berlaku.” Bunyi pernyataan Opel yang diterbitkanNew York Times.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari PSA, induk perusahaan yang mengakuisisi Opel dari General Motors (GM) pada 2017 lalu. Mereka hanya mengamini ihwal kedatangan tim penyidik dari kejaksaan ke pabrik perakitan milik PSA di Kaiserlautern dan Russelheim.
Namun, Opel dibayangi masalah besar seperti halnya skandal dieselgate yang meruntuhkan kredibilitas Volkswagen (VW). Demi menghindari masalah lebih pelik, Kementerian Transportasi Jerman meminta Opel untuk segera melakukan recall atau penarikan unit-unit kendaraan yang sudah di tangan konsumen.
Di Balik Upaya Recall
Recall atau juga disebut update produk dilakukan untuk menghindari masalah yang berbahaya untuk kendaraan dan pemiliknya. Pemeriksaan dan perbaikan harus dilakukan untuk semua kendaraan yang diduga mengalami masalah. Karena itu jumlah produk yang terkena recall bisa mencapai ribuan bahkan jutaan unit.
Situs berita otomotif Jalopnik mencatat beberapa program recall terbesar yang dilakukan pabrikan mobil. Pada 2014, Honda harus menangani 5,4 juta produknya di seluruh dunia karena masalah kantong udara (airbag) merek Takata. Masalah yang sama juga menimpa Toyota, BMW, dan beberapa pabrikan lain yang menggunakan kantong udara Takata.
Pada 2009, sebanyak 4,4 juta mobil Toyota, antara lain Camry dan Priusdi-recall. Toyota mendapati masalah pedal gas yang riskan tersangkut di karpet lantai kabin sehingga berisiko membuat pengemudi kehilangan kendali.
General Motors (GM) mempertanggungjawabkan masalah switch starter pada 5,8 juta unit mobil Chevrolet Malibu, Pontiac Grand AM, dan Oldsmobile Alero pada 2014. Kekacauan pada switch starter bisa menon-aktifkan sensor kantung udara, serta mengubah mode berkendara sehingga pengemudi berisiko kehilangan kendali.
Recall besar-besaran pernah pula dilaksanakan oleh Ford karena masalah switch penonaktifan cruise control pada 4,5 juta unit produk truk, SUV, dan van. Switch tersebut riskan mengalami overheat yang dapat memicu kemunculan percikan api. Sebelumnya pada 2005 Ford juga melakukan recall karena masalah yang sama.
Belakangan ini, manufaktur kendaraan di Indonesia juga melakukan recall produknya. Honda Prospect Motor (HPM) tercatat cukup rajin memanggil konsumennya untuk mendapat perbaikan mobil.
Pada Februrari 2018, HPM memperbaiki switch spion Honda Accord dan Honda Oddysey tahun produksi 2013-2017 karena rentan bermasalah, membuat spion melipat saat mobil melaju.
Selanjutnya pada Maret, HPM mengumumkan perbaikan master rem untuk Honda Mobilio, Brio, Jazz, HR-V, dan BR-V. Ada lebih dari 450 ribu mobil yang termasuk dalam program tersebut. Pabrikan berlogo “H” pun melakukan recall secara berkala sejak 2017 buat menangani masalah kantung udara pada Honda Jazz, Freed, Oddysey, dan Accord. Belum lama ini, HPM juga me-recall Honda Freed (2014-2016) dan Honda Jazz (2014) sebanyak17.286 unit untuk penggantian komponen airbag inflator sisi penumpang depan
Direktur Pemasaran dan Purnajual PT HPM Jonfis Fandy, upaya recall adalah perwujudan tanggung jawab perusahaan untuk menjamin keselamatan konsumen. Jika tidak dilakukan dengan benar, kepercayaan konsumen bisa jadi taruhan.
"Kampanye ini kami lakukan sebagai bentuk tanggung jawab kami kepada konsumen. Konsumen yang kendaraannya terdampak berhak mendapatkan penggantian komponen untuk memastikan kendaraannya berada pada standar keselamatan dan kualitas yang tertinggi," kata Jonfis dikutip Antara.
Recall Tanggung Jawab Siapa?
Meningkatnya intensitas recall oleh pabrikan kendaraan, mengutip Telegraph, bukan berarti kualitas kendaraan menurun atau menjadi aib. Justru, hal itu mengindikasikan produsen semakin proaktif menginspeksi kualitas produknya.
Selain itu, program recall tidak melulu soal kepekaan manufaktur menanggapi keluhan masalah dari konsumen. Keberadaan lembaga pemerintahan yang bertugas mengawasi kualitas kendaraan juga dapat mendorong manufaktur untuk mengantisipasi setiap potensi masalah keselamatan produk kendaraan yang beredar di pasar.
Di Amerika Serikat, aduan mengenai kualitas kendaraan bisa disampaikan pemilik kepada National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA)—lembaga di bawah Kementerian Transportasi AS. NHTSA punya wewenang untuk mendesak pabrikan kendaraan buat melakukan recall jika ditemukan masalah serius.
Mengutip laman resmi NHTSA, jika menemukan masalah yang berhubungan dengan keselamatan, pemilik kendaraan diimbau melapor ke NHTSA. Bertolak dari laporan-laporan yang masuk, NHTSA segera menginvestigasi masalah pada mobil. Jika terbukti mobil bermasalah karena kesalahan produksi, pabrikan harus me-recall produk terdampak.
Di Inggris Raya, ada lembaga Driver and Vehicle Standard Agency (DVSA) yang juga mengurusi keluhan konsumen soal kualitas kendaraan. Selanjutnya DVSA mengirim laporan ke Driver and Vehicle Licensing Agency (DVLA) untuk kemudian disampaikan kepada pihak pabrikan kendaraan untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Sayangnya, lembaga semacam NHTSA dan DVSA belum ada di Indonesia. Karena itu tidak ada lembaga yang mengawasi masalah-masalah kendaraan dan mendesak pabrikan buat memperbaiki produknya. Recall sepenuhnya bergantung pada inisiatif manufaktur.
"Negara belum punya badan recall. Pengertian recall itu saja juga belum jelas. Kalau di luar negeri ada badannya. Kalau di kita namanya program update (PUD), kalau ada badan resmi itu dikatakan recall," ujar Jonfis.
Namun, terlepas dari ketiadaan badan yang menangani recall ini, justru jadi kesempatan bagi pabrikan untuk membangun citra mereka kepada konsumen, soal kepedulian keselamatan para konsumennya. Kini, keputusan recall bukanlah aib bila pabrikan lihai mengelolanya.
Editor: Suhendra