tirto.id - Ratusan Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan mosi tidak percaya kepada Wakil Rektor Bidang Perencanaan Keuangan dan Sistem Informasi, serta Direktur Keuangan UGM atas sistem potongan pajak penghasilan yang dinilai tidak transparan.
Salah seorang dosen yang menyatakan mosi tidak percaya adalah Sigit Riyanto. Dekan Fakultas Hukum UGM ini menyebut kebijakan universitas dalam melakukan pemotongan pajak penghasilan meresahkan, sehingga akhirnya muncul mosi tidak percaya.
"Keresahannya adalah bapak ibu dosen ingin membayar kewajibannya sebagai wajib pajak, tapi sistem pemotongan maupun kebijakan tidak menunjukkan bahwa yang dilakukan sesuai peraturan," kata Sigit saat dihubungi reporter Tirto, Senin (15/7/2019).
Selain itu, kata Sigit, ada inkonsistensi dalam sistem pemotongan pajak maupun instrumen kebijakan lainnya. Sehingga, ia menilai hal itu tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
"Ada inkonsistensi baik di dalam sistem pemotongannya atau informasi yang disampaikan. Misalnya antara bulan Januari sampai Mei bapak ibu dosen tidak dipotong pajaknya, tapi tiba-tiba bulan Juni itu mendapatkan pemotongan sangat tinggi ada yang 68 persen," ujarnya.
Padahal sesuai aturan, Sigit mengatakan, potongan pajak penghasilan dalam satu tahun ada tingkatannya sesuai dengan jumlah penghasilan. Artinya, penghasilan seseorang itu tidak otomatis bisa dipotong berapa persen, tapi harus diakumulasikan penghasilannya dalam satu tahun.
Oleh karena itu, ia menilai kebijakan yang berlaku di UGM tidak sesuai aturan. "Itu kan kebijakan yang enggak sesuai dengan ketentuan perpajakan. Kedua tidak ada sosialisasi, makanya menimbulkan keresahan. Selama itu ada persetujuan ada sosialisasi itu konsisten, saya kira tidak ada masalah," ujarnya.
Atas persoalan itu, setidaknya ada 108 dosen UGM termasuk Sigit menyatakan mosi tidak percaya. Surat mosi tidak percaya tersebut sudah dilayangkan sejak Maret 2019 dan telah melakukan pelaporan ke Ombudsman RI atas persoalan itu.
Dengan adanya surat mosi tidak percaya itu, Sigit berharap ada kebijakan perpajakan yang sesuai aturan dan adil bagi dosen UGM.
"Lalu ada sosialsisasi yang tepat waktu dan komprehensif. Kemudian didukung instrumen pendukung informasi yang memberi kejelasan semua warga UGM," katanya.
Tanggapan Ombudsman
Koordinator Bidang Pemeriksaan Verifikasi Laporan Ombudsman Perwakilan DIY, Jaka Susila Wahyuana, telah mendatangi pihak Rektorat UGM untuk meminta klarifikasi atas adanya laporan dari dosen UGM terkait kebijakan pemotongan pajak yang dinilai tidak transparan.
"Nanti hasil klarifikasi dari UGM kita akan membuat kesimpulan akhirnya seperti apa. Kami harus lihat dari regulasi sepeti apa, dan besok kita akan meminta informasi ke kantor pajak di Sleman," kata Jaka saat ditemui usai pertemuan dengan pihak Rektorat UGM.
Sementara itu, Direktur Keuangan UGM Syaiful Ali menerangkan bahwa sebenarnya isu mendasar dari masalah pajak ini adalah status UGM sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) yang menjadi subjek pajak.
"Jadi kalau di lihat ada UU PPh no 36 tahun 2008 dan ditambah surat edaran Dirjen Pajak nomor 34 tahun 2017 itu mengukuhkan PTNBH sebagai subjek pajak badan. Subjek pajak badan itu implikasinya adalah atas penghasilan yang diberikan oleh UGM kepada karyawan UGM atau staf UGM akan dikenakan pajak yang sifatnya progresif," jelasnya.
Ia mencontohkan, jika penghasilan akumulasi selama satu tahun berjumlah Rp800 juta, maka akan dihitung pajak progresif. Rp200 juta pertama dikenakan pajak 15 persen, Rp200 juta kedua 25 persen, dan sisanya 30 persen.
"Itu tidak akan ada pajak 60 persen. Itu tidak mungkin. Maksimal 30 persen di akhir total setahun," katanya saat ditemui di UGM Yogyakarta.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Alexander Haryanto