tirto.id - Beberapa waktu lalu, lewat unggahan sebuah video, kelompok yang mengatasnamakan Klibur Estudante Progresivu (Perhimpunan Mahasiswa Progresif Timor Leste) mengeluarkan pernyataan sikap sekaligus dukungan kepada masyarakat Papua.
Dalam video tersebut, terdapat kurang lebih 20 orang memegang bendera bintang kejora dan beberapa karton bertuliskan seruan dukungan. Salah satu lelaki dalam video mengecam tindakan kekerasan aparat dan mendukung Papua merdeka.
“Pernyataan sikap bahwa insiden yang terjadi di Surabaya dan Malang yang melibatkan mahasiswa dan mahasiswi Papua yang bertepatan dengan suasana hari kemerdekaan NKRI ke-74,” kata lelaki dalam video. “Maka, kami menyampaikan sikap politik bahwa kami mengutuk tindakan represif dan rasis dari aparat TNI/Polri, dan ormas sipil, yang reaksioner terhadap mahasiswi dan mahasiswa Papua, dengan kata ‘monyet.’ Hentikan intimidasi terhadap orang Papua.”
Sekretaris Jenderal KEP, Adriano da Costa Freitas, membenarkan aksi tersebut dilakukan oleh pihaknya. Aksi dilakukan pada Kamis (22/8/2019).
“Betul. Itu video kami. Jadi solidaritas, dari rakyat Timor Leste, kepada rakyat Papua terkait dengan permasalahan yang dialami rakyat Papua,” ungkapnya ketika dihubungi wartawan Tirto, Sabtu (24/8/2019) malam.
Banjir Darah sejak 1975
Pada 7 Desember 1975, Indonesia menyerbu sebuah wilayah sebelah timur pulau Timor, kurang dari dua minggu setelah bekas koloni Portugal itu menyatakan kemerdekaan. Nama resmi invasi tersebut adalah Operasi Seroja.
Pada Juli 1976, Indonesia meresmikan Timor Portugis sebagai provinsi ke-27 berkat dukungan Australia dan Amerika Serikat yang juga menyokong aneksasi sejak awal. Namanya pun diganti dengan “Timor Timur”.
Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (Fretilin), satu dari tiga faksi politik besar di Timor Leste yang berhaluan kiri, memproklamasikan kemerdekaan hanya kurang dari dua minggu sebelum invasi. Jusuf Wanandi, salah satu pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), dalam bukunya berjudul Menyibak Tabir Orde Baru (2014), menyebutkan bahwa aksi Fretilin membuat Indonesia berang. Amerika Serikat sendiri memberikan lampu hijau dan bantuan untuk invasi karena takut Timor Timur menjadi negara komunis.
Sebelumnya, masih mengutip catatan Wanandi, posisi petinggi militer Indonesia terhadap isu Timor Leste belum satu suara. Ali Moertopo, misalnya, menginginkan solusi damai. Benny Moerdani serta kelompok intelijen berpandangan bahwa kasus Timor Leste harus ditanggapi dengan operasi intelijen. Sementara Presiden Soeharto disebut-sebut menyangsikan perlunya aksi militer untuk Timor Leste.
Dampak invasi itu sangat besar dan berdarah-darah. Laporan Commission for Reception, Truth, and Reconciliation (CAVR) menyebutkan korban tewas sejak invasi sampai operasi-operasi militer hingga 1980-an mencapai sekitar lebih dari 100 ribu orang. Sebanyak 18 ribu orang dibunuh atau dihilangkan dan 80 ribu lainnya mati kelaparan atau sakit parah.
Pendudukan Indonesia di Timor Timur berakhir pada 1999. Setelah muncul desakan dari dunia internasional yang terbuka matanya akibat pembantaian di Santa Cruz (1991), referendum pun digelar. Sebanyak 78,5 persen penduduk Timor Timor memilih merdeka.
Nasionalisme Dipaksakan, Nepotisme Digalakkan
Dalam “Imagining East Timor” yang terbit di Arena Magazine (1993), ahli Indonesia dari Cornell University sekaligus penulis Imagined Community (1983) Benedict Anderson berpendapat bahwa hubungan Indonesia-Timor Leste adalah hubungan antara penjajah dan orang-orang terjajah. Relasi itu, catat Anderson, menyuburkan nasionalisme Timor Leste, seperti halnya nasionalisme Indonesia yang lahir sebagai imbas kolonialisme Belanda.
Kesalahan Indonesia, menurut Anderson, adalah memaksakan Timor Leste untuk jadi ‘Indonesia’. Para pejabat di Jakarta masih memegang keyakinan bahwa seluruh bekas jajahan Belanda harus bersatu dalam Republik Indonesia. Problemnya: Timor Leste adalah bekas jajahan Portugal.
Di sisi lain, salah satu narasi besar dalam proses pembentukan bangsa (nation-building) Indonesia adalah bahwa Indonesia didirikan di atas kekuasaan teritorial kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Pandangan yang dipelihara para pejabat Jakarta itu justru membuat mereka gagal memahami masyarakat Timor Leste—yang mereka klaim sebagai ‘orang Indonesia’.
Sejak itu penduduk Timor Timur menjadi warganegara Indonesia. Di sisi lain, muncul ucapan dan tindakan rasis terhadap orang-orang Timor Leste yang merantau ke wilayah lain di Indonesia. Anderson mencontohkan bahwa dalam pergaulan sosial, orang-orang Timor Leste di Indonesia kerap kali dituding "tidak tahu berterima kasih" atas apa yang telah diberikan oleh Indonesia.
“Frasa ‘tidak tahu berterima kasih’ adalah tuduhan tipikal yang keluar dari mulut pejabat kolonial Belanda. ‘Lihat semua yang telah kami lakukan untuk kalian di bidang keamanan, pendidikan, pembangunan ekonomi, dan peradaban’," Bahasa yang mereka pakai, lanjut Anderson, adalah bahasa yang menunjukkan posisi seolah superior. Hal semacam ini lekat dengan rasisme dan memperlihatkan kegagalan 'mengindonesiakan' orang-orang Timor Leste".
Problemnya memang muncul sejak tentara Indonesia menginjakkan kaki di Timor Leste. Jika Timor Timur memang, mengutip ungkapan Anderson, ‘saudara sekandung Indonesia’, sehingga rela bergabung bersama Indonesia, lalu untuk apa operasi militer dilakukan?
Praktik-praktik administrasi sipil indonesia di Timor Leste pun sekadar melanjutkan apa yang kebijakan negara pasca-pembantaian 1965-66 di mana setiap warganegara diwajibkan mencantumkan agama di KTP. Pada 1975, mayoritas masyarakat Timor menganut agama lokal. Ketika pemerintahan sipil bentukan Jakarta berdiri, muncullah kebijakan yang memaksa penduduk setempat menganut salah satu dari lima agama yang diakui di Indonesia. Yang dipilih kemudian adalah Katolik.
Di sisi lain, tulis Anderson, Jakarta juga mengkhawatirkan sikap Gereja Katolik Roma yang bersikeras untuk berurusan langsung dengan Timor Timur—dengan kata lain, melewati hierarki Katolik Indonesia yang serba kompromis.
“Jadi, rezim Indonesia ingin agar agama Katolik tersebar luas sekaligus mencurigainya. Dalam tujuh belas tahun terakhir, populasi Katolik di wilayah itu bertambah lebih dari dua kali lipat,” imbuh Anderson.
Kampanye pembangunan di seluruh Indonesia sejak Soeharto berkuasa juga berlangsung di Timor Leste. Propaganda pemerintah, mengutip laporan BBC berjudul "East Timor's Brave New World" (5/11/1999), "memastikan bahwa orang Timor dianggap sebagai warga negara kelas dua yang tak tahu diuntung, orang setengah biadab yang perlu diberadabkan seperti halnya orang Irian—karena jika tidak, mereka akan saling menghabisi satu sama lain".
Selama menduduki Timor Leste, pemerintah indonesia menggelontorkan banyak uang ke Timor Leste yang digunakan untuk pembiayaan pasukan, pembangunan jalan, hingga pendirian sekolah dan puskesmas. Hasilnya: tingkat melek huruf meningkat secara drastis dan banyak pemuda Timor Leste kuliah di Indonesia.
Tapi, implementasi kebijakan jauh dari yang dicita-citakan. Banyak puskesmas, misalnya, tidak dapat berfungsi maksimal. Militer, keluarga dan kroni Soeharto juga mengontrol industri paling basah di Timor Leste, yakni kopi.
Dalam Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga Istana, Tangsi dan Partai Penguasa (2007, hlm. 125-126), peneliti George Junus Aditjondro mencatat sebanyak setengah juta hektar lebih tanah di Timor Timur dikuasai oleh Soeharto. Sekitar 50 ribu hektar di antaranya dikuasai oleh Bob Hasan, rekan bisnis Soeharto, untuk perkebunan kayu. Puluhan ribu lainnya jadi perkebunan teh di bawah kontrol anak-anak Cendana. Tutut, masih menurut laporan Aditjondro, "memonopoli produksi dan ekspor kopi Timor Leste melalui sebuah perusahaan di Dili."
Konglomerasi bisnis bernama Batara Indra yang disokong purnawirawan Jenderal Benny Moerdani dan Dading Kalbudi juga disebut-sebut Aditjondro menguasai hutan kayu cendana di Timor Leste, dan memiliki "sebagian besar hotel dan satu-satunya bioskop di Dili."
Tapi, borok Orde Baru di Timor Leste akhirnya terbongkar juga. Si pembongkar tak berasal dari Australia, Amerika Serikat, atau Belanda, melainkan sekelompok peneliti dari Pusat Penelitian Desa dan Pembangunan Daerah Universitas Gadjah Mada (UGM). Prof. Dr. Mubyarto, yang saat itu sudah dikenal sebagai penggagas "ekonomi Pancasila", memimpin tim tersebut.
Pada 1981 dan 1989, tim peneliti UGM berkunjung ke Timor Leste untuk melakukan sebuah riset yang dibiayai oleh Bank Indonesia untuk mengetahui sebab-sebab mengapa masyarakat Timor Leste dipandang "tidak kooperatif, apatis, dan selalu curiga".
Hasil penelitian dirilis sebulan setelah pembunuhan ratusan pemuda di Pemakaman Santa Cruz pada November 1991. Sebagaimana yang dikutip studi Douglas Kammen bertajuk "Progress and propaganda
in Timor-Leste: Visions of the future in comparative historical perspective" (PDF, 2018), laporan itu menyebutkan bahwa integrasi paksa Timor Leste ke Indonesia telah gagal menyelesaikan berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik di dalamnya.
Kammen menyebut laporan tim peneliti berhasil "menguak betapa kosongnya propaganda Indonesia tentang kemajuan [di Timor Leste]".
Para peneliti UGM mengidentifikasi dua alasan mendasar terciptanya keterasingan di antara orang-orang Timor Leste. Pertama, pendudukan militer. Kedua, penyingkiran kelompok-kelompok sosial inti dalam masyarakat Timor Leste dari partisipasi sosial dan politik,. Kelompok-kelompok ini meliputi pemuka agama, tokoh masyarakat, anak-anak muda berpendidikan, hingga Gereja Katolik.
Kedua faktor tersebut, tulis tim peneliti, berdampak pada "trauma" dan "gegar budaya" di masyarakat Timor Leste.
Pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan eksploitasi puluhan tahun itu berakhir ketika 78,5 persen rakyat Timor Leste yang memilih merdeka dari Indonesia. Pilihan itu pun bahkan masih harus dibayar dengan harga yang sangat mahal dengan aksi bumi hangus oleh tentara dan milisi-milisi pro-Indonesia pasca-referendum.
Editor: Windu Jusuf