tirto.id - Didit setiap pagi punya kebiasaan, hal pertama yang menyentuh bibirnya bukan segelas air atau makanan, melainkan sebatang rokok.
“Nggak enaklah, kalau pagi-pagi belom ngerokok.”
Sepanjang hari, hampir dua lusin rokok ia habiskan saat mengisi waktu rehat bekerja, selepas makan, atau berbincang dengan kawan lainnya. Semakin panjang durasi saat berbincang, semakin banyak nikotin yang dikonsumsinya. Ia sempat berniat berhenti merokok sejenak atau bahkan total.
“Dulu sih kepikiran sekali dua kali buat berhenti, tapi selalu gagal. Kalaupun gue lagi sakit tenggorokan atau batuk, biasanya gue cuma ganti dari rokok putih ke rokok kretek. Yang penting harus ngerokok, deh,” jawabnya.
Bagaimana saat bulan puasa? ia mengatakan bahwa dibanding makanan atau minuman, rokoklah yang paling sering membuatnya puasanya tidak penuh. Orang seperti Didit sudah kecanduan dengan rokok, dan tentu bukan tanpa sebab.
Zat nikotin yang dikandung dalam rokok memang disebut sebagai pemicu kecanduan para perokok yang levelnya bisa berbeda-beda pada setiap individu. Melepaskan kecanduan rokok memang bukan perkara membalikkan telapak tangan, apalagi buat mereka yang telah lebih dari setahun memiliki kebiasaan yang berefek kepada kesehatan tubuh dan psikologis ini. Sebagian pecandu rokok memilih pergi ke terapis untuk membantu mereka menyetop ketergantungan merokok.
Dilansir Gulf Times, Hamad Medical Corporation (HMC)'s Smoking Cessation Clinic di Doha, Qatar, menerima ratusan pasien baru setiap Ramadan tiba. Dr. Ahmad al-Mulla yang mengepalai klinik tersebut menyatakan, “Berpuasa pada bulan Ramadan merupakan kesempatan ideal bagi para pecandu yang ingin berhenti sehingga jumlah orang yang mengunjungi klinik kami pada saat-saat seperti ini jauh lebih besar dari bulan lainnya.”
Klinik-klinik seperti HMC menyediakan berbagai alternatif untuk menggantikan konsumsi nikotin para pecandu rokok. Tidak hanya itu, mereka juga menyuguhkan strategi-strategi yang bisa dilakukan pasien-pasien untuk menghadapi gejala psikologis maupun fisik yang kerap kali membuat mereka tidak tahan untuk kembali merokok.
American Psychological Association (APA) mendefinisikan kecanduan sebagai gangguan kronis yang perkembangannya dipengaruhi oleh faktor biologis, psikologis, sosial, dan lingkungan. Faktor yang paling besar memengaruhi kecanduan adalah faktor genetis. Pendorong tingginya level kecanduan lainnya adalah stres, pengalaman traumatis, penggunaan zat tertentu oleh keluarga atau teman-teman dekat, serta kemudahan akses mendapatkan barang yang membuat seseorang kecanduan. Tidak jarang ditemukan dalam kasus kecanduan perubahan pada kemampuan otak seseorang.
Dokter dan hipnoterapis di Klinik Hipnoterapi Rumah Jati Sehat, Solo, Jiemy Ardian mengungkapkan, “Dalam kasus kecanduan kronis, ada beberapa struktur otak yang rusak dan beberapa saraf yang tidak berfungsi lagi. Kemampuan regulasi emosi pun memburuk, seorang pecandu menjadi lebih sulit menahan diri dan rentan depresi.”
Kecanduan ini menurut Jiemy dapat menjadi suatu gangguan mental ketika terjadi berkepanjangan dan mengganggu aktivitas sehari-hari seseorang. Tidak hanya dirinya sendiri yang akan mengalami konsekuensi negatif dari suatu gangguan mental, tetapi juga lingkungan sekitarnya seperti keluarga, teman-teman, dan orang-orang di tempat kerja atau sekolah.
Saat menjalani puasa, tidak jarang pecandu rokok yang melakukan ‘balas dendam’ dengan mengonsumsi nikotin lebih banyak pada rentang waktu selepas magrib hingga menjelang sahur. Hal ini disebabkan oleh adanya keinginan begitu besar yang tertanam di otaknya untuk mengakses sumber candu tersebut saat siang hari.
“Jauh sebelum jam berbuka puasa, seorang pecandu sudah merencanakan untuk kembali merokok, lantas hal itu dilakukan secara berlebihan atau dikatakan semacam balas dendam setelah belasan jam pantang merokok. Seandainya rencana itu dilemahkan dalam pikiran, seorang pecandu tidak akan terlalu ngebet untuk merokok,” jelas Jiemy.
Alumnus Universitas Sebelas Maret, Solo, ini juga menjelaskan bahwa dorongan untuk merokok hanya aktivitas mental yang sebenarnya masih sangat mungkin untuk dikendalikan. Dorongan tersebut pada akhirnya berubah menjadi suatu kecanduan lantaran seseorang tidak membiasakan diri untuk mengontrol perasaan dan pikirannya sendiri.
Jiemy menuturkan, “Perlu disadari oleh para pecandu yang ingin mengurangi atau berhenti dari kebiasaan merokok bahwa kecanduan yang mereka alami hanya sebatas dorongan saja, bukan kenyataan yang mesti selalu dipenuhi."
Salah satu cara yang bisa dilakukan pecandu untuk mengontrol pikiran adalah bertanya kepada diri sendiri, benarkah saya butuh merokok? Apakah ketidaknyamanan bila tidak merokok setelah makan itu benar-benar nyata?
"Intinya, semakin sering seorang pecandu bereksplorasi dan mempertanyakan kembali tentang kecanduannya, semakin mungkin ia terlepas dari kecanduan itu.”
Dari pengalamannya menangani pasien-pasien kecanduan, Jiemy melihat memang terdapat sejumlah kendala fisik dan psikologis yang menyerang mereka. “Biasanya muncul rasa cemas, jantung berdebar-debar, sampai nyeri kepala. Hal-hal seperti ini bertahan selama beberapa hari setelah putus dari pengaruh nikotin,” papar Jiemy.
Setelah fase ini, tubuh tidak akan lagi membutuhkan asupan nikotin sebagaimana sebelumnya dirasakan pecandu. Biasanya pengaruh rokok hilang sepenuhnya dalam sebulan.
"Nah, kalau seseorang memang ingin melepaskan diri dari ketergantungan rokok, dia bisa memanfaatkan bulan puasa ini untuk latihan mengontrol pikiran dan perasaan ingin merokoknya."
Caranya, menurut Jiemy bisa dengan mengalihkan kecanduan rokok dengan mencari hal lain sebagai substitusi, atau bisa juga mencari aktivitas lain pada waktu-waktu yang biasanya diisi dengan merokok. Misalnya, setelah makan, seorang pecandu mesti dengan sengaja mencari hal-hal baru di luar kebiasaannya merokok. Lalu yang penting juga berusaha menjauhkan diri dari situasi atau lingkungan yang mendukungnya untuk merokok.
Apakah Anda yang siap berhenti jadi pecandu rokok saat ini?
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Suhendra