tirto.id - Jika dulu kita mesti menyiapkan mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat, sebelum berwisata ke luar negeri, kelak kebiasaan merepotkan itu tak lagi diperlukan.
Teknologi QR (Quick Response) Code mendisrupsi pembayaran antar-negara, dan lalu-lintas devisa. QR Code merupakan salah satu jenis kode matriks atau kode batang dua dimensi. Dengan memanfaatkan alat pemindai, informasi tertentu bisa terbaca darinya.
Kini, ia memungkinkan kita membayar barang atau jasa dengan berbekal ponsel pintar. Istilah kerennya: platform transaksi non-tunai.
Di Indonesia, teknologi ini telah dipakai sejak tahun 2016, diawali Gojek dengan fasilitas Gopay. Selanjutnya ada T-Cash milik PT Telkomsel Indonesia dan e-commerce JD.ID serta Lazada.
Setahun kemudian perbankan berlomba-lomba membangun sistem serupa. Satu di antaranya adalah Sakuku milik PT Bank Central Asia Tbk (BCA). Namun, semuanya memiliki standar operasi masing-masing, tak terintegrasi alias egois, dan belum menjadi open system.
Melihat itu, Bank Indonesia (BI) turun tangan dengan membangun Quick Response Code Indonesia Standard atau QRIS. Perlu sekitar 1 tahun bagi bank sentral dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) mengembangkannya, hingga QRIS resmi diluncurkan pada 17 Agustus 2019.
Sejak saat itu, semua layanan QR Code dari berbagai platform tunduk bersatu dalam satu standar nasional. Ini adalah bagian dari cetak biru Sistem Pembayaran Indonesia yang disiapkan BI. Dalam cetak biru tersebut, QRIS akan dibangun dan dikembangkan perlahan dalam tiga tahap: di dalam negeri, Asia Tenggara (ASEAN), dan di luar ASEAN.
Pandemi Covid-19 dua tahun terakhir melipat proses itu. Layanan QRIS kini menembus sistem keuangan lintas-negara hingga tahun ini QRIS bisa dipakai membayar belanjaan di Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. India dan Arab Saudi akan segera menyusul.
“India sudah menyatakan keinginannya. Kita tahu banyak turis India di Bali dan ini merupakan pangsa yang besar nantinya,” ujar Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Filianingsih Hendarta seperti dikutip Pikiran Rakyat Selasa (9/8/2022) di Bali.
Singkatnya, kelak kita tidak akan perlu membawa mata uang asing tunai jika ingin belanja di luar negeri. Dengan QRIS, semua akan dibayar dari sumber rekening tabungan kita, dengan mata uang rupiah.
Revolusi Mengatasi Antrian
Meski QR Code sekarang identik dengan industri keuangan digital, awal mula penciptaannya justru bermula dari fenomena antrian yang mengular di supermarket Jepang pada era 1960-an.
Booming peritel membuat pembeli berbondong-bondong ke supermarket, memicu antrean panjang di kasir. Aplikasi POS (point of sale) dan barcode (kode batang) yang telah ada tak bisa berbuat banyak karena kasir harus mengetik kodenya secara manual.
Inovasi Masahiro Hara, seorang karyawan Denso Wave--anak usaha Toyota, menjadi jawabannya. Saat itu pada tahun 1980-an, dia ditugaskan untuk menciptakan kode batang guna mendata dan mengkodekan suku cadang pabrikan Toyota.
Pada suatu hari, ketika bermain catur Cina (Igo) di sesi makan siang, dia tertarik dengan pola pergerakan bidak catur yang tak hanya naik-turun dan kiri-kanan, melainkan juga serong. Tercetuslah ide untuk membuat kode batang dua dimensi.
Berbeda dari kode batang satu dimensi seperti barcode, di mana informasi hanya bisa dikodekan satu arah, kode batang dua dimensi (QR code) mampu merekam kode informasi secara dua arah: menyilang dan atas-bawah.
Jika barcode cuma menampung 20 karakter alfanumerik, QR Code bisa mengakomodir karakter hingga 100 kali dari itu. Hal ini memungkinkan dia digunakan untuk menyimpan dan menampilkan jutaan informasi yang berguna, seperti dalam proses jual-beli.
Jaesik Lee di jurnal “Secure Quick Response-Payment System Using Mobile Device” memiliki penjelasan sederhana atas kelebihan ini: QR Code mengembangkan sistem pembayaran fisik secara elektronik. Sejak tahun 1994, QR Code pun resmi dipakai peritel Jepang.
Kini, ketika bank sentral di kebanyakan negara dunia mulai mendorong penggunaan “satu platform pembayaran”, revolusi pembayaran pun tercipta di mana semua warga dunia bisa berbelanja di negara lain tanpa harus pusing menghitung nilai tukar (kurs).
Sebagai contoh, warga Thailand yang membeli produk UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) di Klungkung, Bali, bisa melakukanpindai QR dari gerai. Dana pembayaran didebit dari tabungannya dalam mata uang baht. Padahal, harganya dalam rupiah.
Kok bisa?
Mengutip “Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025”, QRIS berbasis teknologi EMVCo yangmenjamin “interoperabilitas antar penyelenggara dan antar instrumen”. Karena standar EMVCo juga dipakai di banyak negara, operasional QRIS yang menembus batas negara pun dimungkinkan.
Terobosan ini membuat pembayaran lintas-negara menjadi lebih efisien dengan infrastruktur yang, menurut laporan BI, tak semahal pemakaian mesin Anjungan Tunai mandiri (ATM) di luar negeri atau penggunaan kartu debit/kredit.
Imbasnya, bisnis gerai penukaran mata uang terdisrupsi, dan konsep ‘devisa pariwisata’ tak lagi sama.
De-dolarisasi Sektor Pariwisata
Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), sektor pariwisata adalah primadona perekonomian Indonesia dengan menjadi salah satu penyumbang utama devisa.
Pertumbuhannya sangatlah pesat. Pada tahun 2015 pariwisata baru menyumbang devisa senilai USD12,23 miliar atau setara dengan Rp182,2 triliun (asumsi kurs Rp14.900 per dolar AS). Kesemuanya didapatkan dari jumlah kunjungan turis asing sebanyak 10,4 juta orang.
Devisa sebanyak itu menempatkan sektor pariwisata di urutan keempat penyumbang devisa terbesar, mengekor kontribusi devisa dari ekspor minyak dan gas bumi (migas), batu bara, dan kelapa sawit.
Namun per 2019, sebelum pandemi menyerang, sektor pariwisata nasional secara mengejutkan tampil perkasa sebagai penghasil devisa terbanyak mengalahkan ketiganya. Nilai devisanya mencapai USD20 miliar (Rp298 triliun) dari 16,1 juta wisatawan mancanegara.
Hal ini menunjukkan besarnya perpindahan devisa yang mengalir ke dalam dan ke luar negara di industri pariwisata. Lalu-lintas devisa dari sektor wisata inilah yang paling terdisrupsi oleh perkembangan pembayaran berbasis QR code.
Nilainya, mengacu pada Neraca Pembayaran Indonesia kuartal IV/2019—sebelum pandemi Covid-19 meluluhlantakkan sektor pariwisata, adalah sebesar USD7,7 miliar. Ini setara dengan seperempat lebih dari neraca pembayaran Indonesia, yang sebesar USD30,3 miliar.
Dengan perhitungan pari passu, di mana transaksi jasa dari sektor wisata negara lain sedunia juga mencapai seperempat dari neraca pembayaran, maka pembayaran QR code dalam skala global dan masif akan membuat permintaan dolar Amerika Serikat (AS) menyusut seperempat.
Semua warga dunia tak perlu lagi menukar mata uang mereka ke dolar AS jika hendak bertamasya ke luar negeri, karena pembayaran QR Code memungkinkan mereka membayar semua kebutuhan di luar negeri dari tabungan berdenominasi mata uang masing-masing.
Hal ini memicu percepatan tren de-dolarisasi yang selama ini telah terjadi lewat kesepakatan bilateral beberapa negara untuk melakukan pembayaran dalam mata uang masing-masing. Indonesia telah melakukannya, dengan penyelesaian kurs lokal (local currency settlement).
Cina telah mengurangi penggunaan dolar untuk transaksi mereka sejak perang dagang memanas pada 2019. Rusia mengikuti langkah ini, terutama sejak aset bank sentralnya (berdenominasi dolar AS di negara Barat) dibekukan akibat konflik Rusia-Ukraina.
Pembayaran QR Code secara masif ke depan berpeluang mempercepat terpinggirkannya dolar AS, setidaknya dari posisi sebagai mata uang acuan dunia dalam transaksi ritel lintas negara.
Editor: Nuran Wibisono