Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Putusan Etik untuk Ketua KPU: Kepercayaan Publik Dipertaruhkan

Putusan DKPP terhadap Ketua KPU dan jajaran dalam beberapa waktu terakhir adalah sinyal serius mengenai kondisi KPU saat ini.

Putusan Etik untuk Ketua KPU: Kepercayaan Publik Dipertaruhkan
Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari sebagai teradu menjalani sidang dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) yang digelar oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta, Senin (27/2/2023). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/tom.

tirto.id - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam seminggu terakhir memutus dua sidang etik dengan teradu Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asyari. Pada 30 Maret 2023 misal, Hasyim dijatuhi sanksi peringatan buntut pernyataannya terkait sistem pemilu proporsional tertutup yang sempat menjadi polemik.

DKPP kembali menjatuhkan sanksi pelanggaran etik bagi Hasyim pada Senin, 3 April 2023. Kali ini, pria kelahiran 3 Maret 1972 itu dijatuhi sanksi peringatan keras. Pelaporan Hasyim berkaitan Hasnaeni dengan nomor perkara 35-PKE-DKPP/II/2023 dan 39-PKE-DKPP/II/2023.

Pada perkara nomor 35-PKE-DKPP/II/2023, Hasyim diadukan oleh Dendi Budiman lantaran ia diduga melakukan pertemuan dan perjalanan ke Yogyakarta bersama Ketua Partai Republik Satu, Hasnaeni Moein.

Sementara itu, perkara 39-PKE-DKPP/II/2023 diadukan oleh Hasnaeni Moein atau karib disapa Wanita Emas. Hasyim diduga melakukan pelecehan seksual disertai ancaman kepada pengadu yang menjabat sebagai Ketua Partai Republik Satu, Hasnaeni.

Ketua DKPP, Heddy Lugito mengatakan, dalam kasus ini, DKPP menjatuhkan sanski peringatan keras terakhir kepada Hasyim selaku ketua dan anggota KPU terhitung sejak putusan dibacakan.

“Kedua, memerintahkan KPU untuk melaksanakan putusan ini paling lama sejak putusan ini dibacakan,” kata Heddy di ruang sidang DKPP, Jakarta Pusat. Detail putusan dan dalil pertimbangannya bisa dibaca di link ini.

Persepsi Buruk di Publik

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menilai, putusan DKPP ini menandakan Hasyim sebagai Ketua KPU tidak menjunjung tinggi nilai integritas, terutama independensi. Ia menilai, putusan DKPP membuktikan bukan hanya soal ucapan yang dinilai melanggar etik, tapi juga tindakan.

“Praktis bukan hanya ucapannya saja yang beberapa waktu lalu terbukti melanggar kode etik, namun tindakannya juga menimbulkan persepsi buruk di tengah masyarakat. Ia sepertinya tidak mampu memahami urgensi penerapan nilai kode etik, khususnya menjaga independensi jabatannya sebagai Ketua KPU RI,” kata Kurnia, Selasa (4/4/2023).

Kurnia sebut, putusan DKPP antara Hasyim dengan Hasnaeni menandakan sejumlah isu krusial yang mengarah pada pelanggaran pemilu dan diduga berkaitan dengan korupsi. Pertama, komunikasi dan tindakan Hasyim berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Kedua, fakta persidangan DKPP menjelaskan adanya pemesanan dan pembelian tiket pesawat Citilink dari Jakarta menuju Yogyakarta dari Hasnaeni kepada Hasyim.

“Penting untuk dijelaskan lebih lanjut, apakah pemesanan dan pembelian tiket tersebut berhubungan dengan jabatan Hasyim sebagai Ketua KPU RI? Jika iya, maka pemberian itu berpotensi dianggap sebagai gratifikasi dan Hasyim punya tanggung jawab hukum untuk melaporkannya kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari," kata Kurnia.

Pasal 21 ayat (1) huruf d UU Pemilu mengatakan bahwa syarat untuk menjadi anggota KPU RI adalah mempunyai integritas, berkepribadian yang kuat, jujur, dan adil. Karena itu, kata Kurnia, Hasyim sudah sepatutnya mengundurkan diri lantaran diputus melanggar etik secara berturut-turut.

“Bagi ICW, dengan melandaskan dua pelanggaran kode etik yang secara berturut-turut dijatuhkan kepada Hasyim telah memenuhi syarat bagi dirinya untuk mengundurkan diri. Selain itu, TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa juga sudah menegaskan bahwa Penyelenggara Negara harus siap mundur apabila telah melanggar kaidah," kata Kurnia.

Bisa Ganggu Kepercayaan Publik

Sementara itu, peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil menilai, putusan DKPP terhadap Ketua KPU dan jajaran dalam beberapa waktu terakhir adalah sinyal serius mengenai kondisi KPU saat ini. Ia mengingatkan para komisioner KPU tidak bisa melepaskan statusnya sebagai penyelenggara pemilu, sehingga segala tindakan personal komisioner juga akan berdampak pada institusi.

“Nah, kasus ini jadi pembelajaran penting menurut saya bahwa lembaga penyelenggara pemilu harus dijaga, bagaimana cara menjaganya? Salah satu yang paling depan adalah para komisionernya itu menjaga perilakunya," kata Fadli, Selasa (4/4/2023).

Fadli menilai, segala pelaporan yang dilakukan berbagai pihak kepada KPU, terutama laporan ke DKPP adalah bentuk kontrol mereka kepada kinerja KPU. Publik melakukan hal itu bukan tanpa alasan. Pertama, mereka ingin agar setiap tindakan atau perilaku yang menyimpang dari nilai etika dan penyelenggara pemilu harus ada konsekuensi.

Kedua, putusan DKPP yang memberikan sanksi etik kepada komisioner KPU, terutama pada Ketua KPU harus menjadi pelajaran penting bagi komisioner lain. Ia menilai, sanksi pimpinan KPU pusat tidak hanya berlaku pada pimpinan pusat, tetapi juga pada pemimpin KPU daerah hingga tingkat kabupaten kota.

Fadli mengingatkan bahwa kesalahan sikap komisioner KPU, baik di tingkat pusat maupun daerah akan mempengaruhi kepercayaan publik pada institusi pemilu di masa depan.

Khusus pada Ketua KPU Hasyim Asyari, Fadli mengingatkan, bahwa putusan peringatan terakhir adalah peringatan terakhir sebelum ia dicabut status sebagai Ketua KPU. Ia tidak memungkiri Haysim akan seperti Arif Budiman yang sebelumnya diberhentikan dari kursi Ketua KPU usai putusan DKPP.

“Berpotensi nanti mengarah ke sana [diberhentikan sebagai ketua], makanya ini tentu menjadi pengingat terakhir bagi ketua KPU, dia tidak boleh main-main lagi baik dalam bertindak, berbicara ya karena dia simbol dari penyelenggara pemilu yang mesti dipercaya oleh publik untuk menyelenggarakan event demokrasi besar," kata Fadli.

Fadli menambahkan, “Dia nggak bisa main-main untuk menyelenggarakan Pemilu 2024 karena taruhannya besar. Integritas penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan dan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu.”

Fadli mengingatkan, perilaku buruk penyelenggara pemilu akan berdampak secara institusi dan semua yang terlibat. Jika publik tidak percaya pada KPU, maka berpotensi memunculkan beragam masalah seperti konflik saat Pemilu 2024.

Karena itu, Fadli mengingatkan, semua pihak punya banyak kepentingan di tahun politik dan penyelenggara pemilu perlu berhati-hati. “Kalau mereka tidak hati-hati menjalankan institusi penyelenggara pemilu, dampaknya akan sistemik kepada penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan,” kata Fadli.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz