tirto.id - Industri asuransi tanah air ikut menjadi terdampak pandemi corona COVID-19. Kondisi itu setidaknya tercermin dari laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mencatat perolehan premi asuransi per Maret 2020 yang tumbuh lambat. Kontraksi paling lambat dialami sektor asuransi jiwa.
"Premi asuransi jiwa turun signifikan. [Pertumbuhan per Maret 2020] terkoreksi menjadi minus 13,8 persen," ungkap Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam paparan pers yang digelar virtual, Senin (11/5/2020) lalu.
Padahal, lanjut Wimboh pada Desember 2019, premi asuransi jiwa hanya minus 0,38 persen. Artinya, penurunan penerimanaan premi asuransi jiwa tercatat sangat dalam.
Secara umum, industri asuransi nasional memang tercatat kurang sehat di tengah pandemi corona saat ini. Bagaimana tidak, bila mengacu pada catatan OJK, premi asuransi nasional hanya tumbuh 3,65 persen hingga Maret 2020. Padahal, pada Desember 2019 industri asuransi masih mampu mencatat pertumbuhan premi hingga 15,65 persen.
Premi asuransi ibarat 'darah' pada industri asuransi. Rendahnya penerimaan premi jelas bikin pelaku industri asuransi jadi pusing tujuh keliling. Akibatnya, kinerja keuangan industri asuransi pun ikut goyang.
Itu tercermin dari rasio kesehatan keuangan atau risk based capital (RBC) industri asuransi yang mengalami penurunan menjadi hanya 642,7 persen di Maret 2020. Angka itu lebih rendah dari catatan akhir tahun 2019 yang masih berada di 789 persen.
RBC merupakan tolak ukur yang dapat memberitahu tingkat keamanan finansial atau kesehatan perusahaan asuransi. RBC dikatakan sehat bila nilainya semakin besar.
PSBB Buat Agen Asuransi Sulit Bergerak
Pengajar Ilmu Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia sekaligus mantan Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) Hotbonar Sinaga mengungkap, perlambatan kinerja di industri asuransi ini memang tak lepas dari pandemi virus Corona yang tengah melanda ibu pertiwi.
Adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka membatasi pergerakan masyarakat saat pandemi corona COVID-19, justru membuat tenaga pemasaran atau agen asuransi tak leluasa bergerak untuk melakukan penawaran premi baru ke masyarakat.
"Intinya COVID-19 mengakibatkan aktivitas sales terkendala. Enggak bisa melakukan pertemuan untuk jelaskan produk asuransi. Pasti akan terjadi penurunan produksi tahun ini dibanding 2019," tutur Hotbonar kepada reporter Tirto, Rabu (20/5/2020).
Kondisi ini membuat perusahaan asuransi harus memutar otak untuk melakukan penyesuaian. Bila tak gesit, tentu saja umur mereka tak akan panjang.
"Asuransi yang tidak melakukan penyesuaian tahun depan akan celaka. Sementara pemasaran fokus pada mempertahankan existing business atau renewal. Sulit cari new business, paling-paling intensifikasi bisnis dari tertanggung yang ada," jelasnya.
Senada dengan Hotbonar, pengamat asuransi sekaligus Arbiter Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) Irvan Rahardjo memastikan bisnis asuransi turut terdampak pandemi corona COVID-19 saat ini. Tak adanya pertemuan agen dengan nasabah ataupun kunjungan nasabah ke kantor asuransi menjadi faktor menurunnya kinerja sektor asuransi.
PSBB sebenarnya bukan satu-satunya biang keladi pendapatan premi asuransi mengalami penurunan. Menurut Irvan, rendahnya daya beli masyarakat juga jadi pukulan hebat bagi industri ini.
Tak bisa dipungkiri, PSBB yang diberlakukan di sejumlah kota sudah bikin banyak orang kehilangan sumber pendapatannya. Banyak laporan dari sejumlah industri yang terpaksa merumahkan pekerjanya tanpa upah dan gaji imbas pandemi ini. Ini jelas bikin sebagian besar masyarakat mengencangkan ikat pinggang dan terpaksa memangkas alokasi belanja mereka yang dianggap bukan prioritas, salah satunya adalah asuransi jiwa.
"Sebagian besar masyarakat, pengeluran paling utama dikorbankan adalah soal asuransi. Karena menghadapi kebutuhan nyata, kesehatan, konsumsi, makanan dan minuman, pakaian, itu utama dibanding asuransi," ucap Irvan.
Tak berhenti di situ, Irvan melihat ada juga faktor regulasi yang secara tak langsung memberi dampak bagi permintaan masyarakat terhadap asuransi.
Regulasi yang dimaksud adanya arahan dari OJK kepada perbankan untuk memberikan relaksasi kredit kepada para nasabahnya. Bagi nasabah, ini memberikan penurunan risiko yang secara tak langsung membuat permintaan terhadap asuransi menjadi menurun.
"Karena ada restrukturisasi relaksasi kredit sehingga ada banyak penurunan dari sisi kebutuhan asurnasi karena memang kan resiko jadi menurun," jelas Irvan.
Seperti diketahui, lanjut Irvan, setiap kredit perbankan selalu disertai dengan jaminan asuransi baik kepada produk kolateral yang dijaminkan maupun jaminan asuransi jiwa bagi nasabah penerima kredit. Perbankan tidak memberi kredit bila tidak ada jaminan asuransi.
"Dengan relaksasi kredit pelunasan itu diperpanjang, maka asuransi dengan sendirinya mengalami pengurangan. Aktivitas menurun," ungkapnya.
Bertahan Atau Gagal Bayar Hingga Ancaman PHK
Perlambatan kinerja industri asuransi jelas bukan tanpa efek samping. Ada banyak dampak bahaya yang mungkin terjadi bila pemerintah tak bergegas memberi perhatian bagi industri ini.
Pertama yang jelas adalah dampak langsung ke perusahaan asuransi dan segenap karyawan yang bekerja di dalamnya. Dia mengatakan, ada risiko lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap tenaga kerja yang terhubung langsung dengan industri asuransi. Hal ini tentu tak bisa dihindarkan bila perusahaan asuransi tak lagi sanggup bertahan.
"Kalau lihat kondisi sekarang, pertama yang akan kena adalah tenaga agen. Jumlahnya bisa 5.000 sampai 10.000 yang akan mengalami penyusutan. Setelah itu 6 bulan, yang akan terkena adalah tenaga-tenaga formal struktural dan pegawai asuransi," ucap Irvan.
Itu belum seberapa, ada dampak yang lebih serius yang bisa saja melanda bila industri ini ambruk. Bila situasi ini tak membaik dalam 6 bulan ke depan, maka likuditas perusahaan asuransi bakal terus menipis. Berikutnya adalah cadangan perusahaan asuransi itu sendiri.
Bila sudah begini, nasib buruk yang melanda industri asuransi tentu bisa merembet dampaknya bagi nasabah pemegang polis asuransi. Bukan tidak mungkin perusahaan asuransi bakal kesulitan memenuhi kewajiban membayarkan klaim asuransi kepada para pemegang polisnya.
"Baik cadangan premi maupun cadangan klaim," tegasnya.
Melihat kondisi ini, Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattof menilai ide pembentukan lembaga penjamin polis menjadi sangat mendesak dan perlu segera direalisasikan oleh pemerintah.
Lembaga macam ini diperlukan untuk menjamin masyarakat tetap bisa memperoleh haknya bila kondisi terburuk melanda perusahaan asuransi tempat mereka mempercayakan perlindungannya.
"Solusinya buat asuransi itu bikin lembaga semacam LPS [Lembaga Penjamin Simpanan]. Kan perbankan ada LPS kan, nah asuransi belum ada. Kalau ada lembaga penjamin, masalah saat ini sampai masalah kemarin seperti Jiwasraya dan Bumiputera akan selesai," jelas Abra.
Penulis: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Editor: Bayu Septianto