Menuju konten utama

Puncak Kegalauan Industri Batu Bara

Rendahnya harga gas alam dan maraknya kebijakan energi bersih membuat batu bara semakin kalah pamor.

Puncak Kegalauan Industri Batu Bara
Kapal Tongkang pembawa batubara melintasi aliran Sungai Batanghari di Kabupaten Muarojambi, Jambi. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan

tirto.id - Para pengusaha batu bara resah dan gelisah. Dengan harga batu bara di kisaran USD 50 per ton, mereka harus nombok. Pasalnya, biaya penambangan mencapai USD 60 per ton. Ini artinya perusahaan tambang batu bara mengalami kerugian hingga USD 10 untuk setiap ton batu bara yang ditambangnya.

Kondisi ini sudah berlangsung sejak 2015, bersamaan dengan jatuhnya harga minyak mentah dunia. Pasokan yang berlimpah di tengah turunnya permintaan membuat harga batu bara terus tertekan. Kerugian sudah di depan mata. Harga saham perusahaan batu bara pun terus berguguran.

Para pengusaha batu bara pun menumpahkan kegalauannya kepada pemerintah. Mereka khawatir harga batu bara yang terus turun akan memicu pengurangan produksi. Jika ini terjadi, maka proyek listrik 35.000 Megawatt yang didominasi PLTU berbahan bakar batu bara, akan terganggu. Mereka pun minta pemerintah memberikan insentif. Permintaan itu tentu saja memicu protes dari para aktivis pecinta lingkungan.

Jatuhnya Harga Batu Bara

Harga komoditas termasuk batu bara sudah lama menikmati tren kenaikan harga. Membaiknya perekonomian dunia, terutama Cina mendorong kenaikan harga batu bara. Namun, kemilau si “emas hitam” itu kini sudah pudar. Rendahnya harga gas alam dan maraknya kebijakan energi bersih membuat batu bara semakin kalah pamor.

Setelah mencapai puncaknya pada 2010, harga batu bara berangsur turun. Berdasarkan studi Bank Dunia, harganya turun hingga 60 persen terhitung sejak awal 2011. Bank Dunia dalam proyeksinya memperkirakan harga batu bara akan turun hingga 13 persen pada 2016.

Kombinasi antara melimpahnya suplai dan berkurangnya permintaan terus menekan harga batu bara. Negara-negara produsen batu bara seperti Australia, Afrika Selatan, juga Indonesia terus mengalami kenaikan produksi. Pada saat yang sama, permintaan dari negara-negara importir besar seperti Cina, Jepang, dan India terus berkurang. Dari para importir besar, Cina memberikan efek paling besar.

Cina merupakan konsumen batu bara terbesar dunia. Angka konsumsinya mencapai angka 1.962 juta ton, atau lebih dari setengah konsumsi dunia. Namun, pertumbuhan penggunaan batu bara di negara industri ini berkurang dari tahun ke tahun.

Pada 2014, pertumbuhan konsumsi batu bara mencapai angka terendah dalam lima tahun terakhir. Angkanya hanya naik 0,1 persen dari penggunaan tahun sebelumnya. Pada 2015, impor pun turun hingga sepertiga angka sebelumnya, seiring melemahnya aktivitas industri dan dipilihnya sumber energi lain. Karena itu jugalah Cina menghentikan sementara persetujuan tambang baru dalam tiga tahun ini.

Selama ini, Cina disorot dunia karena polusinya yang tinggi. Xinhua melaporkan Cina akan menurunkan rasio konsumsi batu bara terhadap konsumsi energi primer dari 66 persen pada 2015 menjadi 50 persen saja pada 2050. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat menggunakannya untuk sepertiga keseluruhan kebutuhan listrik.

Kebijakan Cina ternyata berdampak sangat signifikan terhadap harga batu bara dunia. Di Indonesia, harga acuan batu bara juga terus cenderung turun. Terhitung sejak tahun 2012, harga sudah turun lebih dari setengahnya.

Pukulan untuk Indonesia

Terus turunnya harga batu bara tentu saja membuat para pengusaha resah. Para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) merasa khawatir harga batu bara yang terus jatuh akan berdampak pada kelistrikan di tanah air. Padahal, listrik merupakan elemen penting dalam pembangunan nasional.

Batu bara memegang peran penting dalam proyek listrik nasional. Berdasarkan RUPTL PLN 2015-2024, untuk sistem Jawa-Bali, saat ini PLTU berbahan bakar batu bara mencapai 19.545 MW atau 58,3 persen dari kapasitas pembangkit nasional. Sementara PLTGU yang berbahan bakar gas alam dan batu bara mencapai 8.271 MW atau 24,7 persen.

PLTU juga masih menjadi tumpuan pembangkit listrik di masa depan. Dalam 10 tahun ke depan, diharapkan ada tambahan PLTU hingga 42.089 MW. Ini berarti hampir 60 persen tambahan pembangkit berbahan baku batu bara. Total tambahan pembangkit dalam 10 tahun ke depan diharapkan mencapai 70.433 MW. Pemerintah menargetkan batu bara dapat memenuhi sekitar 66 persen dari sumber energi promer pembangkit listrik nasional di tahun 2024. Angka itu setara dengan 361 Gwh produksi listrik PLTU berbasis batu bara.

APBI merupakan asosiasi perusahaan tambang batu bara yang berkontribusi pada sekitar 80 persen total produksi nasional. Mereka menemui Menteri ESDM Sudirman Said pada Kamis, 10 Maret 2016. Tujuannya tak lain meminta pemerintah mencari jalan tengah untuk menyelamatkan industri batu bara sehingga pasokan tetap aman.

Sebelum menemui Menteri ESDM, APBI telah melakukan kajian dengan menggandeng konsultan internasional, PricewaterhouseCoopers (PwC). Kajian dilakukan dengan survei terhadap 25 perusahaan batu bara dan informasi emiten batu bara yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Hasil dari kajian menunjukkan bahwa EBITDA (Earning Before Interest, Tax, Depreciation & Amortization) emiten batu bara turun hingga 60 persen dari USD 6,5 miliar pada 2011 menjadi USD 2,6 miliar pada 2014. Untuk 2015 diperkirakan turun hingga 16 persen.

Belanja modal (capital expenditure/capex) juga turun sekitar 79 persen sejak 2012 dari USD 1,9 miliar menjadi USD 0,4 miliar pada 2015. Survei mengindikasikan penurunan capex berlanjut pada 2016 sebesar 10-20 persen. Dengan demikian, eksplorasi untuk menemukan cadangan baru batu bara relatif terhenti.

Tingkat profitabilitas sektor batubara jatuh pada titik terendah dan terjadi pengurangan produksi oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki struktur biaya produksi tinggi.

Memburuknya kinerja itu berdampak pada penurunan harga saham. Berdasarkan penelusuran Tirto.id, pada 2014 hingga 2015, harga saham emiten-emiten batu bara mengalami penurunan besar. Penurunan paling parah diderita oleh perusahaan batu bara milik grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang sahamnya turun hingga 97,7 persen.

Harga yang rendah juga berimplikasi pada jumlah cadangan. Hasil kajian mengindikasikan ada penurunan cadangan dari para anggota APBI sekitar 29 hingga 40 persen, yang disebabkan penurunan harga batu bara yang signifikan.

Berdasarkan analisa, cadangan batu bara yang ada hanya 7,3 - 8,3 miliar ton hingga akhir tahun 2015, jauh di bawah data pemerintah. Data Badan Geologi Kementerian ESDM menunjukkan, Indonesia memiliki cadangan batu bara terbukti (proven) sekitar 32,3 miliar ton pada 2014.

Proyeksi awal mengindikasikan cadangan batu bara akan habis kira-kira pada rentang 2033-2036. Ini kurang dari 20 tahun umur manfaat PLTU dalam program 35.000 MW, yang pada umumnya sekitar 25-30 tahun sejak beroperasi komersial.

Hasil survei menunjukkan kemungkinan cadangan batu bara nasional dengan mengacu pada harga komoditas saat ini tidak cukup untuk memasok 20 GW PLTU program kelistrikan nasional 35 GW selama masa 25-30 tahun (rata-rata usia pembangkit berbasis batu bara).

Fakta survei tersebut tentu saja jauh dari hitung-hitungan PLN. Berdasarkan asumsi PLN, produksi batu bara Indonesia sangat tinggi mencapai 386 juta ton pada 2012. Produksi sangat tinggi meski cadangan batu bara Indonesia tidak terlalu besar.

PLN memperkirakan produksi di masa mendatang semakin besar sehingga bisa mensuplai kebutuhan domestik, meski ekspor terus meningkat. Dengan tingkat produksi tahunan 386 juta ton, cadangan batu bara Indonesia yang sebanyak 29 miliar ton diperkirakan habis dalam kurun waktu 75 tahun tanpa adanya eksplorasi baru.

Industri Minta Insentif

Dari hasil kajian tersebut, APBI meminta pemerintah mempertimbangkan kebijakan “cost-based pricing system” (sistem harga berdasar biaya produksi) untuk batu bara yang dipakai PLTU dalam rangka menyokong program kelistrikan nasional 35.000 MW. Kebijakan ini akan membuat pemerintah mendapatkan jaminan kepastian suplai untuk menghindari krisis pasokan batu bara untuk PLTU.

Selain itu, sistem ini dinilai dapat memproteksi kenaikan harga listrik jika terjadi kenaikan harga batu bara. Harga berdasar ongkos produksi juga diharapkan menggairahkan investasi dan eksplorasi. Tujuan lainnya adalah untuk mendorong perencanaan tambang jangka panjang dan menstabilkan harga keekonomian cadangan batu bara yang pada akhirnya mengamankan pasokan batu bara untuk PLTU.

Jika kebijakan ini diberlakukan, pemerintah harus membayar “biaya asuransi”. Besarnya sekitar 1 persen dari tarif dasar listrik yang sbesar kurang lebih Rp 1.400/kWh jika diterapkan untuk PLTU baru yang akan beroperasi pada tahun 2019 atau sekitar 3 persen jika PLTU yang telah dibangun di tahun-tahun sebelumnya.

Namun, pemerintah tak langsung menyetujui usulan APBI. Menteri ESDM Sudirman Said hanya mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan berbagai macam opsi. Kebijakan pemerintah ke depan adalah membuat keseimbangan harga baru. Artinya, harga itu mesti cukup ekonomis di mata pengusaha batu bara untuk menambang, dan di sisi lain harus cocok di isi saku pengusaha listrik untuk membelinya.

“Fungsi pemerintah di sini harus ada, jadi kita akan menjembatani satu proses diskusi yang melibatkan PLN, Asosiasi Pengusaha Batu Bara dan juga IPP yang akan menggunakan batu bara sebagai sumber energi primernya,” ujar Menteri ESDM.

Solusi bisa diperoleh melalui negosiasi agar harga ketemu antara pengusaha batu bara dan pengusaha listrik. “Kita harus mencari solusi itu,” ujarnya.

Kecaman Greenpeace

Rencana asuransi industri batu bara itu langsung mendapat reaksi keras dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Greenpeace Indonesia. Dalam pandangan Greenpeace, pemberian insentif untuk perusahaan batu bara itu sama sekali tidak adil.

"Perusahaan batu bara Indonesia tidak boleh dibiarkan menjalankan rencana tidak masuk akal ini. Tidak cukup dengan merusak bentang alam dan pada banyak kasus meninggalkan tanggung jawab reklamasi, perusahaan-perusahaan ini sekarang mengharapkan rakyat Indonesia untuk menebus kekacauan keuangan mereka," kata Pengkampanye Senior Greenpeace Indonesia, Arif Fiyanto, seperti dilansir dari Antara.

Arif tidak sepakat adanya wacana imbauan agar pemerintah membayar semacam "biaya asuransi" sebesar 1 persen dari tarif dasar listrik yang sebesar kurang lebih Rp 1.400/kWh yang berarti nilai subsidi sebesar Rp 3 triliun per tahun.

Berdasarkan perhitungan Greenpeace Indonesia, subsidi lebih dari 3 persen akan membebankan pembayar pajak Indonesia sebesar Rp 8,9 triliun per tahun. Ia menegaskan pemberian subsidi sebesar itu bertentangan dengan klaim asosiasi bahwa batu bara relatif lebih murah bila dibandingkan sumber energi listrik lain.

"Indonesia perlu meninggalkan bahan bakar kotor ini. Dana yang diminta oleh perusahaan-perusahaan batubara ini lebih baik diinvestasikan dalam energi terbarukan yang pada jangka panjang akan memberikan energi yang bersih dan lebih murah untuk rakyat Indonesia," tegasnya.

Negara-negara maju sudah mulai meninggalkan batu bara sebagai sumber energinya. Arahnya jelas, menggunakan energi bersih dan ramah lingkungan. Sementara Indonesia tampaknya masih sulit untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara. Dalam rencana jangka panjang, belum terlihat kemauan Indonesia untuk tidak bergantung pada batu bara.

Hal itu terlihat dari RUPTL PLN dalam 10 tahun ke depan. Batu bara masih menjadi andalan. Jika ini faktanya, maka suara-suara kegelisahan para pengusaha bara tak bisa diabaikan begitu saja. Kecuali, Indonesia memang ingin meniru kebijakan energi di negara-negara maju.

Baca juga artikel terkait BATU BARA atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Mild report
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti