Menuju konten utama

Pudarnya Kejayaan 7-Eleven

Sejak pertama kali masuk ke Indonesia, jumlah gerai Seven-Eleven terus bertambah. Tahun lalu, untuk pertama kalinya, gerai sevel berkurang. Tahun ini beberapa gerai juga akan ditutup. Ada apa?

Pudarnya Kejayaan 7-Eleven
Gerai Seven Eleven di Jakarta. [Tirto/Andrey Gromico]

tirto.id - “Ketemuan di mana?”

“Sevel aja.”

Di Sevel, kita bisa duduk dan ngobrol berlama-lama dengan hanya membeli kacang dan minuman soda. Tak ada pelayan yang mengusir secara halus dengan mengangkat piring dan gelas kosong atau bertanya “Ada tambahan pesanan, Kak?”

Di Sevel, kita juga bisa duduk-duduk minum alkohol dengan harga murah meriah dan nongkrong sampai pagi. Buat kamu yang pantang minum alkohol, di Sevel juga ada kopi atawa teh panas lengkap dengan Pop Mie. Kalau mau ngetik tugas, skripsi, atau surat cinta, Sevel menyediakan kebutuhan sumber listrik komputer jinjing dan gawai kita.

Begitu kira-kira deskripsi Sevel bagi anak muda Jakarta di awal kedatangannya. Sevel merevolusi fungsi toko peritel. Ia bukan sekadar tempat membeli beberapa barang lalu pulang. Lebih dari itu, ia menjadi tempat bertemu dan membincangkan sesuatu.

Sevel masuk ke Indonesia pada tahun 2008. Ia dikelola oleh PT Modern Sevel Indonesia, anak dari PT Modern International Tbk. Sevel merupakan hasil transformasi bisnis dari Modern Grup, setelah bisnis fotonya mengalami kelesuan. Di tengah kelesuan bisnis, Grup Modern akhirnya memutuskan untuk membeli lisensi waralaba 7-Eleven alias Sevel. Langkah itu terbukti sukses menyelamatkan bisnis Grup Modern.

Sejak awal masuk sampai sekarang, Sevel hanya ada di Jakarta. Kota-kota besar lain seperti Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, Balikpapan, dan Palembang sejauh ini masih dijadikan rencana ekpansi, tetapi belum terealisasi.

Di seluruh dunia, Sevel tersebar di 17 negara dengan jumlah gerai menapai 58.300. Dua pasar terbesarnya adalah Amerika Serikat dan Jepang. Toko kelontong ini memang berdiri di Texas sejak 1927 dengan nama awal Tote'm Stores. Nama Sevel baru digunakan pada 1946, saat toko itu hanya buka sejak pukul 7 pagi sampai 11 malam.

Tahun 1991, Southland Corporation—pemilik Sevel—menjual sebagian besar sahamnya ke perusahaan jaringan supermarket Jepang bernama Ito Yokado. Seluruh saham Sevel diambil alih oleh pihak Jepang pada 2005.

Gerai Menyusut

Konsep Sevel di Indonesia dan negara-negara lain tidaklah sama. Di sini, setiap Sevel menyediakan tempat duduk dan meja dengan harga yang sedikit lebih mahal. Di Australia, Sevel hanya sekadar minimarket pada umumnya, tetapi harganya sama saja, tidak lebih mahal. Di Malaysia, beberapa gerai Sevel mulai menerapkan konsep yang sama dengan Indonesia, tetapi kursi dan meja yang disediakan tak sebanyak gerai-gerai di jakarta.

Setiap tahun, ada sekitar 30 sampai 60 gerai Sevel baru dibuka di Jakarta. Ini membuat jumlah gerai Sevel terus bertambah. Tahun 2011, hanya ada 50-an gerai Sevel. Tahun 2012, jumlahnya bertambah hampir dua kali lipat.

Sampai tahun 2014, jumlah gerai Sevel di Jakarta mencapai 190. Di tahun itu juga, sebanyak 40 gerai baru Sevel dibuka. Penjualan bersih pun naik 24,5 persen menjadi Rp971,7 miliar dari tahun sebelumnya yang hanya Rp778,3 miliar. Tahun itu bisa disebut sebagai puncak kejayaan Sevel.

Tahun berikutnya, penjualan Sevel menurun, pun begitu dengan jumlah gerainya. Tahun 2015 itu, total penjualan bersih Sevel turun menjadi Rp886,84 miliar. Untuk pertama kalinya Sevel melakukan penutupan gerai. Tahun itu, ada 20 gerai yang ditutup. Sementara gerai baru hanya dibuka 18, angka terkecil penambahan gerai sejak 2011.

Sampai akhir tahun ini, PT Modern Sevel Indonesia berencana menambah 11 gerai baru. Ini adalah tambahan gerai baru paling sedikit sepanjang sejarah Sevel.

Persaingan dan Larangan Menjual Alkohol

Mulai 16 April 2015, minimarket dilarang menjual minumal beralkohol. Larangan itu tertuang dalam Peraturan menteri Perdagangan (Permendag) No. 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minumal Beralkohol.

Sejak pelarangan itu, gerai-gerai Sevel dan sejenisnya tak bisa lagi menjual bir. Bir dan minumal beralkohol lainnya hanya boleh dijual di supermarket. Aturan ini dibuat untuk menghindari konsumsi alkohol oleh anak-anak dan remaja.

Aturan ini pun dijadikan kambing hitam menurunnya penjualan Sevel yang berakibat pada tidak dibagikannya dividen kepada pemegang saham induknya, PT Modern International Tbk.

"Sebelum ada aturan tersebut, minuman alkohol memberikan kontribusi antara 8% hingga 12% dari total pendapatan. Artinya cukup signifikan, karena ketika mereka beli minuman beralkohol kan otomatis beli yang lain seperti kacang dan makanan lainnya," ujar Tina Novitam Sekretaris Perusahaan, PT Modern Internasional Tbk, seperti dikutip dari Kontan.

Penyebab penurunan penjualan Sevel juga disebabkan karena persaingan yang ketat di convenience store. Ketika pertama kali hadir, Sevel praktis hanya bersaing dengan Circle K. Sejak 2011 saingan Sevel bertambah. Lawson, yang juga merupakan toko kelontong asal Jepang dengan konsep mirip Sevel, masuk ke Indonesia pada 2011.

Ada juga Family Mart yang masuk Indonesia pada tahun 2013. Gerai-gerai milik Family Mart terhitung sedikit dari segi jumlah. Tetapi harga yang dibanderol lebih murah dari Sevel dan ia punya gerai dengan ukuran yang jauh lebih besar dari Sevel. Maka jika ada gerai Sevel dan Family Mart bersebelahan, Sevel akan tampak seperti pecundang yang pelanggannya direbut orang.

Dengan persaingan yang ketat, gerak ekspansi Sevel di Jakarta memang akan semakin sulit. Untuk itu, Grup Modern harus berpikir keras lagi untuk merombak bisnis Sevel agar tetap bisa bersaing. Apalagi, pangsa pasar anak nongkrong di ibukota sedemikian besar.

Baca juga artikel terkait 7-ELEVEN atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti