Menuju konten utama

Puasa di Filipina, Mindanao, dan Asrama Jesuit

Kendati terjadi konflik terkait agama di selatan, Manila adalah kota yang toleran terhadap muslim.

Puasa di Filipina, Mindanao, dan Asrama Jesuit
Masjid Dimaukom atau Masjid Pink di Maguindanao, Filipina. FOTO/Inquirer

tirto.id - “Kamu betul-betul kuat tidak makan dan minum 15 jam?”

Suster-suster asrama bertanya kepada Puri Kencana Putri, aktivis KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) yang berkesempatan berpuasa di Manila, Filipina, pada 2013 lalu. Puri dua kali merasakan Ramadan di Manila, Filipina. Pada waktu itu, ia tengah melanjutkan studi pascasarjana ilmu politik di di Universitas Ateneo de Manila.

"Di akhir pekan, suster-suster yang tinggal seatap banyak menemani saya untuk berbuka puasa, karena juga tepat dengan jam makan malam. Kami biasanya berbagi menu makanan, semi potluck,” katanya. “Pagi hari sekitar pukul 8 pagi saya harus berangkat ke perpustakaan untuk melanjutkan tesis, beberapa kelas maraton masih harus saya ambil sejak pukul 1 siang hingga 9 malam.”

Alhasil, Puri lebih sering berbuka di kelas.

Meski Islam merupakan agama minoritas, Manila terbuka dan toleran terhadap muslim. Puri menerangkan di kampus seperti University of the Philippines, buka puasa bersama sering diselenggarakan. Sepanjang Ramadan, kampus ini sepanjang selalu menyediakan takjil untuk berbuka puasa dan menggelar solat tarawih.

Muslim di Filipina

Manila, ibukota Filipina yang terletak di pulau Luzon, berpenduduk mayoritas Katolik. Pada 2012, National Commission on Muslim Filipino (NCMF), memperkirakan jumlah penduduk muslim sebanyak 10,7 juta atau 11 persen dari keseluruhan penduduk yang mencapai 100.981.437 jiwa. NCMF merupakan lembaga pemerintah yang bertugas mempromosikan hak-hak muslim Filipina serta menjadi penghubung antara pemerintah dan komunitas muslim.

Enam puluh persen muslim Filipina tinggal di Mindanao. Sebagian besar adalah muslim sunni, selebihnya muslim syiah yang tinggal di provinsi Lanao del Sur dan Zamboanga del Sur di Mindanao.

“Restoran tetap buka, tidak ada kerai yang menutupi tempat-tempat makan dan hiburan,” komentar Puri tentang Manila, dalam email yang dikirim ke wartawan Tirto.

Situasi ini menurutnya berbeda di Mindanao, 1.302 km dari Manila, di mana suasana Ramadan terasa lebih semarak. “Suasana Mindanao di bulan puasa lebih mirip di Indonesia dan di kawasan negara yang memiliki kultur Melayu kental. Mudah melihat eforia persiapan berbuka dan iftar di tengah masyarakat.”

Selama bertahun-tahun, terjadi ketegangan antara gerakan-gerakan separatis dan Islam politik di Mindanao dengan pemerintah pusat. Awalnya dengan Moro National Liberation Front (MNLF) yang reda setelah kesepakatan dicapai dengan pembentukan Daerah Otonomi Muslim Mindanao (Autonomous Region of Muslim Mindanao, ARNM).

Konflik berlanjut setelah sempalan MNLF, yakni MILF (Moro Islamic Liberation Front), menolak kesepakatan. Pada 1991, kelompok Abu Sayyaf didirikan dan menjadi pemain baru gerakan Islamis negeri tersebut. Berhubungan erat dengan Jamaah Islamiyah, jaringan kelompok ini berjejaring luas hingga Malaysia dan Indonesia. Antara Maret-September 2016, terjadi tiga kali penyanderaan nelayan dan pelaut Indonesia oleh Abu Sayyaf.

Beberapa minggu belakangan, suasana yang tenang di daerah mayoritas Muslim di Mindanao tiba-tiba berubah menyusul aksi pendudukan Marawi (ibukota provinsi Lanao del Sur) oleh kelompok Maute yang berafiliasi dengan ISIS. Kontak senjata antara pasukan pemerintah dan kombatan Islamis terus berlangsung. Presiden Duterte mengumumkan situasi darurat di provinsi tersebut.

Infografik Muslim Filipina

Kampus Jesuit

“Untuk makanan halal, saya seringnya masak. Untuk kebutuhan makanan pokok dalam sepekan, saya terbiasa membeli dari pasar basah di sekitar Marikina City atau supermarket terdekat,” ujar Puri, yang melanjutkan studi ke Costarica setelah setahun di Manila.

“Kebetulan saya tidak terlalu suka makanan khas Manila, karena rasanya agak hambar,” jawabnya. “Tapi mereka punya dessert bernama Halo-Halo. Seperti es campur, tapi jauh lebih segar.”

Soal kehalalan makanan, ia mengaku tak berumit-rumit, asalkan ibadahnya tulus. “Cukup beli dari kantin kampus.”

Universitas Ateneo de Manila adalah kampus swasta yang didirikan Ordo Jesuit pada 1859. Mahasiswa tinggal di asrama bersama para suster. Ketegangan di daerah konflik seperti Mindanao tak ditemukan jejaknya di sini. Kampus lain di kota yang sama, University of the Philippines, memiliki pusat studi kajian Islam. Acara buka puasa pun selalu diiringi ceramah-ceramah seputar konflik dan perdamaian di Mindanao.

Konflik tahunan—yang masih berlangsung—tentu meninggalkan trauma dan kecurigaan sosial. Seperti dilaporkan Rappler pada Mei 2016, sebagian penduduk muslim di Manila masih merasa didiskriminasi serta dilekatkan dengan stereotip miskin dan terbelakang. Ketimpangan sosial di Mindanao adalah muaranya. Dukungan mayoritas pemilih kepada Duterte pada tahun lalu pun diperkirakan mencuat karena rakyat meyakini ia bisa mengatasi persoalan kemiskinan di selatan.

Namun, sebagaimana yang kadang terjadi dalam situasi rentan konflik dan kurangnya informasi, selip-kebudayaan bisa terjadi di sana-sini. Satu-satunya kegusaran Puri adalah ketika para suster asrama kuatir apakah dia kuat puasa 15 jam, cukup nutrisi, dan bisa makan 4 sehat 4 sempurna.

“Saya salat di kamar dan tiap kamar memajang salib. Tapi buat saya, inilah keragaman keyakinan dan toleransi yang paling personal yang pernah saya alami dalam hidup.”

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Maulida Sri Handayani