tirto.id - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian berencana memangkas prosedur pemakaian slag atau limbah tambang bekas peleburan logam agar lebih cepat digunakan untuk keperluan reklamasi di lokasi bekas tambang.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan proses penggunaan limbah slag selama ini harus melalui proses dan metode yang panjang, terutama ketika menilai limbah tersebut masuk dalam limbah B3 atau tidak.
“Yang penting boleh ada kemudian untuk memutuskan oh ini bukan B3. Tadinya panjang sekali prosesnya 100 macem. Ini disederhanakan pokoknya ada logam berat dan tidak,” kata Darmin di kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (30/8/2019).
Slag adalah limbah padat nonlogam yang terpisah dari hasil utama peleburan logam yang berupa logam cair. Umumnya, logam yang didapatkan itu hanya 2-3 persen dari total tanah yang dikeruk di tambang tersebut.
Sisanya yang berupa tanah bakal dipakai untuk menutup lubang tambang atau biasa disebut dengan reklamasi. Rencananya, penyederhanaan ini bakal menyasar sisa olahan pada nikel dan baja.
Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengategorikan slag sebagai limbah B3 yang berbahaya. Jika tak ada aral melintang, penyederhanaan ini akan diputuskan pada 2-3 pekan ke depan.
Jika berhasil, lanjut Darmin, pemanfaatan slag tersebut tidak hanya untuk lubang tambang, tetapi juga untuk keperluan lain. Misalnya, bahan campuran bagi jalan atau bahan bangunan seperti semen.
Sementara itu, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menuturkan slag umumnya ditimbun di dekat lokasi tambang. Namun, ternyata penempatannya kini kian sulit berhubung keterbatasan lahan.
“Bagusnya nanti misalnya kalau satu tambang, ada smelter sama tambangnya. Slag kan susah dikemanain. Jikaada lubang tambang, slagnya dikaji biar bisa ke situ,” tuturnya.
Jika rencana ini diterima KLHK, aturan mengenai reklamasi tambang akan berubah lantaran sebelumnya tidak mengakomodir slag. Adapun, hingga saat ini, rencana itu masih digodok oleh kementerian ESDM.
“Jadi reklamasi kan bisa nutup. Juga tergantung harus melalui addendum dokumen reklamasi. Dulu tidak ada slag yang masuk sekarang bisa ada,” jelas Yunus.
Selama ini, penanganan lubang tambang masih jauh dari optimal. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sekitar 70 persen dari total 1.735 lubang tambang belum direklamasi.
Pemerintah pusat berdalih bahwa pengawasan pemerintah daerah kurang maksimal sehingga para penambang tidak melakukan reklamasi. Imbasnya, sudah ada 33 orang meninggal akibat lubang tambang di Kaltim.
Editor: Ringkang Gumiwang