tirto.id - Dokter Rubini menjadi salah satu tokoh pejuang kemerdekaan yang diusulkan mendapatkan status sebagai pahlawan nasional pada tahun 2022. Usulan telah disampaikan Pemprov Kalimantan Barat ke pemerintah pusat pada beberapa bulan lalu, dan saat ini sedang dalam proses pengkajian.
Selain Pemprov Kalbar, Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) juga mengajukan usulan agar Dokter Rubini diangkat sebagai pahlawan nasional. KOWANI menemukan sejumlah bukti sejarah bahwa Dokter Rubini aktif melawan kekerasan kepada perempuan dan anak-anak selama masa kolonial, terutama di era penjajahan Jepang.
Sebagai kepala rumah sakit di Pontianak, dr Rubini pun aktif mendukung perjuangan kemerdekaan pada era penjajahan Belanda maupun Jepang. Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat, Dokter Rubini sebenarnya dapat dievakuasi ke tempat aman ketika pasukan Jepang mendarat di Kalbar.
Namun, ia memilih tetap bertahan di Pontianak dan melanjutkan tugasnya merawat pasien. Dokter Rubini kemudian turut menjadi korban tewas dalam peristiwa Mandor Juang pada tahun 1944.
Tragedi Mandor Juang menelan puluhan ribu korban jiwa. Dalam peristiwa itu, pembantaian massal dilakukan oleh tentara Jepang dengan dalih mencegah pemberontakan. Banyak tokoh Kalbar yang "dilenyapkan" dalam insiden tersebut.
"Dokter Rubini sepanjang hidupnya menjadi pejuang kemanusiaan dan pejuang kemerdekaan, [ia] sangat layak diajukan sebagai pahlawan nasional," kata Asvi di webinar “Calon Pahlawan Nasional dr Rubini" pada 27 April 2022 lalu, seperti diwartakan Antara.
Profil Dokter Rubini dan Riwayat Hidupnya
Raden Rubini Natawisastra lahir pada 31 Agustus 1906 di Bandung, Jawa Barat. Dia mendapatkan pendidikan kedokteran dari STOVIA.
Setelah lulus dari STOVIA pada tahun 1930, Rubini mengabdikan dirinya sebagai dokter di Jakarta. Di tahun 1934, dr. Rubini dipindahkan ke Pontianak. Di sana, ia bertugas sebagai Kepala Kesehatan Pontianak.
Dr. Rubini mempunyai istri yang bernama Ny. Amalia. Pasangan ini dikaruniai lima orang putri yang bernama Rubinneta, Aminetty, Marlina, Martini, dan Maryetty.
Selama bertugas di Pontianak, ia sangat memperdulikan kesehatan masyarakat Kalimantan Barat. Rubini dikenal kerap melakukan pengobatan dengan mengunjungi perdesaan dan pedalaman yang terpencil.
Selain menjadi dokter, Rubini juga sempat aktif mendukung perjuangan kemerdekaan melalui jalur politik. Dia bergabung dengan Partai Indonesia Raya (Parindra). Dalam bukuSejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Kalimantan Barat (1981) terbitan Departemen P dan K, disebutkan bahwa Rubini masuk dalam jajaran petinggi Parindra Kalbar pada akhir 1930-an.
Selama era penjajahan Jepang, aktivitas politik Rubini juga tidak berhenti. Dia turut menjadi tokoh pelopor gerakan bawah tanah untuk melawan tentara pendudukan Jepang di Kalbar.
Pada tahun 1942, terjadi perpindahan kekuasaan akibat kekalahan Belanda dari Jepang. Tentara Jepang pun langsung melakukan siasat licik dengan hanya menyisakan 3 dokter di luar Pontianak, yaitu di Sintang, Sanggau dan Ketapang.
Hal tersebut dilakukan Jepang untuk menjauhkan pemuka-pemuka masyarakat dan cendekiawan di Kalimantan Barat dari rakyat. Tidak berselang lama, Jepang melakukan penangkapan berturut-turut terhadap Sultan Pontianak, para penembahan, pemuka serta kepala adat di seluruh pelosok Kalimantan Barat.
Rubini turut ditangkap oleh gunkansaibu(tentara Jepang). Ia ditangkap pada tahun 1944 bersama dengan dr. Ismail, dr. Achmad Diponogoro, dr. Soenaryo, dan dr. Agoesdjam. Rubini lantas tewas di peristiwa Mandor Juang.
Atas usul masyarakat dan persetujuan DPRD II Pontianak, serta persetujuan ahli waris almarhum dr. Rubini, SK Bupati Nomor 121 Tahun 1984 menetapkan Rumah Sakit Umum Mempawah beralih nama menjadi Rumah Sakit Dokter Rubini.
Sejarah Tragedi Mandor Berdarah
Tragedi Mandor Berdarah (Mandor Juang) di Kalimantan Barat termasuk salah satu pembantaian massal terbesar yang dilakukan oleh tentara Jepang selama Perang Dunia II. Meski tidak ada data pasti jumlah korban, puluhan ribu orang diduga kuat tewas dalam pembantaian pada tahun 1943-1944 tersebut.
Berdasarkan pengakuan dari Kapten Yamamato, eks Kepala Kempeitai di Pontianak sewaktu diadili sebagai penjahat perang oleh Pengadilan Nica/Belanda di Pontianak, jumlah korban tragedi Mandor mencapai 50.000 orang.
Adapun pemerintah Kalimantan Barat secara resmi mencatat ada 21.037 orang jadi korban dalam Peristiwa Mandor Berdarah. Angka itu didasarkan pada catatan Laksamana Muda Kaigun Kiyotada Takahashi yang pernah bertugas di Pontianak.
Menurut Tsuneo Iseki dalam Pembantaian Penduduk Borneo Barat: Pembuktian Peristiwa Pontianak (1987), situasi Kalbar di masa awal pendudukan Jepang sebenarnya kondusif. Namun, pemerintah militer Nippon tetap membubarkan sejumlah organisasi yang dinilai anti-Jepang, meski mayoritas pemimpin rakyat di Kalbar terlihat kooperatif.
Setelah sejumlah organisasinya dibubarkan, para pelopor pergerakan di wilayah itu tak menyerah. Dipelopori Raden Pandji Noto Soedjono dan dr. Rubini, puluhan eksponen gerakan yang dibubarkan itu membentuk organisasi baru bernama Nissinkai. Mereka yang bergabung dengan Nissinkai kerap mengadakan pertemuan di Gedung Medan Sepakat Pontianak.
Nama Nissinkai yang berbau Jepang digunakan buat kamuflase bagi kepentingan pergerakan anti-penjajahan Nippon. Nissinkai secara diam-diam memengaruhi para penguasa feodal, pengusaha, dan tokoh masyarakat lokal untuk melawan Jepang. Para pemuda Seinendan, Heiho, dan Keibodan yang dilatih Jepang bahkan turut terpengaruh sehingga mulai berani melawan.
Otoritas militer Jepang semula memang merestui keberadaan organisasi itu dan menilai Nissinkai bisa dimanfaatkan untuk kepentingan Nippon. Sikap itu berubah drastis setelah mata-mata kiriman Jepang mengendus aktivitas Nissinkai.
Setelah itu, penangkapan terhadap mereka yang terkait dengan Nissinkai digencarkan sejak tahun 1943 hingga 1944. Mereka yang ditangkap lantas dieksekusi oleh tentara Jepang di daerah Mandor.
Gelombang penangkapan dan pembantaian itu terjadi dari Oktober 1943 hingga Juni 1944. Puncak penangkapan dilakukan saat Konferensi Nissinkai di Pontianak pada 24 Mei 1944. Semua peserta konferensi ditangkap dan divonis mati lewat pengadilan kilat.
Aksi brutal tentara Jepang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Masyarakat Kalbar baru gempar setelah Koran Borneo Sinbun edisi 1 Juli 1944 menurunkan berita propaganda bertajuk “Komplotan Besar Jang Mendoerhaka Oentoek Melawan Dai Nippon Soedah Dibongkar Sampai Akar-akarnja.”
Propaganda itu menegaskan, Nissinkai telah dihancurkan oleh militer Jepang, tanpa menerangkan proses eksekusi para korban.
Selain para aktivis dan tokoh pergerakan, di antara mereka yang ditangkap oleh Jepang termasuk kalangan bangsawan yang bersimpati pada Nissinkai. Sultan Syarif Mohammad Alkadri dari Istana Kadriyah, Sultan Sambas, dan Sultan Mempawah Mohammad Taoefik Aqamaddin masuk di daftar orang yang ditangkap.
Dokter Rubini sebagai salah satu penggerak Nissinkai masuk dalam jajaran dokter sekaligus tokoh Parindra Kalbar yang dibunuh oleh tentara Jepang. Selain dia, dr. Agus Djam, dr. Sunaryo, dan dr. Ismail juga termasuk tokoh Parindra yang dieksekusi. Sejumlah dokter lainnya di Kalbar, seperti dr. Zakir dan dr. Diponegoro, turut menjadi korban yang dibunuh.
Tengkorak mayoritas korban pembantaian ini ditemukan menumpuk di Desa Kopyang, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak. Area sepi itu berada sekitar 90 km dari Pontianak di tepi jalan menuju Ngabang.
Tragedi Mandor bisa dibilang telah melenyapkan satu generasi terbaik di Kalbar. Untuk mengenang tragedi itu, pada tahun 1977, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mendirikan Monumen Makam Juang Mandor di Kabupaten Landak, Kalbar. Tanggal 28 Juni pun ditetapkan jadi hari berkabung.
Lokasi monumen tersebut berada di tempat penemuan ribuan mayat korban tragedi Mandor.
Penulis: Fadhillah Akbar Zakaria
Editor: Addi M Idhom