Menuju konten utama

Profil Artidjo Alkostar Hakim "Kiler" Musuh Koruptor Jadi Dewas KPK

Artidjo Alkostar sering mendapat sorotan karena keputusannya terhadap kasus-kasus besar korupsi di Indonesia yang dinilai berani.

Profil Artidjo Alkostar Hakim
Dewan Pengawas KPK Artidjo Alkostar, Jumat (20/12/2019). antara/Desca Lidya Natalia

tirto.id - Artidjo Alkostar, menjadi salah satu Dewan Pengawan (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hari ini dilantik Presiden Jokowi di Intana Negara, Jumat (20/12/2019).

Saat mendatangi Istana Negara jelang pelantikannya tadi, Artidjo Alkostar mengaku menerima sebagai Dewas karena menjadi panggilan republik.

"Ya panggilan republik ini, saya tidak boleh egoistis, mungkin kepentingan saya tapi kan kalau itu diperlukan kan negara perlu kita bantu, negara kita kan negara kita bersama," kata Artidjo.

Artidjo mengaku sudah dihubungi untuk menjadi salah satu Dewan Pengawas KPK beberapa hari yang lalu.

"Anggota Dewas tergantung orangnya, kita profesional dan proporsional, proporsional itu penting menjaga keseimbangan supaya lembaga ini sehat dan bekerja baik, sesuai harapan bersama," ungkap Artidjo.

Artidjo Alkostar merupakan salah satu pensiunan hakim MA di usia 70 tahun pada Selasa (22/5/2018) lalu.

Nama Artidjo Alkostar tak asing lagi di pemberantasan korupsi. Pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur ini sering mendapat sorotan karena keputusannya terhadap kasus-kasus besar korupsi di Indonesia.

Hakim yang dikenal “kiler” bagi terdakwa korupsi ini memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi yang sudah tak terbantahkan lagi dari putusan-putusannya. Beberapa putusan kasasi yang diajukan oleh sejumlah pejabat publik yang korup, Artidjo selalu mengganjarnya dengan hukuman berat.

Tak tanggung-tanggung, pria yang ikut membidani lahirnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ini dijuluki si “Hakim Gila” karena putusan-putusannya yang memberatkan koruptor.

Sepak terjangnya membuat hakim kelahiran Artidjo mendapat amanah menjadi Ketua Muda Kamar Pidana Mahkamah Agung.

Nama Artidjo mulai dikenal publik setelah memperberat vonis Angelina Sondakh dari 4 tahun penjara menjadi 12 tahun. Sejak saat itu, Artidjo seringkali memberikan vonis yang memberatkan kepada para koruptor.

Artidjo pernah memperberat hukuman OC Kaligis, penyuap Mantan Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan, Sumatera Utara Tripeni. Hukuman terhadap pengacara kondang itu diperberat dari tujuh tahun menjadi 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Selain itu, Artidjo juga pernah menolak kasasi yang diajukan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Ia memperberat hukuman terhadap Anas menjadi 14 tahun serta denda Rp5 miliar subsider satu tahun empat bulan kurungan.

Artidjo juga tercatat pernah memperberat hukuman Lutfi Hasan Ishaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara, dan masih banyak putusan lainnya yang dianggap berani dan kontroversial.

Artidjo juga pernah berbagi kisahnya dengan redaksi Tirto kala menangani kasus korupsi Soeharto.

Kala itu, Jumat (25/5/2018) di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta ia menceritakan kenangan besar selama 18 tahun aktif sebagai hakim agung. Meskipun ia menganggap semua perkara yang ditangani sama, Artidjo menilai penanganan perkara korupsi yang menjerat Presiden Soeharto sebagai perkara berkesan.

"Saya kira semua perkara sama ya, tapi waktu awal saya menjadi hakim agung tahun 2000-an, saya pernah menangani perkara Presiden Soeharto," kata Artidjo di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Jumat (25/5/2018).

Presiden Soeharto memang pernah ditangani oleh Artidjo Alkostar. Dalam perkara korupsi Presiden Soeharto, Artidjo memberikan kontribusi fenomenal lantaran memutus agar negara membayarkan biaya pengobatan Soeharto yang saat itu sedang sakit.

Padahal, hakim ketua perkara Soeharto kala itu, yakni Syafiuddin Kartasasmita ditembak orang tak dikenal. Setelah diproses hukum, pelaku penembakan ternyata orang suruhan Tommy Soeharto, anak Presiden Soeharto.

Selain masalah penembakan, Artidjo pernah menangani kasus pembubaran partai Golkar. Kala itu, sejumlah aktivis pro-demokrasi mengajukan tuntutan ke Mahkamah Agung untuk membubarkan Golkar.

Mereka menuduh Partai yang dulu berkuasa ini telah mengumpulkan dana kampanye secara tidak sah dalam pemilihan umum 1999.

Namun, Artidjo dan para hakim mengatakan tidak cukup bukti yang menunjukkan Golkar telah melanggar batasan dan aturan pendanaan kampanye pemilu.

"Kalau yang lain-lain itu saya kira ya tidak ada masalah. Presiden Soeharto ada saat ini apalagi presiden partai. Kan enggak ada masalah bagi saya," kata Artidjo.

Baca juga artikel terkait DEWAN PENGAWAS KPK atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Politik
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Abdul Aziz