tirto.id - Cuaca buruk, tingginya curah hujan, dan banjir bakal menentukan nasib produksi padi dan beras Indonesia tahun 2021. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menyatakan perlu upaya ekstra agar potensi produksi dapat tercapai maksimal selain berharap alam ada di pihak petani.
“Yang perlu diwaspadai curah hujan tinggi sehingga bisa [menyebabkan] gagal panen dan banjir. Kita perlu berupaya agar angka potensi realisasi produksi terjaga dan harga gabah stabil,” ucap Suhariyanto dalam konferensi pers virtual, Senin (2/3/2021).
Banjir dan hujan telah melanda sejumlah sentra produksi. Selama tahun 2020, ada 11 provinsi berstatus penghasil padi mengalami penurunan produksi. Dari mulai Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Bali, Sulawesi Selatan, NTB, NTT, Sulawesi Tengah, hingga Sulawesi Tenggara.
Tujuh dari 11 provinsi melaporkan banjir di areal persawahan dan tiga di antaranya menyebut banjir terjadi karena intensitas dan curah hujan ekstrem. Sementara tiga provinsi lainnya melaporkan adanya pergeseran musim hujan sehingga sawah mengalami kekeringan dan masa tanam tertunda.
Meski di sejumlah daerah banjir bukan satu-satunya penyebab penurunan produksi, tetapi dampaknya cukup terasa. Di Jawa Barat, misalnya, banjir menyebabkan produktivitas padi turun dari 5,75 ton/Ha (2019) menjadi 5,68 ton/Ha (2020)--padahal luas panen naik 0,51 persen.
Menurut data BPS, produksi padi Januari-April di tahun 2020 sempat turun ke angka 19,99 juta Gabah Kering Giling (GKG) dari tahun 2019 23,78 juta GKG. Produksi beras juga turun dari 13,63 juta ton ke 11,46 juta ton.
Pada tahun 2021, perhitungan sementara BPS potensi produksi seberat 25,37 juta ton GKG dan 14,54 juta ton beras. Meski relatif naik dari 2019 dan 2020, Suhariyanto mengingatkan, “angka potensi bersifat sementara” yang realisasinya “bisa berubah tergantung dampak cuaca dan produksi kita.”
Sejalan dengan peringatan itu, gangguan banjir dan hujan pada sawah sudah mulai terlihat. Februari 2021 lalu, ribuan hektare sawah di Kudus, Bekasi, dan Cirebon terancam gagal tanam dan puso. Di awal Maret 2021, giliran ratusan hektare sawah di Karawang, Jawa Barat yang terancam puso akibat banjir. Belum lagi daerah lain yang belum terlaporkan.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah meyakini banjir dan tingginya curah hujan belum akan berpengaruh pada produksi padi dan beras 2021. Pasalnya cuaca masih terkonsentrasi pada Januari-Februari yang bukan musim panen di mayoritas sentra produksi. Faktor lainnya, sejumlah daerah masih bisa meningkatkan produktivitas sehingga dapat mensubtitusi wilayah sawah lain yang kebanjiran.
Produksi baru akan terpengaruh bila cuaca buruk berlanjut setidaknya sampai Maret lantaran hujan dan banjir akan terjadi bersamaan dengan musim panen--yang pastinya akan mengganggu produksi. Efeknya dapat lebih buruk jika banjir memang terjadi secara menyeluruh di sentra-sentra produksi padi, katanya.
Dampak hujan pada musim panen juga akan mencakup peningkatan kadar air pada gabah. Bila itu terjadi, maka harga gabah akan turun karena kualitasnya memburuk. Hal ini menurutnya perlu diantisipasi agar harga di tingkat petani tidak jatuh.
“Kalau Maret tiba-tiba byur (hujan) enggak tau juga, ya. Kita berharap saja. Prediksi BMKG, kan, hanya Januari-Februari musim hujan,” ucap Rusli kepada reporter Tirto saat dihubungi pada Selasa (2/3/2021).
Meski produksi beras tetap aman, Rusli menilai musim penghujan dan banjir di awal 2021 tetap tidak bisa diabaikan. Pasalnya, dampaknya terasa pada komoditas lain terutama hortikultura--yang sensitif terhadap cuaca. Contohnya cabai. Menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga cabai rawit saat ini 'semakin pedas', yaitu rata-rata Rp77.200/kg per Selasa (2/3/2021). Di Jakarta harganya sudah menyentuh Rp108.350/kg.
Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono mengatakan tren banjir dan hujan deras yang terjadi baru-baru ini memang relatif tidak biasa dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini diyakini terjadi seiring perubahan iklim yang belum cukup mendapat perhatian berbagai negara termasuk Indonesia.
Yuyun mengatakan ke depan bukan tak mungkin intensitas hujan maupun banjir dapat memburuk sampai-sampai perubahan iklim memengaruhi produksi pertanian bahkan kehidupan masyarakat pesisir.
Sejalan dengan penjelasan Yuyun, Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah bencana hidrometeorologi--yang disebabkan oleh cuaca dan utamanya air--terus meningkat. Tahun 2016 jumlahnya 2.342 dan pada 2019 menjadi 3.731. Banjir juga sama. Dari 766 di 2016 menjadi 784 di 2019 dan 1.080 di 2020.
Meski tren bencana meningkat, Yuyun mengkritik pemerintah yang belum berminat melipatgandakan upaya mitigasi perubahan iklim. Salah satunya terlihat dari tidak ada peningkatan target penurunan emisi setelah Konferensi Paris 2016 (COP 21).
“Seharusnya ada peninjauan ulang komitmen lama kita. Ini sudah cukup enggak sih mengurangi laju perubahan iklim. Itu enggak dilakukan. Enggak ada komitmen baru meski ada adaptasi lebih baik,” ucap Yuyun kepada reporter Tirto, Selasa.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino