Menuju konten utama

Produk Baru LEGO untuk Pemberantasan Buta Aksara Braille

LEGO Braille Bricks diluncurkan untuk meningkatkan minat anak dalam belajar membaca aksara braille.

Produk Baru LEGO untuk Pemberantasan Buta Aksara Braille
Lego Bricks di tangan anak-anak dengan blok Lego Duplo dan latar belakang mainan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada Rabu (24/4), perusahaan mainan LEGO merilis set 'batu bata' terbarunya. Kali ini, produsen asal Denmark tersebut membuat LEGO Braille Bricks.

LEGO Braille Bricks diluncurkan sebagai peranti bagi tunanetra, dewasa maupun anak-anak, untuk mempelajari aksara braille.

Seperti diberitakan CNN, LEGO jenis ini memiliki 250 buah blok, meliputi alfabet braille lengkap, angka dari nol sampai sembilan, simbol matematika, dan inspirasi pengajaran dengan permainan interaktif.

Menurut LEGO, karya ini merupakan sebuah terobosan dalam metode pembelajaran bagi tunanetra. Dalam wawancara dengan New York Times, Diana Ringe Krogh, salah satu pengawas proyek untuk Yayasan Lego, menyampaikan bahwa konsep ini akan melahirkan pengalaman baru dalam proses belajar tunanetra.

“Mereka hampir tak menyadari sedang belajar. Ini benar-benar pendekatan pembelajaran melalui permainan,” ungkap Krogh dilansir New York Times.

Tentu saja dengan cara ini para tunanetra diharapkan bisa menemukan metode belajar Braille yang menyenangkan.

Sebenarnya, konsep dari gim ini tak berasal dari LEGO sendiri. Pada 2011, Asosiasi Tunanetra Denmark (Danish Association of the Blind) mengusulkannya kepada LEGO Foundation, sebuah yayasan milik LEGO Group yang memiliki misi mengembangkan metode pembelajaran melalui permainan. Pada 2017, usul yang sama kembali dilontarkan oleh Dorina Nowill Foundation for the Blind, sebuah yayasan untuk tunanetra yang berbasis di Brasil.

Yayasan-yayasan tersebut berharap metode ini bisa memerangi “krisis melek huruf braille” yang akhir-akhir ini terjadi akibat kemajuan teknologi.

Presiden Asosiasi Tunanetra Denmark Thorkild Olesen menyampaikan kepada New York Times bahwa banyak anak tunanetra yang memilih untuk berhenti belajar braille. Sebagian dari mereka bahkan tak melek braille sama sekali.

Sebelum LEGO model braille muncul, ada permainan kartu UNO dan blok alfabet braille yang menawarkan konsep serupa, yakni sebagai media alternatif untuk belajar braille.

Teknologi dan Krisis Melek Braille

Kemunculan buku audio dan aplikasi pembaca memang memudahkan tunanetra dalam mengakses informasi. Sayangnya, setelah itu muncul ketergantungan karena medium audio kurang efektif dalam mengajarkan keterampilan kritis seperti mengeja dan tata bahasa, apalagi soal hitungan matematika yang rumit.

Blogger asal Inggris Tim Worstall dalam artikel di Forbespernah menuliskan tentang sulitnya penyandang tunanetra mendapatkan bahan bacaan akibat arus digitalisasi literasi. Kini buku yang diterbitkan dalam huruf braille bahkan jumlahnya tak lebih dari 1 persen.

Menurut Worstall, hal itu akibat sedikitnya orang tunanetra yang bisa membaca menggunakan aksara braille. Maka pasar produksi bacaan menjadi terbatas karena dianggap tak menguntungkan.

Di Amerika Serikat, krisis literasi braille telah menjadi perhatian dari organisasi para penyandang tunanetra National Federation of the Blind (NFB) .

Pada laporan berjudul “The Braille Literacy Crisis in America: Facing the Truth, Reversing the Trend, Empowering the Blind” (2009) (PDF), NFB mencatat hampir 90 persen anak-anak tunanetra di Amerika tidak belajar membaca dan menulis karena tidak belajar braille atau tak memiliki akses ke sana.

Krisis melek huruf braille ini sama halnya dengan orang yang mampu melihat, tapi tak bisa membaca alias buta huruf. Hal ini telah terbukti berpengaruh terhadap masa depan tunanetra. NFB menemukan ada 70 persen orang dewasa tunanetra menganggur dan 50 persen siswa sekolah menengah tunanetra terpaksa putus sekolah.

Ada banyak faktor rendahnya literasi di kalangan tunanetra, misalnya krisis guru Pada tahun 2003, Amerika Serikat hanya memiliki 6.700 guru tunanetra untuk melayani 93.600 siswa. Hal itu diperparah dengan tidak adanya sertifikasi bagi pengajar braille.

Itu bukan faktor tunggal. Stigmatisasi atas sistem braille juga membuat penyandang tunanetra malas belajar. Banyak siswa yang berpikir bahwa membaca braille lebih lambat ketimbang membaca cetak”.

Sayangnya, pandangan tersebut kerap mendorong orangtua mencari instruktur untuk anak yang memiliki penglihatan rendah. Akibatnya, siswa tak bisa membaca buku cetak secara efisien.

Faktor terakhir adalah paradoks teknologi. Ketersediaan teknologi yang mumpuni memang menghadirkan kemudahan, misalnya perangkat lunak penerjemah dokumen yang cepat dan tepat. Namun, 89 persen guru di Amerika Serikat setuju jika teknologi itu cukup ditempatkan sebagai peranti pendukung, bukan pengganti.

Salah satu perangkat yang bisa menjadi pendukung bagi penyandang tunanetra adalah Blitab. Blitab adalah sebuah tablet yang dirancang untuk memudahkan pembaca braille untuk mengarungi dunia maya, membangun jejaring, serta mengakses bacaan-bacaan yang bisa dinikmati orang non-tunanetra.

Desainer Blitab Kristina Tsvetanova membeberkan kepada New York Times tentang asal-usul kelahiran penemuannya. Blitab terinspirasi dari pengalaman Tsvetanova membantu seorang teman tunanetra untuk melakukan pendaftaran daring sebuah kelas. Di situ ia menyadari bahwa banyak teknologi yang beredar kurang ramah penyandang tunanetra.

Perangkat ini memiliki dua bidang tampilan yang terpisah atas-bawah. Bidang bagian bawah merupakan layar sentuh yang dapat membantu pengguna untuk memilih aplikasi atau penelusuran web melalui suara pengguna. Hasil pencarian itu kemudian ditampilkan pada layar bagian atas yang berbentuk aksara braille.

“Blitab berarti melek huruf,” kata Tsvetanova kepada New York Times. “Membacanya sendiri adalah langkah besar menuju kemerdekaan,” tambahnya.

Manfaat Memahami Braille

Kemampuan membaca aksara braille memiliki dampak positif bagi penyandang tunanetra. Seperti dipublikasikan dalam artikel di Very Well Health, orang tunanetra yang mampu membaca braille akan lebih mudah memahami dasar struktur kalimat dan tanda baca.

Selain itu, orang yang mampu membaca braille dianggap lebih mandiri karena braille lebih umum dijumpai pada fasilitas publik ketimbang perangkat audio.

Edward C. Bell dan Natalia M. Mino pada riset “Employment Outcomes for Blind and Visually Impaired Adults” (2015, PDF) menemukan manfaat lain dari kemampuan membaca braille. Dalam studi tersebut, mereka melibatkan 1.056 responden dengan kemampuan penglihatan lemah dan tunanetra pada usia kerja, antara 18 sampai 70 tahun.

Partisipan dalam survei yang dilakukan oleh Bell dan Mino tersebut terbagi menjadi 56,34 persen (595 orang) perempuan dan 43,66 persen (461 orang) laki-laki.

Salah satu komponen yang diteliti oleh Bell dan Mino adalah tingkat gaji dan jabatan karyawan dilihat dari penguasaan mereka terhadap aksara braille. Hasilnya, mereka yang merupakan pembaca braille dipekerjakan dengan jabatan yang lebih tinggi ketimbang yang tidak membaca braille.

Tak hanya itu, gaji tahunan pembaca braille pun lebih besar ketimbang mereka yang bukan pembaca braille. Perbedaan pendapatan mereka bahkan mencapai 11.000 dolar AS.

Infografik Lego Braille

undefined

Hasil studi Bell dan Mino sejalan dengan survei National Federation of the Blind yang menemukan bahwa kemampuan membaca braille berkorelasi dengan tingkat pendidikan, kemungkinan pekerjaan, dan tingkat pendapatan yang lebih tinggi.

Jadi, mempelajari aksara braille sejak dini tak hanya bermanfaat bagi kemandirian dalam beraktivitas para penyandang tunanetra, tapi juga bisa membawa kemandirian finansial saat dewasa.

Mainan Alternatif

Permainan seperti Lego, UNO, dan blok alfabet bisa ditebus dengan ongkos yang tidak sedikit. Jika Anda tak memiliki dana berlebih untuk membelinya, tak perlu khawatir. Untuk sang buah hati, Anda bisa membuatnya sendiri.

Situs resmi Professional Development and Research Institute on Blindness (PDRIB)—sebuah lembaga di Amerika Serikat yang berfokus pada pengembangan profesional dan penelitian bagi penyandang tunanetra—membagikan cara (PDF) membuat permainan memori dengan braille.

Dalam permainan ini, Anda cukup membuat aksara braille yang masing-masing ditulis pada kertas berukuran 3x5 cm (bisa lebih besar, sesuai keinginan). Kemudian beri tanda untuk membantu anak menentukan sisi atas dari kertas, misal dengan memotong salah satu sudut kertasnya.

Susun kartu tersebut dan minta anak untuk mengingat letak huruf-hurufnya. Kemudian sebut huruf yang ada di kartu itu dan mintalah anak untuk mencari posisi kartu.

Agar tak jenuh, Anda bisa membuat aktivitas selingan di luar ruangan dengan mengajak mereka bermain bersama teman-teman sebayanya, misal bermain petak umpet atau bermain bola.

Menurut National Federation of the Blind (NFB), permainan tersebut bisa melatih kemampuan adaptasi bagi anak-anak tunanetra dan melatih kepercayaan diri mereka.

Baca juga artikel terkait PERMAINAN atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Widia Primastika
Editor: Windu Jusuf