tirto.id - Dalam leg kedua semifinal Liga Champions 2018 antara AS Roma kontra Liverpool, ada fakta menarik. Danielle De Rossi mengaku melihat bola tendangan El Shaarawy mengenai tangan Alexander-Arnold. Namun, ia tak melihat seorang pun rekannya yang mengangkat tangan atau berteriak “penalti”. Hal itu membuatnya ragu.
Rossi yang turun di pertandingan tersebut lantas bertanya pada Dzeko yang berada di dekatnya apakah bola tadi mengenai bek sayap Liverpool. Dzeko, kata Rossi, berpikir itu bukan handball.
“Hal itu membuatku sadar tidak mudah bagi wasit untuk melihat kejadian sebenarnya,” ujar suksesor Fransesco Totti dalam urusan ban kapten ini.
Bandingkan dengan pernyataan dua orang lain yang tidak berada di lapangan.
“Sebuah pertandingan yang hampir sempurna dirusak wasit,” tulis editor Corriere dello Sport, Alessandro Vocalelli, selepas pertandingan leg kedua babak semifinal Liga Champions antara AS Roma versus Liverpool kemarin malam.
Vocalelli merujuk beberapa keputusan kontroversial Damir Skomina, wasit asal Slovenia, yang memimpin pertandingan tersebut. Setidaknya, ada dua penalti yang seharusnya diberikan Skomina untuk Roma dan barangkali dua kartu merah untuk pemain Liverpool. Plus satu penalti, bahkan dua, yang bisa saja diklaim oleh Liverpool.
Di menit ke-50, saat kedudukan 1-2, Edin Dzeko dijatuhkan kiper Karius di kotak dua belas pas. Wasit tak memberikan tendangan penalti karena menganggap Dzeko sudah dalam posisi offside saat menerima operan. Padahal dari tayangan ulang posisi Dzeko dengan jelas tidak berada dalam posisi offside. Empat belas menit kemudian, saat kedudukan 2-2, tembakan El Shaarawy dari dalam kotak penalti diblok Alexander-Arnold dengan tangan.
Kendati memenangkan laga dengan skor akhir 4-2, AS Roma tersingkir karena kalah aggregat 7-6. Presiden Roma, James Pellotta, menyebut kinerja wasit dalam pertandingan itu “lelucon yang sempurna”.
Pelotta, atau Vocalelli, tak menyebut dua penalti yang bisa didapatkan Liverpool di babak pertama. Ada dua momen kontroversial bagi Liverpool yaitu saat Mane didorong oleh Manolas dan saat bola menyentuh tangan Radja Nainggolan.
Pendeknya: Skomina memimpin dengan buruk.
Kritik atas kepemimpinan wasit di Liga Champions musim ini tak hanya terjadi Rabu malam kemarin. Satu hari sebelumnya, Bayern dirugikan karena tak mendapat penalti setelah umpan Kimmich dengan jelas mengenai tangan Marcelo di kotak penalti. Mundur dua minggu ke belakang, di babak perempat final, Juventus dan Manchester City juga merasa dirampok oleh keputusan kontroversial wasit.
Musim lalu pun fase gugur Liga Champions tak sepi dari kontroversi. Misalnya, kekeliruan wasit saat mengusir Arturo Vidal dan mengesahkan dua gol offside Christiano Ronaldo. Atau bagaimana Deniz Aytekin yang memimpin laga Barcelona versus PSG secara krusial menguntungkan tim asal Catalan tersebut saat memberi penalti akibat diving Luis Suarez di babak perpanjangan waktu, namun tak memberi keputusan serupa kala Javier Macherano menjatuhkan Angel Di Maria.
Melihat kecenderungan di atas, mudah sekali untuk memandang wasit sebagai biang keladi kekalahan sebuah tim. Namun, benarkah kenyataannya sesederhana demikian?
Menakar Kinerja Wasit
Dalam artikel berjudul “Referee Myth-Busting: How Many Decisions Do Officials Get Right?” di Skysport, Gerard Brand membahas tentang apa yang dilakukan wasit selama satu pertandingan. Kendati apa yang ditulis Brand dalam konteks wasit di Liga Inggris, namun data yang dikemukakannya bisa dijadikan gambaran kasar mengenai apa yang dilakukan wasit umumnya dalam satu pertandingan, termasuk untuk wasit di Liga Champions.
Mengutip Professional Game Match Officials (PGMO), sejenis badan wasit Liga Inggris, Brand menyebut wasit di Liga Premier membuat 245 keputusan per pertandingan.
“Itu tiga kali lebih banyak dibanding rata-rata pemain menyentuh bola selama 90 menit,” catatnya. “Artinya wasit membuat keputusan setiap 22 detik dalam setiap pertandingan.”
Masih menurut Brand, kira-kira 45 dari keputusan tersebut bersifat teknis seperti perihal lemparan, tendangan sudut, atau tendangan gawang. Sisanya, 200 keputusan, dibuat untuk menentukan tindakan disipliner dan untuk menilai ada-tidaknya kontak fisik antar pemain
“Dari 200 keputusan tersebut, 35 di antaranya merupakan keputusan yang bisa dilihat seperti misalnya pelanggaran, dan 165 lainnya berupa keputusan yang tak terlihat yang membuat pertandingan terus berjalan. Secara keseluruhan wasit membuat 5 keputusan keliru per pertandingan. Artinya keputusan yang mereka buat 98 persen benar sepanjang pertandingan.”
Melihat data tersebut, frasa klise “wasit juga manusia” menjadi tak sekadar sebuah dalih semata. Selisih antara keputusan benar dan keliru yang dilakukan wasit begitu tinggi, sehingga kekeliruan tersebut bisa dianggap sebagai human error, sesuatu yang patut dimaklumi. Sayangnya kebanyakan orang lebih mengingat keputusan wasit yang keliru dibanding keputusan mereka yang benar.
Sepakbola dan Olahraga Lain
Kecenderungan banyak orang untuk mengingat kekeliruan wasit tampaknya berkelindan dengan sifat alamiah sepakbola. Berbeda dengan cabang olahraga lain, sepakbola merupakan olahraga yang dibatasi waktu serta memiliki skor atau poin yang kecil.
Artinya, kemenangan atau kekalahan, sangat tergantung pada satu momen krusial. Salah satunya adalah keputusan wasit. Apakah itu memberi atau menolak penalti, memutuskan sah-tidaknya gol karena offside, atau menganunir gol karena sebelumnya terjadi pelanggaran atau tidak, dan lain-lain.
“Wasit dalam bisbol dan tenis sering membuat keputusan keliru,” tulis Simon Kuper dalam Soccernomics (2018). “Namun ada 54 out dalam pertandingan bisbol, sementara pertandingan tenis memiliki perolehan poin yang banyak. Akibatnya keputusan wasit tak terlalu banyak membuat perbedaan. Wasit dalam olahraga rugbi dan sepakbola Amerika pun melakukan blunder. Akan tetapi, karena kedua olahraga ini memiliki perolehan skor yang lebih besar dibanding sepakbola, keputusan wasit jarang pula mengubah hasil pertandingan.”
Sebaliknya, dalam sepakbola keputusan wasit yang keliru (karena human error dan bukan sebuah kesengajaan seperti dalam kasus suap) memiliki efek yang sangat besar dalam menentukan kemenangan atau kekalahan sebuah tim, seperti keputusan Michael Oliver yang menunjuk titik putih untuk Real Madrid saat menghadapi Juventus di babak perpanjangan waktu leg kedua fase perempat final Liga Champions dua pekan lalu.
“Keputusan keliru wasit [dalam sepakbola] sangat berpengaruh karena penalti barangkali memiliki dampak lebih besar dibanding keputusan wasit dalam olahraga lain,” catat Kuper.
Editor: Zen RS & Bulky Rangga Permana